Kasus Infeksi Baru Terus Melonjak, Karantina Kembali Marak
Butuh hingga Rp 94 juta per pasien hanya untuk obat. Masih ada biaya perawatan lain. Infeksi Covid-19 juga cepat meningkat dengan rata-rata dua orang tertular setiap detik.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
LONDON, RABU — Lonjakan kasus infeksi baru harian Covid-19 memaksa pemerintah beberapa negara menerapkan kembali kebijakan karantina dan pembatasan sosial serta menggelar tes massal. Biaya pengobatan yang mencapai Rp 94 juta per pasien juga telah memicu protes kepada industri farmasi.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengumumkan penutupan mayoritas kedai di Leicester dan sekitarnya mulai Selasa (30/6/2020). Sekolah pun akan ditutup mulai Kamis (2/7/2020). Masyarakat dianjurkan menghindari perjalanan dari dan ke Leicester.
Perintah tersebut dikeluarkan menyusul terjadi peningkatan jumlah kasus infeksi baru harian yang mencapai 135 kasus per 100.000 penduduk atau tiga kali lipat dari rata-rata Inggris. Dalam sepekan terakhir, 10 persen infeksi baru Covid-19 di Inggris tercatat di Leicester dan sekitarnya.
Perintah untuk Leicester berkebalikan dengan kebijakan untuk daerah lain di Inggris. London memberlakukan pembatasan gerak nasional secara bertahap sejak 23 Maret 2020 dan rencananya akan semakin dilonggarkan pekan depan.
Otoritas Mumbai, India, pun kembali memperketat pembatasan sosial setelah kota itu mencatat hampir 20.000 kasus infeksi baru per hari, antara Minggu dan Senin. Warga kembali diimbau untuk sedapat mungkin tetap di rumah dan jika harus keluar, hanya diizinkan keluar rumah paling jauh 2 kilometer.
Mulai Senin kemarin, polisi kembali memasang perintang untuk memastikan pembatasan bisa diterapkan. Selain Mumbai, pembatasan gerak juga tetap diberlakukan di Maharashtra. Pemerintah negara bagian dengan kasus Covid-19 tertinggi di India itu melanjutkan pembatasan gerak sampai akhir Juli 2020.
Dengan jumlah 567.536 kasus infeksi, India tepat di atas Inggris yang mencatat total 311.395 kasus infeksi Covid-19. Akan tetapi, korban meninggal di Inggris lebih tinggi, yakni 43.575 jiwa, dan India mencatatkan 16.904 kasus kematian.
Sementara itu, di Brasil, hanya dalam tujuh hari muncul 259.105 kasus baru yang membuat negara itu semakin berat. Selain itu, pada Senin kemarin Amerika Serikat melaporkan penambahan 38.800 kasus infeksi baru di tengah upaya pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sosial atau karantina wilayah.
Masa karantina jadi 28 hari
Adapun China memutuskan untuk menambah masa karantina dari 14 hari menjadi 28 hari. Sebab, para peneliti khawatir varian SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang kembali merebak dari kluster pasar induk Xinfadi di Beijing selatan lebih ganas dibandingkan dengan varian di Wuhan.
Keputusan itu didukung oleh Wakil Direktur Departemen Biologi Patogen pada Universitas Wuhan, Yang Zhanqiu, dan pakar Komisi Kesehatan Nasional China, Shi Guoqing. Yang menyebut penyebaran di Xinfadi lebih cepat dibandingkan dengan di Wuhan dan ada kemungkinan penyebar istimewa (super spreader) di Xinfadi.
China mendirikan 2.422 lokasi tes di seluruh Beijing setelah ditemukan penularan lokal dari kluster Xinfadi. Shi mengatakan, sebagian besar tes tetap menunjukkan hasil negatif. Namun, pemerintah tetap waspada pada kemungkinan kasus tanpa gejala. China tak mau mengulang pengalaman Wuhan.
Harga obat
Bukan hanya infeksi yang tinggi, harga obat Covid-19 pun mahal. Gilead, produsen remdesivir, mengungkap harga obat yang sudah teruji bisa mengurangi tingkat kesakitan pasien Covid-19 itu bisa mencapai 3.120 dollar AS atau Rp 43 juta untuk dosis lima hari.
Dalam serangkaian uji coba, pasien yang diberi remdesivir bisa pulih dari kondisi berat dalam rata-rata 11 hari. Dengan demikian, setiap pasien akan butuh Rp 94,6 juta hanya untuk obat selama 11 hari.
Belum lagi biaya perawatan lainnya. Sejumlah analis menaksir Gilead akan mendapatkan 2,6 miliar dollar AS dari penjualan remdesivir pada 2020-2021.
Pelaksana Utama (CEO) Gilead, Dan O’Day, mengatakan, harga obat itu untuk memastikan akses luas bagi lebih banyak pasien. ”Kita di wilayah baru soal harga obat, obat baru, di tengah pandemi,” ujarnya.
Sejumlah dokter di Amerika Serikat mendesak pemerintah menyediakan obat itu secara gratis. ”Harganya terlalu mahal untuk obat yang belum teruji mengurangi tingkat kematian. Obat itu dikembangkan dengan uang pajak,” ujar dokter dari Cleveland, Steven Nissen.
Ia merujuk pada fakta AS mengucurkan 79 juta dollar AS kepada Gilead untuk mengembangkan remdesivir. Washington juga memberikan fasilitas perizinan cepat untuk proses pengembangan obat yang pernah gagal untuk mengatasi ebola dan HIV itu.
”Harganya cocok kalau memang terbukti bisa menyelamatkan nyawa. Faktanya tidak seperti itu,” kata dokter di New York, Peter Bach.
Pembela hak konsumen dari Public Group, Peter Maybarduk, menyebut harga remdesivir sangat keterlaluan. Apalagi, proses pengembangannya mendapat subsidi besar dari pemerintah. ”Gratiskan obat itu,” ujarnya.
Dalam beberapa hari terakhir, laju infeksi harian global mendekati 190.000. Dengan demikian, lebih dari 2 orang terinfeksi setiap detik. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pandemi jauh dari selesai.
”Masih banyak orang rentan. Virus punya banyak peluang berpindah,” ujarnya. (AP/REUTERS)