Kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa masih menemukan hak-hak perempuan dan anak belum dihargai. Ancaman dan tekanan kepada perempuan dan anak tetap tinggi.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, SELASA — Kondisi saat ini dan masa depan anak perempuan di seluruh dunia semakin mengkhawatirkan. Bahkan, dunia pada hari ini ”kehilangan” sedikitnya 140 juta perempuan hanya karena orang lebih menyukai atau lebih memilih memiliki anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Tak hanya itu. Anak dan remaja perempuan juga banyak yang hidupnya terabaikan sehingga memiliki risiko kematian lebih tinggi.
Dana Penduduk PBB atau UN Population Fund, dahulu dikenal sebagai UNFPA, memaparkan temuan itu dalam laporan tahunan yang dipublikasikan, Selasa (30/6/2020). Laporan itu juga menemukan 1 dari 5 perkawinan yang berlangsung pada hari ini adalah perkawinan anak perempuan di bawah umur. Sekitar 4,1 juta anak perempuan berisiko disunat, praktik yang selama ini berulang kali dikecam oleh PBB.
Direktur Eksekutif UNFPA Natalia Kanem mengatakan, perlakuan membahayakan terhadap anak perempuan akan menimbulkan trauma yang dalam dan akan sulit dihilangkan. Jika ini terjadi, anak perempuan tidak akan bisa memperoleh haknya untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki.
Berdasarkan laporan Kondisi Penduduk Dunia tahun 2020 itu, sedikitnya ada 19 jenis perlakuan yang membahayakan hidup anak perempuan. Ke-19 perlakuan itu, mulai dari menyetrika payudara hingga tes keperawanan, dialami jutaan anak perempuan di dunia dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Laporan itu fokus pada tiga hal, yakni bias jender, perkawinan anak, dan sunat anak perempuan.
Pilih anak laki-laki
Laporan itu juga menyebutkan kecenderungan pasangan untuk lebih memilih memiliki anak laki-laki ketimbang anak perempuan semakin tinggi. Karena tak mau mempunyai anak perempuan, mereka akan berusaha keras untuk melakukan apa pun agar tidak melahirkan anak perempuan.
Kalaupun yang lahir kemudian perempuan, ada tendensi untuk tidak menjaga kesehatan atau memenuhi kepentingan anak perempuan mereka. Bahkan, kerap terjadi anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki karena orangtua yang lebih mengutamakan anak laki-laki mereka.
UNFPA menyebut preferensi pada anak laki-laki itu sebagai gejala ketidaksetaraan jender yang mengakar, yang sudah mendistorsi rasio populasi berbagai negara. Hal ini dalam jangka panjang akan membuat banyak laki-laki semakin kesulitan menemukan pasangan lalu memiliki anak.
Laporan itu juga mengkhawatirkan kekerasan berbasis jender yang akan memburuk, termasuk pemerkosaan, seks yang dipaksakan, eksploitasi seksual, perdagangan anak, dan perkawinan anak yang mencederai hak-hak perempuan dan anak. Khusus mengenai perkawinan anak, laporan itu menyebutkan praktik perkawinan anak biasanya dilakukan oleh orangtua atau anggota keluarga atau anggota masyarakat kepada anak perempuan tanpa persetujuannya.
Perkawinan anak, sebut UNFPA, sebenarnya sudah dilarang, tetapi tetap saja praktik itu terjadi setiap hari di berbagai negara. Sedikitnya 650 juta anak perempuan dan perempuan yang sudah dewasa saat ini dipaksa menikah saat masih kanak-kanak. Sekitar 200 juta anak perempuan dan perempuan dewasa pun pernah dipaksa sunat.
Hukum tak cukup
Untuk menghentikan berbagai macam praktik yang membahayakan hidup anak perempuan, Direktur UNFPA Kanem menilai aturan hukum saja tidak akan cukup. Ia mengajak berbagai negara untuk menangani masalah ini dengan mengatasi akar penyebabnya terutama norma-norma yang bias jender. ”Kita harus lebih banyak mendukung masyarakat untuk memahami dampak praktik ini pada anak perempuan dan manfaat yang akan didapat masyarakat jika ini dihentikan,” ujarnya.
Laporan UNFPA itu juga menyerukan restrukturisasi ekonomi dan sistem hukum untuk menjamin perempuan mendapatkan kesempatan yang sama. Sebagai contoh, perubahan aturan pewarisan properti yang tidak lagi mengutamakan anak laki-laki dan membantu menghilangkan perkawinan anak.
UNFPA mengatakan, dengan investasi sebesar 3,4 miliar dollar AS per tahun, hingga tahun 2030 diharapkan akan bisa mengakhiri perkawinan anak, praktik sunat anak perempuan, dan mengakhiri penderitaan sedikitnya 84 juta anak perempuan. (AP)