Asia Tenggara Kewalahan Menghadapi Sindikat Narkoba
Jutaan orang kecanduan obat-obatan terlarang di Thailand. Penjara-penjara di negara itu dipenuhi para pengedar dan pencandu narkoba ketengan. Sementara raja-raja obat bius tetap susah dijangkau.
BANGKOK, JUMAT — Negara-negara di Asia Tenggara terus menghimpun kekuatan dan berupaya keras untuk menanggulangi peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya atau narkoba.
Kelindan sindikasi mulai dari produksi aneka produk narkoba hingga patgulipat indikasi pencucian uang dari hasil narkoba membuat negara-negara dan lembaga-lembaga antinarkoba kewalahan.
Kantor berita AFP, Jumat (26/6/2020), melaporkan, jutaan orang kecanduan obat-obatan terlarang di Thailand. Penjara-penjara di negara itu dipenuhi pengedar dan pencandu ketengan atau eceran obat-obatan itu.
Namun, para pihak yang dikategorikan sebagai raja-raja obat bius tetap susah dijangkau. Mereka bersembunyi atau tersembunyi di balik jaringan perantara dan skema pencucian uang yang rumit.
Baca juga : Produksi dan Perdagangan Narkoba di Asia Tenggara Capai Angka Tertinggi
Pihak berwenang di negara itu mengatakan, mereka siap mengubah upaya untuk membongkar permainan para raja narkoba itu. Mereka akan dikejar melalui jalur perbankan, bisnis konstruksi, dan mata uang kripto.
”Kami telah menemukan aliran dana mencurigakan di bank-bank sebesar 170 miliar baht (5,4 miliar dollar AS) meski mungkin tidak semua terkait bisnis narkoba,” kata Menteri Kehakiman Somsak Thepsuthin pekan ini.
”Namun, kami yakin setidaknya ada 12 miliar baht (388 juta dollar AS) dalam aset terkait narkoba, dana hasil narkoba diubah menjadi emas, seng (panel), baja, dan minyak,” ujarnya.
Thailand diduga merupakan salah satu titik panas pertemuan bisnis narkoba di Asia Tenggara. Aneka produk narkoba dari laboratorium-laboratorium terpencil di Myanmar mengalir melalui perbatasan kedua negara.
Produk-produk narkoba ditujukan untuk pasar lokal atau luar negeri hingga Australia, Selandia Baru, dan Jepang.
Dana narkoba juga diubah menjadi bahan-bahan konstruksi untuk dijual, seperti pipa baja, atap, dan permesinan.
Pesan keras penanggulangan narkoba di Thailand muncul menyusul pembongkaran beberapa jaringan baru-baru ini, yakni adanya aktivitas pembelian minyak dari keuntungan penjualan narkoba.
Minyak lalu diperdagangkan di pasar internasional. Dana narkoba juga diubah menjadi bahan-bahan konstruksi untuk dijual, seperti pipa baja, atap, dan permesinan.
Kelompok utama itu diduga dikendalikan oleh Daoreung Somseang, seorang perempuan Thailand yang sudah ditahan di penjara Bangkok karena pelanggaran perdagangan manusia.
Baca juga : Asia Tenggara Pusat Kendali Kejahatan
Polisi menuduhnya masih menjalankan kerajaan obat bius yang membentang di negara itu. Ia diduga menggunakan toko-toko emas dan perusahaan konstruksi sebagai modus untuk mencuci setidaknya 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun uang tunai melalui 113 rekening untuk memindahkan uang itu.
Pada Jumat (26/6/2020), pihak berwenang Thailand membakar narkoba sitaan senilai 1,7 miliar dollar AS. Kegiatan yang sama digelar di Yangon, Myanmar, dengan narkoba sitaan senilai 800 juta dollar AS. Barang-barang haram itu hasil sitaan aparat selama setahun terakhir.
Pihak berwenang setempat juga menghancurkan obat-obatan terlarang di Mandalay, Lashio, dan di Taunggyi, ibu kota Negara Bagian Shan di Myanmar timur, semua daerah yang lebih dekat dengan tempat produksi narkoba.
Pemerintah Myanmar dan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mengumumkan rekor sitaan hasil narkoba pada Mei lalu. Selama kurang lebih enam pekan yang berakhir pada awal April, operasi gabungan polisi dan tentara menyita sekitar 18 ton narkoba di dan sekitar desa di Negara Bagian Shan. Hal itu termasuk hampir 200 juta tablet metamfetamin.
Myanmar memiliki sejarah panjang dalam produksi obat-obatan, yang dipicu oleh perang saudara selama beberapa dekade. Pemerintah mengatakan, beberapa tentara etnis, yang mengendalikan petak besar wilayah terpencil, menggunakan narkoba untuk mendanai pemberontakan mereka.
Namun, para kritikus menuduh elemen Pemerintah Myanmar dan tentara mengambil untung dari perdagangan itu sendiri.
Baca juga : Ancaman Kejahatan Transnasional
Perwakilan regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Jeremy Douglas, baru-baru ini, mengatakan, sekarang ada bukti yang jelas tentang keterlibatan kelompok kejahatan transnasional terorganisasi.
Perbatasan negara yang luas, bergunung-gunung, dan berhutan berarti para produsen dapat memindahkan sejumlah besar obat-obatan murah yang diproduksi ke negara-negara tetangga dengan sedikit rasa takut untuk ditangkap.
Daerah di mana perbatasan Myanmar, Laos, dan Thailand bertemu dikenal sebagai ”Segitiga Emas” ketika terkenal dengan produksi dan perdagangan opium dan turunannya, heroin.
Dalam beberapa dekade terakhir, produksi sebagian besar telah beralih ke obat-obatan sintetis, seperti metamfetamin, dan sekarang semakin meningkat menjadi opioid sintetik seperti fentanyl.
Sindikat terkemuka pasar di kawasan Segitiga Emas itu diyakini sebagai kelompok ”Sam Gor”, yang didominasi oleh gangster China yang menguasai setidaknya 40 persen dari narkoba jenis metamfetamin di Asia. Produk dari kawasan itu diduga mengalir hingga wilayah Asia Pasifik.
Kejahatan terorganisasi di Asia lebih tersembunyi daripada produk serupa di Amerika Latin yang mencolok. Sindikat di Asia beroperasi secara anonim di seluruh negara dengan perbatasan yang membentang dan cenderung mudah diterobos. Polisi yang korup dan pasar domestik besar para pengguna narkoba menjadi kelindan bagian modus sindikat-sindikat itu.
Baca juga : Indonesia dan Malaysia Perang Lawan Narkoba
Untuk membongkar praktik pencucian uang, Thailand telah bekerja sama dengan Badan Penegakan Narkoba AS (DEA), yang keterampilannya diasah dalam pertarungan dengan kartel-kartel di Amerika Latin.
Namun, para pakar kejahatan memperingatkan polisi harus siap mengikuti uang ke mana pun alirannya, khususnya jika aparat dekat dengan kepala rantai jejak kriminal itu. Penyitaan barang bukti berupa narkoba tidak cukup. (AFP/AP)