Intelijen AS: Rusia Tawarkan Hadiah bagi Taliban untuk Bunuh Tentara Koalisi AS
Kesimpulan itu didasarkan atas penilaian hasil interogasi terhadap banyak anggota kelompok militan dan pelaku kriminal yang tertangkap di Afghanistan. Rusia ataupun perwakilan Taliban membantah tuduhan tersebut.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Otoritas intelijen Amerika Serikat menyimpulkan bahwa unit intelijen Rusia secara diam-diam menawarkan hadiah kepada organisasi militan, yang terkait dengan kelompok Taliban, untuk membunuh pasukan koalisi yang bertugas di Afghanistan, termasuk anggota militer AS. Presiden AS Donald Trump telah mengetahui hal ini. Tetapi, hingga sekarang, dia belum memutuskan kebijakan apa pun terkait temuan tersebut.
Para pejabat di lingkungan otoritas intelijen AS yang tak mau disebut identitasnya, seperti dikutip harian The New York Times, Sabtu (27/6) mengatakan, para pejabat yang mengetahui detail kesimpulan tersebut telah diminta untuk menutup rapat-rapat-rapat informasi itu. Termasuk informasi yang menyatakan bahwa badan intelijen Inggris juga telah memperoleh informasi yang sama karena anggota militer mereka juga menjadi target.
Rusia, melalui cuitan Kedutaan Besar Rusia di Washington DC di Twitter, menyebut laporan tersebut ”tanpa dasar”. ”Tuduhan tanpa dasar dan anonim telah mendatangkan ancaman bagi nyawa karyawan Kedutaan Rusia di Washington DC dan London. Hentikan membuat #beritabohong yang memprovokasi ancaman bagi nyawa, @nytimes,” tulisnya di Twitter.
”Jika seseorang membuat tudingan itu, kami akan meresponsnya,” kata Dmitry Peskov, Sekretaris Pers untuk Presiden Vladimir Putin.
Para pejabat intelijen AS tidak bisa memberikan penjelasan mengapa Gedung Putih terkesan sangat lambat mengambil sikap atas temuan itu. Para pejabat terkait telah mendorong beberapa opsi tindakan diplomatik atas Rusia, mulai dari pengajuan keluhan diplomatik hingga penerapan sanksi tertentu, dan bahkan tindakan diplomatik yang lebih keras.
Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, orang dekat Trump, dikabarkan menginginkan kebijakan lebih tegas terhadap Rusia. Namun, Trump sejauh ini lebih memilih pendekatan yang akomodatif terhadap Moskwa.
Zabihullah Mujahid, juru bicara kelompok Taliban, membantah atas tudingan bahwa mereka memiliki hubungan dengan badan intelejen Rusia seperti itu. Dia menyebut laporan tersebut sebagai upaya untuk mencari kambing hitam atas kematian militer AS dan pasukan koalisi.
”Tuduhan tentang adanya kesepakatan antara Taliban dan badan intelijen Rusia tidak berdasar. Pembunuhan terhadap target kami telah berlangsung tahun-tahun sebelumnya, dan kami melaksanakannya menggunakan sumber daya kami sendiri,” katanya.
Mujahid menambahkan, kondisi itu berubah setelah kesepakatan damai AS-Taliban, 29 Februari. Taliban, menurut Mujahid, sampai hari ini tidak menyerang anggota militer AS atau anggota pasukan koalisi.
Juru bicara di Dewan Keamanan Nasional, Pentagon, Departemen Luar Negeri AS, dan Badan Pusat Intelijen AS (CIA) menolak berkomentar terkait laporan The New York Times tersebut.
Perwakilan Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dilansir media Rusia, Sputnik, mengatakan bahwa laporan media yang mengutip intelijen AS dengan tuduhan intelijen Rusia telah meminta pembunuhan tentara AS oleh Taliban di Afghanistan merupakan berita bohong guna mengganggu proses perdamaian Afghanistan.
Tudingan pada GRU
Kesimpulan yang muncul di tengah upaya Pemerintah AS melanjutkan upaya damai di Afghanistan diambil berdasarkan penilaian atas interogasi terhadap banyak anggota kelompok militan dan pelaku kriminal yang tertangkap. Para pejabat intelijen AS tidak menggambarkan detail cara kerja intelijen Rusia dalam hal ini, termasuk bagaimana mereka menetapkan target yang harus dieksekusi atau bagaimana uang hadiah itu berpindah tangan dari satu orang ke orang atau kelompok militan itu.
Para pejabat itu juga tidak memberikan kejelasan bagaimana intelijen Rusia bisa bertemu dengan para anggota kelompok militan Afghanistan, apakah pertemuan itu berlangsung di wilayah Afghanistan atau di lokasi lain di luar Afghanistan.
Kesimpulan yang pernah disampaikan kepada Trump dan beberapa badan antaragensi di bulan Maret 2020 itu menyebutkan bahwa kelompok militan di Afghanistan dan beberapa elemen kelompok kriminal bersenjata di negara itu telah menerima uang hadiah yang diberikan oleh badan intelijen Rusia. Sebanyak 20 anggota militer AS tewas di Afghanistan pada awal 2019. Namun, di dalam kesimpulan tersebut tidak dijelaskan, apakah peristiwa pembunuhan atau penyerangan atas anggota militer AS itu terkait dengan pemberian uang hadiah tersebut.
Para pejabat yang mengetahui substansi kesimpulan itu menyebutkan bahwa Pemerintah AS menilai operasi itu dilakukan oleh unit 29155, sebuah unit di dalam GRU, badan intelijen militer Rusia. GRU, atau yang biasa disebut Direktorat Intelijen Utama, adalah badan intelijen di tubuh militer Rusia yang bertanggung jawab langsung pada Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu dan Kepala Staf Gabungan Jenderal Valery Gerasimov.
GRU dikenal luas karena dinilai memiliki keterkaitan dengan upaya pembunuhan menggunakan zat kimia terhadap mantan agen GRU, Sergei Skripal dan putrinya di Inggris, tahun 2018. Para pejabat intelijen Barat mengatakan, unit itu juga dicurigai membantu Kremlin mengacaukan negara-negara pesaingnya melalui subversi, sabotase, dan pembunuhan. GRU dicurigai terlibat dalam sejumlah peristiwa, mulai dari percobaan kudeta di Montenegro pada tahun 2016 dan keracunan pabrik senjata di Bulgaria setahun sebelumnya.
Tidak hanya memiliki kemampuan perang konvensional, GRU diduga menjadi otak semua upaya peretasan di negara-negara Barat, termasuk AS. Pejabat intelijen Amerika menyatakan, GRU menjadi pusat operasi upaya rahasia Moskwa untuk ikut campur dalam pemilihan presiden AS tahun 2016. Beberapa bulan sebelum pemilihan, dua unit siber GRU, yaitu unit 26165 dan Unit 74455, meretas server Partai Demokrat dan kemudian menggunakan WikiLeaks untuk memublikasikan komunikasi internal yang memalukan. Pada 2016 itu pula, Donald Trump memenangi pemilihan presiden AS.
Operasi yang melibatkan Unit 29155 cenderung jauh lebih kejam daripada operasi yang melibatkan unit siber. Para perwiranya yang tergabung di dalam unit ini tidak jarang adalah perwira senior, termasuk yang ikut serta pada Perang Afghanistan tahun 1980-an. Para pejabat intelijen AS menyatakan, unit ini telah aktif di Afghanistan selama bertahun-tahun.
Rusia pernah menyatakan Taliban sebagai organisasi teroris dan terlarang pada tahun 2003, tetapi hubungan mereka beberapa tahun ini menjadi semakin erat. Sejumlah petinggi Taliban melakukan perjalanan ke Moskwa untuk menghadiri perundingan damai dengan warga Afghanistan terkemuka lainnya, termasuk mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai dengan fasilitas Kremlin.