Bank Dunia menyatakan, untuk pertama kalinya sejak 1998 tingkat kemiskinan akan naik seiring terjadinya resesi global dan penurunan tajam pendapatan per kapita.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kiranya peribahasa itu dapat menggambarkan nasib kaum menengah ke bawah saat-saat ini. Krisis akibat pandemi Covid-19 dan juga penurunan harga minyak global memberikan tekanan lebih bagi penduduk yang berada dalam status kemiskinan ekstrem, yang hidup dengan pendapatan rata-rata kurang dari 1,90 dollar AS atau sekitar Rp 27.300 per hari.
Bank Dunia menyatakan, untuk pertama kalinya sejak 1998, tingkat kemiskinan akan naik seiring terjadinya resesi global dan penurunan tajam pendapatan per kapita.
Itu artinya akan terjadi pembalikan arah tren terkait kemiskinan secara global. Menurut perkiraan pada 2015, sebanyak 10 persen dari populasi dunia atau 734 juta orang berpendapatan kurang dari 1,90 dollar AS sehari. Jumlah itu sudah turun dari 1,9 miliar orang pada 1990. Namun, krisis Covid-19 diperkirakan memiliki dampak yang tidak proporsional pada orang miskin.
Mereka terpuruk karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak mendapat kiriman uang dari sanak yang bekerja di luar negeri, dan berbagai masalah lain akibat terganggu pandemi.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, lebih dari 90 persen negara berkembang dan negara maju global bakal mencatat pertumbuhan pendapatan per kapita negatif pada tahun 2020. Penutupan wilayah selama pandemi Covid-19 telah meningkatkan PHK dan menutup jalan pendapatan banyak orang.
Kondisi itu lebih buruk terjadi pada negara-negara yang masyarakatnya mayoritas bekerja di sektor informal. Penutupan sekolah pun menekan keluarga-keluarga miskin, baik dalam jangka pendek maupun panjang, menyangkut kesempatan memperbaiki nasib keluarga.
Hingga akhir Mei, sekitar 150 negara menutup semua sekolahnya. Sebanyak 1,2 miliar anak sekolah atau sekitar 70 persen dari total pelajar global terpengaruh kondisi itu.
Krisis yang sedang berlangsung akibat Covid-19 akan menghapus hampir semua kemajuan terkait penanggulangan kemiskinan global yang dicapai dalam lima tahun terakhir.
Bank Dunia memperkirakan bahwa 40 juta-60 juta orang akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2020 dibandingkan dengan 2019. Tingkat kemiskinan ekstrem global dapat naik 0,3 hingga 0,7 poin persentase menjadi sekitar 9 persen pada tahun ini.
Selain itu, persentase orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari 3,20 dollar AS per hari bisa naik 0,3 hingga 1,7 poin persentase. Itu artinya, diperkirakan terjadi peningkatan berkisar 40 juta-150 juta orang.
Persentase orang yang hidup dengan kurang dari 5,50 dollar AS sehari pun bisa naik 0,4 hingga 1,9 poin persentase, sebuah peningkatan setara 70 juta-180 juta orang. Bank Dunia memberi catatan bahwa proyeksi kemiskinan ini sangat fluktuatif dan dapat sangat berbeda antarnegara.
Guncangan global, seperti Covid-19, bakal mempersulit upaya-upaya kebijakan untuk menjangkau mereka yang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Pun atas mereka yang tinggal di negara-negara yang rawan dan daerah-daerah terpencil. Akibatnya, tujuan mengakhiri kemiskinan ekstrem pada akhir tahun 2030 pun diperkirakan bakal sulit dicapai.
Apalagi, riset Bank Dunia menggambarkan, dua pertiga dari mereka yang berada dalam kondisi kemiskinan ekstrem hidup di negara yang secara ekonomi rapuh dan berada dalam kondisi konflik. Tanpa tindakan intensif, tujuan penghapusan kondisi kemiskinan esktrem global tahun 2030 itu susah diraih.
Mayoritas kaum miskin global hidup di daerah pedesaan, berpendidikan rendah, bekerja di sektor pertanian, dan berusia di bawah 18 tahun. Di sebagian besar dunia, tingkat pertumbuhan terlalu lambat dan investasi terlalu lemah untuk meningkatkan pendapatan rata-rata mereka.
Bagi banyak negara, pengentasan rakyat miskin telah melambat atau bahkan berbalik. Pandemi Covid-19 diperkirakan bisa memperparah upaya-upaya itu.
Akses terhadap sekolah yang baik, perawatan kesehatan, listrik, air bersih, dan layanan penting lain tetap sulit diperoleh banyak orang. Apalagi, akses-akses itu kerap kali ditentukan oleh status sosial ekonomi, jender, etnis, dan geografi.
Kemiskinan lebih luas dan mengakar mencakup hal-hal multidimensional, misalnya pendidikan, akses terhadap utilitas dasar, perawatan kesehatan, termasuk juga faktor keamanan. Cakupan perihal konsumsi, pendidikan, dan akses pada utilitas dasar mencapai separuh faktor dibandingkan faktor kemiskinan moneter semata.
Dalam sebagian besar resesi, konsumen terpaksa merogoh simpanan untuk bertahan atau mengandalkan jaring pengaman sosial dan dukungan keluarga besar. Namun, Covid-19 menekan konsumsi sekaligus.
Polanya mencerminkan kombinasi faktor yang unik: wajib jaga jarak hingga penutupan wilayah harus ”dibayar” dengan terjunnya potensi pendapatan dan kepercayaan diri ekonomi warga kebanyakan.
Perusahaan-perusahaan pun telah mengurangi investasi ketika dihadapkan dengan permintaan yang anjlok, gangguan pasokan, dan prospek pendapatan yang tidak pasti di masa depan yang tidak pasti.
Sebagian besar analisis melihat biaya ekonomi pandemi dan epidemi berfokus pada dampak jangka pendek. Namun, kontraksi ekonomi parah yang diperkirakan pada tahun 2020 secara historis menimbulkan bayangan panjang, biasanya menurunkan potensi pertumbuhan selama empat hingga lima tahun.
Hal ini dapat diakibatkan oleh berkurangnya investasi, hambatan kredit, dan adopsi teknologi baru yang lebih lambat. Sejarah menunjukkan, kebijakan yang baik dapat mengurangi dampak buruk dari kontraksi ekonomi parah.
Berkaca dari pengalaman menghadapi flu Spanyol pada 1918 silam, negara-negara dengan langkah pertahanan baik mampu lebih cepat pulih dalam lima tahun setelah pandemi.