Menakar Kekuatan Turki-Mesir di Libya
Dalam perang Libya saat ini, nilai kota Sirte dengan penduduk sekitar 80.000 jiwa seperti lebih strategis dibandingkan dengan nilai ibu kota Tripoli yang berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa.
Para pihak, termasuk Turki dan Mesir, perlu membuat skenario terbaik untuk mengakhiri perang Libya. Perundingan damai untuk mencari solusi politik kompromi mesti dilakukan.
Dalam perang Libya saat ini, nilai kota Sirte dengan penduduk sekitar 80.000 jiwa seperti lebih strategis dibandingkan dengan nilai ibu kota Tripoli yang berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa. Sirte terletak sekitar 450 kilometer arah timur Tripoli dan 600 km arah barat Benghazi, kota terbesar di Libya timur.
Mantan Menteri Luar Negeri Libya Abdel Rahman Shalgham dalam artikelnya di harian Asharq al-Awsat, Sabtu (27/6/2020), menyebut, siapa yang menguasai Sirte akan membuka jalan lebar untuk menguasai kota Al-Jufra (300 km arah selatan Sirte), kota Misrata (250 km arah barat Sirte), serta kota Ajdabiya (350 km arah timur Sirte).
Pada saat ini, nilai Sirte tentu semakin strategis. Hal itu karena letaknya relatif dekat, hanya berjarak sekitar 200 km dari sumur sekaligus pelabuhan minyak terbesar di Libya yang berada di kota Sidra, Ras Lanuf, dan Brega.
Libya dikenal sebagai pemilik cadangan minyak terbesar Afrika, yang mencapai 46,4 miliar barel. Sebelum revolusi Libya pada 2011, negara berpenduduk sekitar 6 juta jiwa itu memproduksi 1,65 juta barel per hari. Karena itu, wajar jika Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, Sabtu (20/6/2020), menegaskan, Sirte dan Al-Jufra adalah garis merah bagi Mesir.
Baca juga : Mesir Menawarkan Solusi Politik di Libya
Presiden Mesir itu berdalih jika Mesir melakukan campur tangan langsung di Libya karena telah memiliki landasan legitimasi internasional sesuai dengan Piagam PBB, baik dalam konteks membela diri maupun atas permintaan satu-satunya otoritas terpilih Libya, yaitu Parlemen Libya yang berbasis di kota Tobruk.
Pernyataan Sisi itu serta-merta membuat Sirte dalam perang Libya saat ini berpotensi membangkitkan perang regional, khususnya antara Mesir dan Turki. Dua negara ini merupakan kekuatan militer terbesar Timur Tengah, di luar Israel. Mesir dan Turki sama-sama mengandalkan persenjataan buatan Amerika Serikat dengan kekuatan militer seimbang.
Dalam perang gurun yang terbuka, peran udara sangat menentukan. Turki dan Mesir sama-sama mengandalkan jet tempur F-16 dan helikopter Apache buatan AS. Mesir, bersama Uni Emirat Arab dan Rusia, adalah pendukung Jenderal Khalifa Haftar, pemimpin Tentara Nasional Libya (LNA) yang menguasai Libya timur, termasuk Sirte.
Sementara Turki merupakan kekuatan utama pendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan PM Fayez al-Sarraj, yang berpusat di Tripoli. Berkat bantuan Turki, pasukan GNA berhasil memukul pasukan Haftar dari sekitar Tripoli dan Libya barat.
Setelah berhasil membebaskan Libya barat dari pasukan Haftar, pasukan GNA kini berambisi mengambil alih Sirte dan Al-Jufra dari pasukan Haftar, yang telah merebut Sirte pada Januari 2020 dan Al-Jufra pada 2017 dari GNA. Namun, ambisi GNA merebut lagi Sirte dan Al-Jufra tidak mudah. Mesir bisa nekat mengirim pasukan darat dan jet tempur untuk mempertahankan Sirte.
Tiga faktor
Banyak faktor yang membuat Sisi menegaskan Sirte dan Al-Jufra garis merah bagi Mesir. Pertama, faktor minyak. Mesir tidak ingin kompleks sumur dan pelabuhan minyak terbesar di Sirda, Ras Lanuf, dan Brega dikendalikan Turki jika Ankara menguasai Sirte.
Baca juga : Rencana Intervensi Mesir Dikecam Tripoli
Kedua, perbatasan Mesir-Libya cukup panjang, yakni 1.150 km. Mesir tidak menghendaki ada otoritas anti-Mesir berkuasa di balik perbatasannya. Jika hal itu terjadi, akan mengancam keamanan nasional Mesir sekaligus kekuasaan Sisi.
Ketiga, kepentingan ekonomi Mesir di Libya. Sebelum rezim Moammar Khadafy ambruk pada 2011, terdapat 1,5 juta pekerja Mesir di Libya yang mendatangkan devisa 33 juta dollar AS per tahun.
Setelah keruntuhan rezim Khadafy dan meletus perang saudara di Libya, pekerja Mesir diperkirakan tersisa 20 persen. Hal itu merupakan pukulan terhadap perekonomian Mesir. Tidak ada pilihan bagi Mesir kecuali mengintervensi Libya untuk membendung Turki.
Pernyataan Sisi itu memaksa Turki dan GNA kini berpikir ulang untuk menyerang Sirte dan Al-Jufra. Walau kini sudah mengepung Sirte dari barat dan selatan, misalnya, pasukan GNA tetap tidak berani mendobrak Sirte. Jika pasukan GNA bersikeras, itu hanya akan menjadi sasaran empuk jet tempur Mesir.
Sirte dan sekitarnya adalah wilayah gurun terbuka sehingga pesawat tempur sangat menentukan dalam medan seperti itu. Pesawat tempur Mesir F-16 hanya butuh 1 jam saja untuk mencapai Sirte. Mesir juga bisa dengan cepat mengerahkan pasukan darat ke Libya untuk mencegah jatuhnya Sirte ke tangan pasukan GNA.
Sebaliknya, jet tempur Turki F-16 butuh terbang beberapa ribu kilometer dan beberapa jam terbang untuk mencapai Sirte. Itu pun pesawat tempur Turki F-16 butuh tambahan bahan bakar di udara dalam penerbangan ke Sirte.
Mesir lebih unggul
Dari sisi efektivitas suplai logistik dan faktor kedekatan geografis, Mesir jauh lebih unggul daripada Turki jika pecah perang regional di Libya. Pernyataan Sisi tadi mengubah perimbangan kekuatan lagi di Libya yang mengantarkan Haftar berada di atas angin, khususnya terkait isu Sirte.
Baca juga : Libya dan Upaya Damai Uni Eropa
Di mata Haftar dan pendukungnya, kini hanya Mesir yang mampu membendung ambisi Turki di Libya. Sebenarnya masih ada Rusia yang juga bisa membantu Haftar untuk mempertahankan Sirte dan Al-Jufra.
Rusia kini menempatkan 24 pesawat tempur MiG-29 dan Sukhoi-24 di pangkalan udara militer Al-Jufra serta menarik milisi bayaran dari Wagner dari sekitar Tripoli ke Al-Jufra. Itu isyarat Moskwa bahwa Al-Jufra adalah garis merah yang tak boleh jatuh ke GNA.
Pesawat tempur Rusia yang berada di Al-Jufra hanya butuh beberapa menit untuk mencapai Sirte dan menggempur pasukan GNA. Namun, Haftar lebih berharap kepada Mesir untuk melawan Turki di Libya karena mungkin Haftar kurang percaya terhadap Rusia.
Haftar cukup kecewa terhadap Rusia karena begitu mudah menarik milisi sewaan Wagner dari sekitar Tripoli ke Al-Jufra sehingga mempercepat ambruknya pasukan Haftar di sekitar Tripoli. Lebih dari itu, Haftar khawatir Rusia bisa main mata dengan Turki di Libya, seperti yang terjadi di Suriah. Rusia, Turki, dan Iran di Suriah berada dalam satu payung dalam forum Astana.
Baca juga : Konferensi Damai Libya Digelar di Palermo
Ada dua skenario Libya ke depan. Pertama, skenario terburuk dan ini lebih kecil kemungkinan terjadinya, yakni perang terbuka Turki-Mesir di Libya. Kedua, skenario terbaik dan ini lebih besar kemungkinan terjadi, yakni dimulai perundingan damai untuk mencari solusi politik kompromi di Libya. Jika skenario kedua terjadi, skenario Suriah bisa terulang lagi di Libya.
Jika Rusia, Turki, dan Iran memegang kendali solusi di Suriah lewat forum Astana, maka Rusia, Turki, dan Mesir akan berperan besar dalam menentukan masa depan Libya. Di sini bisa disebut pernyataan Sisi ibarat pisau bermata dua, yaitu Mesir memang siap berperang dan ingin memaksa Turki berunding untuk mencari jalan kompromi.