Indonesia Mendesak DK PBB untuk Tuntut Pertanggungjawaban Israel
Rencana Israel mencaplok Tepi Barat adalah pelanggaran serius hukum internasional dan ujian bagi DK PBB. Karena itu, DK PBB harus bertindak.
Oleh
Kris Mada/Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menuntut pertanggungjawaban Israel atas pelanggaran hukum internasional karena mengokupasi Tepi Barat, wilayah Palestina. Indonesia juga menyerukan negara-negara untuk memulai proses multilateral yang kredibel dalam merespons pelanggaran Israel.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan desakan itu dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Rabu (24/6/2020) malam. Rencana Israel mencaplok Tepi Barat adalah pelanggaran serius hukum internasional dan ujian bagi DK PBB. Karena itu, DK PBB harus bertindak.
”Siapa pun yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional harus dimintai pertanggungjawabannya di Dewan Keamanan PBB. Tidak boleh ada standar ganda,” ujar Retno dalam rapat virtual tersebut.
”Indonesia juga menyerukan perlunya memulai proses multilateral yang kredibel, yang memungkinkan semua pihak yang relevan untuk bekerja dengan pijakan yang sama, berdasarkan pada parameter yang telah disepakati secara internasional,” kata Retno ketika meneruskan penegasannya kepada publik lewat media sosial Twitter.
Rencana pendudukan oleh Israel merusak peluang perdamaian dan meningkatkan ketidakstabilan di kawasan. Jika dibiarkan, dunia akan mendapat contoh bahwa komunitas internasional bisa mengizinkan suatu negara bisa memperluas wilayahnya dengan cara mencaplok wilayah negara lain.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebutkan, perwujudan rencana itu mengancam peluang perdamaian. ”Jika diwujudkan, pencaplokan akan menjadi pelanggaran serius hukum internasional, sangat membahayakan peluang solusi dua negara, dan memangkas kemungkinan perundingan baru. Saya mendesak Pemerintah Israel mengabaikan rencana pencaplokan,” ujarnya.
Mulai 1 Juli
Israel sudah mantap dengan rencana memperluas wilayah pendudukannya di Tepi Barat dan Lembah Jordan. Langkah itu sudah berulang kali disampaikan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Di tengah dakwaan korupsi yang membelitnya, ia mengumumkan akan memulai rencana perluasan wilayah, 1 Juli 2020.
Perluasan itu merujuk proposal perdamaian Palestina-Israel dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengusulkan wilayah Palestina di Tepi Barat dipangkas.
Trump juga mengusulkan seluruh Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Sebagai gantinya, wilayah Palestina di sekitar Gaza ditambah. Trump menawarkan kompensasi 50 miliar dollar AS untuk pembangunan Palestina walau tak dijelaskan bentuknya utang, hibah, atau investasi.
Sampai sekarang belum jelas apakah Washington setuju dengan langkah Israel yang akan mengeksekusi rencana pendudukan itu pekan depan. Menlu AS Mike Pompeo menyebutkan, keputusan ada di tangan Israel. Ia tidak menunjukkan secara jelas posisi Washington.
Wakil Tetap Israel di PBB Danny Danon mengatakan kepada DK PBB, Israel punya hak sejarah dan hak hukum di wilayah yang akan didudukinya. ”Keputusan Israel memperluas kedaulatan akan disesuaikan dengan area yang selalu dijaga klaim hukum, sejarah, dan keabsahannya,” ujarnya.
Bisa picu konflik besar
Sejumlah pihak menyebut perwujudan rencana Netanyahu mengancam kesepakatan perdamaian Israel dengan Jordania. Secara resmi, Israel hanya punya hubungan dengan Jordania dan Mesir.
Raja Jordania Abdullah II bolak-balik mengatakan rencana pencaplokan akan memicu konflik besar. Raja Jordania dikenal kerap mengeluhkan perdamaian negaranya dengan Israel. ”Saya tidak mau mengancam. Semua harus mempertimbangkan seluruh kemungkinan,” ujarnya.
PM Jordania Omar al-Razzaz mengatakan, negaranya akan terpaksa meninjau ulang semua hubungan dengan Israel. Para analis menduga Amman akan membatalkan perjanjian damai atau setidaknya menghentikan kerja sama penting, seperti intelijen keamanan, dan menutup kedutaan Israel.
Mantan Menteri Informasi Jordania Mohammed al-Momani menyampaikan, rencana Netanyahu adalah pelanggaran perjanjian perdamaian Israel-Jordania. Dalam perjanjian pada 1994 itu ditegaskan, tidak boleh ada yang secara sepihak melemahkan kepentingan pihak lain.
”Pencaplokan melemahkan kepentingan Jordania. Ini ancaman langsung terhadap keamanan Jordania,” ujarnya.
Amman menampung hampir 6 juta pengungsi Palestina. Sedikitnya 3 juta orang menjadi warga Jordania dan 2,2 juta orang berstatus pengungsi. Seluruh warga Palestina di Jordania berharap bisa kembali jika nanti terbentuk negara Palestina.
Mereka ke Jordania setelah rangkaian perang pada 1948 dan 1967. Sejak 1967, Tepi Barat dalam perwalian Amman. Wilayah perwakilan Jordania termasuk Masjidil Aqsa.
Raja Abdullah II bolak-balik menyinggung pembentukan negara Palestina. Pembentukan itu akan mengurangi populasi negaranya. Namun, Trump tidak yakin dengan solusi dua negara dan memilih mendorong solusi satu negara.
Dukungan warga Gaza
Seorang warga Gaza, Haidar al-Zahar, mendesak seluruh warga Palestina untuk melakukan perlawanan bersenjata guna mencegah aneksasi. ”Tanpa kerelaan untuk mati syahid, takkan ada yang akan berubah,” kata Zahar, seorang pemilik kebun anggur di Gaza.
Di Distrik Rafah, Gaza selatan, Mohammad Seidam (84) mengatakan, Tepi Barat tidak boleh menyerah. ”Di Gaza, mereka (Israel) telah membangun kebun, pertanian, dan rumah kaca,” katanya sambil menambahkan, tetapi Gaza berhasil mengusir Israel pada 2005.
Zeyad Mhana (46), warga Gaza lainnya, mengatakan, langkah Israel didorong oleh perpecahan antara Otoritas Palestina di Tepi Barat dan kelompok Islamis Hamas di Gaza dalam perang saudara pada 2007. ”Kami menyesali apa yang terjadi di Tepi Barat itu, tetapi itu buah dari perpecahan di antara kami,” ujar Mhana. (AP/AFP/REUTERS)