Setelah tertunda akibat kasus baru, kini kasus Ebola di wilayah timur Republik Demokratik Kongo dinyatakan berakhir. Ini berita baik yang menyodorkan optimisme di tengah pandemi Covid-19 yang masih terjadi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
KINSHASA, JUMAT — Wabah Ebola terbesar kedua dalam sejarah yang terjadi di wilayah timur Republik Demokratik Kongo kini secara resmi dinyatakan berakhir setelah hampir dua tahun menyebabkan lebih dari 2.200 orang meninggal, Kamis (25/6/2020). Selain berkat efektivitas vaksin dan pengobatan yang meningkatkan angka kesintasan, berakhirnya wabah ini merupakan buah perjuangan tenaga kesehatan dan kader di tingkat masyarakat yang bekerja keras menembus akses ke wilayah timur negeri itu yang sedang bergolak.
Pengumuman mengenai berakhirnya wabah Ebola tersebut semula akan dilakukan pada April 2020. Namun, tiga hari menjelang pengumuman muncul kasus baru sehingga berdasarkan protokol, deklarasi bebas Ebola harus menunggu 42 hari tanpa adanya kasus. ”Dibandingkan dengan wabah sebelumnya, wabah kali ini adalah yang terlama, paling kompleks, dan paling mematikan,” kata Menteri Kesehatan Republik Demokratik Kongo Eteni Longondo kepada wartawan.
”Kami luar biasa bangga karena menang atas epidemi yang berlangsung lama ini,” ujar Jean-Jacques Muyembe, Koordinator Respons Ebola Nasional.
Wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo yang dimulai tahun 2018 ini menjadi tantangan berat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kementerian Kesehatan, dan lembaga kemanusiaan internasional. Sebab, ini merupakan wabah Ebola pertama kali yang terjadi di daerah konflik. Kelompok-kelompok bersenjata di sana menjadi ancaman tersendiri sehingga terkadang vaksinasi hanya bisa dilakukan oleh tim kecil yang dikirim dengan helikopter. Penyerangan terhadap fasilitas pengobatan pasien Ebola oleh milisi aktif di dekat perbatasan Republik Demokratik Kongo, Uganda, dan Rwanda serta oleh warga yang marah terjadi beberapa kali.
Republik Demokratik Kongo mengalami 11 kali wabah Ebola sejak virus Ebola ditemukan di dekat Sungai Ebola tahun 1976. Hutan hujan tropis merupakan reservoir alami virus Ebola yang menyebabkan penderitanya muntah dan diare parah. Kontak dengan cairan tubuh orang yang sakit Ebola menjadi sarana penularan penyakit itu.
Wabah di wilayah timur Republik Demokratik Kongo ini telah menjangkiti 3.463 orang, yang 2.277 orang di antaranya meninggal. ”Ini tidak mudah dan terkadang seperti hal yang mustahil,” kata Matshidiso Moeti, Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Afrika.
Ketika wabah di wilayah timur negeri itu berakhir, para petugas kesehatan masih menghadapi wabah Ebola lain yang berjarak lebih dari 1.000 kilometer di sebelah barat laut kota Mbandaka.
Wabah Ebola yang muncul pada 1 Juni 2020 itu telah menginfeksi 24 orang dengan kasus meninggal 13 orang.
Eteni berharap bahwa penanganan wabah Ebola di Mbandaka bisa lebih mudah dilakukan karena keamanan di wilayah itu relatif lebih stabil. Wabah Ebola sebelumnya yang terjadi di sana pada tahun 2018 juga bisa dengan cepat dikendalikan.
Tokoh masyarakat dan warga di wilayah timur Republik Demokratik Kongo curiga terhadap tenaga kesehatan karena mereka tidak percaya bahwa Ebola ada. Mereka juga marah terhadap lembaga donor yang menghabiskan dana besar untuk Ebola, padahal kematian akibat malaria jauh lebih banyak. Ada juga warga yang percaya bahwa wabah itu merupakan skenario politik. Teori ini berkembang setelah Presiden Joseph Kabila membatalkan pemilu di daerah terdampak Ebola.
Wabah Ebola terbesar dalam sejarah terjadi di Afrika Barat tahun 2013-2016. Wabah ini menewaskan lebih dari 11.300 orang yang mayoritas berasal dari Guinea, Liberia, dan Sierra Leone. (REUTERS/AP/AFP)