Pengembangan Vaksin Covid-19 Alami Kemajuan dalam Pengujian
Dunia internasional dan perusahaan farmasi berkejaran dengan waktu dan gelombang kedua Covid-19 untuk menemukan vaksin penyakit ini. Perkembangan pengujian sejumlah calon vaksin Covid-19 menggembirakan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
LONDON, KAMIS — Para peneliti dan industri farmasi terus berpacu dengan waktu untuk memastikan ketersediaan vaksin Covid-19. Dilaporkan, hingga Kamis (26/6/2020), sekitar selusin dari 100 calon vaksin yang dikembangkan di sejumlah negara di seluruh dunia telah mengalami kemajuan dalam pengujian, antara lain di Inggris, China, Kanada, dan Amerika Serikat.
Vaksin yang efektif dipandang penting untuk menghentikan pandemi yang telah menginfeksi lebih dari 9,3 juta orang dan membunuh hampir 480.000 orang di seluruh dunia. Sebab, hingga kini belum ada tanda-tanda wabah akan berhenti walau berbagai upaya terus dilakukan negara-negara.
Beberapa calon vaksin sudah pada tahap pengujian pada monyet dan babi. Namun, ada pula calon vaksin yang sudah lebih maju, yakni telah melewati satu atau dua tahap pengujian pada manusia, seperti yang dibuat di China, AS, dan Kanada.
Anthony Fauci, Direktur Pusat Penelitian Penyakit Menular dan Alergi AS, Kamis (25/6/2020), menyatakan optimismenya terhadap kemajuan terbaru calon vaksin yang dikembangkan tim peneliti Universitas Oxford, Inggris, dan perusahaan farmasi AstraZeneca. Dia optimistis vaksin Covid-19 bisa tersedia pada akhir 2020 atau paling lambat pada awal 2021.
Para ilmuwan di Oxford, Inggris, bekerja sama dengan AstraZeneca untuk menguji calon vaksin yang pada awal pengembangan dinamai ChAdOx1 nCoV-19. Saat ini calon vaksin sedang dalam uji coba pada manusia setelah pengujian pada babi dan monyet menunjukkan beberapa tanda yang menggembirakan untuk vaksin eksperimental, yang juga dikenal sebagai AZD1222.
Hasil penelitian lanjutan tentang ChAdOx1 nCoV-19 yang dirilis Institut Pirbright Inggris menyebutkan, pemberian dosis perdana yang lalu didorong dosis pendorong vaksin menimbulkan respons kekebalan lebih kuat dibandingkan dosis tunggal. Hal ini menunjukkan penggunaan dua dosis mungkin akan lebih efektif bagi pasien untuk mendapatkan perlindungan dari Covid-19.
”Para peneliti melihat peningkatan nyata dalam antibodi penetral, yang mengikat virus dengan cara menghalangi infeksi,” kata tim Pirbright dalam pernyataannya.
Dalam data awal yang dikumpulkan melalui percobaan terhadap enam ekor monyet ditemukan bahwa monyet yang diberi satu dosis vaksin mengembangkan antibodi terhadap virus dalam waktu 14 hari. Setelah itu, semua mengembangkan antibodi pelindung dalam 28 hari.
”Hasil ini terlihat menggembirakan bahwa pemberian dua suntikan meningkatkan respons antibodi yang dapat menetralkan virus. Namun, respons vaksin di dalam tubuh manusia menjadi sesuatu yang sangat penting,” kata Bryan Charleston, Direktur Pirbright.
Kabar itu membuat Pangeran William, cucu penguasa Inggris, Ratu Elizabeth, secara khusus mendatangi lokasi tempat berlangsungnya penelitian untuk bertemu dengan tim peneliti, Sarah Gilbert, dan pemimpin tim uji klinis Andrew Pollar. Tidak hanya bertemu dengan tim, Pangeran William juga bertemu dengan para sukarelawan peserta uji klinis di Rumah Sakit Churchill.
”Ini adalah kabar yang sangat menggembirakan. Sebuah kerja bersama, sebuah proyek, yang Anda terlibat di dalamnya dan membuat ini semua sangat menyenangkan,” kata William kepada BBC.
CEO AstraZeneca, Pascal Soriot, yang sempat berdialog dengan William melalui telekonferensi mengatakan, hasil uji klinis tahap pertama tidak hanya berlangsung di Inggris dan AS, tetapi juga di Afrika Selatan dan Brasil.
Afrika Selatan akan menggelar uji coba calon vaksin Covid-19 pertama di benua ini minggu ini. Vaksin yang dikembangkan oleh Oxford itu sudah dievaluasi di Inggris, di mana 4.000 peserta telah mendaftar untuk mengikuti uji coba. Afrika Selatan telah merencanakan untuk memvaksinasi 2.000 orang dengan vaksin yang dikenal sebagai ChAdOx1 nCoV-19.
Diharapkan, hasilnya bisa keluar tidak lama lagi, sekitar Agustus atau September 2020. Dia berharap vaksin tersebut bisa segera diproduksi setelah hasil uji klinis itu keluar. Apabila percobaan berlangsung mulus, vaksin akan mulai beredar di pasaran pada Oktober tahun ini.
Tahap kedua
Uji coba vaksin terhadap manusia tidak hanya berlangsung di negara-negara Barat. Calon vaksin yang tengah dikembangkan Akademi Ilmu Pengetahuan Militer China, yang merupakan calon vaksin kedelapan yang dikembangkan di China, telah mendapat persetujuan Badan Administrasi Produk Medis Nasional negara itu untuk memasuki uji coba eksperimental tahap kedua pada manusia.
Calon vaksin bernama ARCoV itu menggunakan teknologi mRNA, teknologi yang juga digunakan perusahaan farmasi Moderna, AS, dan farmasi CureVac, Jerman. Namun, Qin Chengfeng, penanggung jawab tim peneliti lembaga itu, mengatakan, penggunaan teknologi tersebut belum pernah diuji coba pada uji klinis di China.
Chengfeng, dalam pernyataan resmi lembaga, menyebutkan, seluruh bahan baku yang digunakan dalam pengembangan calon vaksin itu berasal dari China.
”Bahan baku dan peralatan inti semuanya diproduksi di dalam negeri dan peningkatan kapasitas produksi yang cepat dapat dicapai,” kata Chengfeng.
Berdasarkan Registri Uji Coba Klinis China, uji klinis fase satu untuk vaksin mRNA didukung oleh beberapa lembaga, yaitu Yunnan Walvax Biotechnology dan Suzhou Abogen Biosciences.
Selain mengembangkan calon vaksin di China, Akademi Ilmu Pengetahuan Militer China bekerja sama dengan CanSIno Biologics juga tengah melakukan uji klinis fase kedua untuk calon vaksin lainnya, yaitu Ad5-nCoV. Mereka juga mendapatkan lampu hijau untuk memulai pengujian pada manusia di Kanada.
Produksi dan distribusi
Sementara itu, negara-negara di dunia menginginkan akses yang setara atas vaksin Covid-19 jika sudah memasuki tahapan produksi. Apalagi sejumlah negara besar, seperti AS dan Inggris, serta anggota Uni Eropa sudah membayar uang muka untuk memastikan mereka mendapatkan vaksin bagi warganya.
Lembaga Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) menyatakan telah mengakuisisi tiga pabrik yang akan digunakan untuk memproduksi vaksin Covid-19 di masa yang akan datang.
James Robinson, salah satu motor CEPI, mengatakan, lembaganya didukung oleh 14 negara dunia, termasuk Inggris. ”Saat ini, kita tahu kita dapat melakukan 2 miliar dosis yang kita miliki sebagai jenis target minimum kita pada akhir 2021,” katanya.
Dengan tambahan pabrik, CEPI berharap lembaga ini bisa mendistribusikan sekitar empat miliar dosis vaksin jika vaksin itu sudah ditemukan.
Tidak hanya berusaha memberikan kesetaraan akses vaksin, CEPI juga mengucurkan dana hingga 829 juta dollar AS untuk membantu proses penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19.
Dana itu diberikan kepada sembilan calon vaksin yang dikembangkan beberapa lembaga dan perusahaan farmasi, di antaranya Inovio Pharmaceuticals Inc, Universitas Queensland dengan CSL Ltd, CureVac, Moderna Inc dengan dukungan Pemerintah AS, Novavax Inc, Universitas Oxford dengan AstraZeneca, Clover Biopharmaceuticals, University of Hong Kong, dan konsorsium yang dipimpin oleh Institut Pasteur dan termasuk University of Pittsburgh dan Themis Bioscience, yang baru-baru ini diakuisisi oleh Merck & Co.
Aliansi vaksin global GAVI berniat mengakuisisi 8 hingga 10 pabrik lain untuk mempercepat distribusi vaksin ke seluruh dunia, terutama bekerja untuk membeli vaksin bagi negara-negara miskin yang tidak memiliki kemampuan seperti negara-negara maju. AstraZeneca telah setuju untuk melisensikan vaksinnya ke Serum Institute India untuk produksi 1 miliar dosis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri tengah menyusun rencana prioritas negara-negara penerima vaksin agar ada keadilan dan pemerataan dalam pendistribusian kelak setelah vaksin ditemukan. WHO juga sedang menyusun pedoman etik distribusi vaksin Covid-19 bagi dunia. (AFP/AP/REUTERS/CAL)