Negara-negara Siaga Menghadang Gelombang Kedua Penularan Virus Korona
Pemerintah di sejumlah negara siaga menghadapi gelombang kedua penularan Covid-19 di negara masing-masing. Pemerintah dan warga tidak boleh lengah.
MELBOURNE, KAMIS — Sejumlah negara bersiaga menghadapi kemunculan kasus baru Covid-19, yang diyakini akan memicu gelombang kedua penyebaran penyakit ini. Kesiagaan itu muncul sehari setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah untuk tetap waspada karena penyebaran Covid-19 semakin cepat.
WHO mengingatkan pemerintah dan warga tidak boleh lengah dengan mengurangi pembatasan fisik, pembatasan sosial, hingga pandemi ini dinyatakan berakhir.
Australia, Rabu (24/6/2020), melaporkan kematian warganya yang pertama akibat Covid-19 dalam lebih dari sebulan terakhir. Kepala Dinas Kesehatan Negara Bagian Victoria Brett Sutton mengatakan bahwa seorang pria warga Victoria berusia 80 tahun meninggal akibat Covid-19. Pada saat bersamaan, kata Sutton, 20 kasus baru ditemukan dalam semalam di negara bagian itu.
Kematian warga karena Covid-19 di Victoria telah memicu kekhawatiran baru terjadinya gelombang kedua pandemi di Australia. Sejauh ini, Australia dinilai berhasil dalam mencegah penyebarluasan Covid-19 dengan 7.500 kasus dan jumlah kematian yang kecil, yakni 103 jiwa.
Namun, kematian warga dan peningkatan kasus dalam satu malam itu telah memicu kekhawatiran, khususnya di Negara Bagian Victoria. Wilayah ini merupakan negara bagian kedua terpadat penduduknya di ”Negeri Kanguru” tersebut.
Perdana Menteri Negara Bagian Victoria Daniel Andrews telah meminta bantuan militer untuk membantu pengoperasian pusat-pusat pengujian untuk mengetahui seberapa luas penyebaran Covid-19. Pemerintah setempat juga mensyaratkan sejumlah persyaratan ketat, termasuk karantina mandiri selama 14 hari, bagi pendatang dari luar negeri.
Baca juga: Jerman Berlakukan Kembali Karantina Wilayah di Dua Kota
Pencabutan pembatasan sosial dan karantina di Victoria lebih lambat dibandingkan negara bagian lain di Australia. Otoritas kesehatan dan pemerintah setempat meyakini kemunculan kasus baru ini terkait kegiatan kumpulan keluarga yang dihadiri oleh orang-orang dengan gejala Covid-19 ringan atau tanpa gejala.
Khawatir dengan meningkatnya infeksi baru, ribuan orang telah berbondong-bondong datang ke tempat-tempat tes Covid-19. Akibat membeludaknya warga, antrean bisa mencapati empat jam. Polisi terpaksa menutup satu klinik drive-through di Melbourne hanya 20 menit setelah dibuka karena tidak mampu mengatasi kerumunan.
Victoria memperpanjang keadaan daruratnya sepanjang satu bulan ke depan dan menerapkan kembali pembatasan sosial.
Eropa waspada
Tidak hanya Australia, negara-negara Eropa juga diperingatkan tentang bahaya ancaman gelombang kedua Covid-19. Di Jerman, pemerintah Negara Bagian Rhine-Westphalia Utara kembali menerapkan karantina wilayah di dua kota pada negara bagian itu, yakni Guetersloh dan Warendorf, hingga 30 Juni 2020 setelah muncul kluster penularan di pabrik pengolahan daging Toennies di Guetersloh.
Guetersloh dan Warendorf yang berpenduduk total 360.000 jiwa menjadi daerah pertama yang kembali ditutup setelah Jerman melonggarkan pembatasannya sejak akhir April lalu. Untuk pertama kalinya, dalam hampir dua bulan dalam masa pelonggaran, Jerman kembali melakukan pembatasan itu. Bar, museum, galeri seni, bioskop, gelanggang olahraga, dan kolam renang di dua kota tersebut segera ditutup. Kegiatan rekreasi di luar ruang juga dilarang. Sekolah dan taman kanak-kanak juga ditutup.
Baca juga: WHO: Covid-19 Menyebar Semakin Cepat
”Kami akan mencabut pembatasan ini secepatnya ketika kami yakin akan keselamatan warga,” kata Armin dalam jumpa pers. ”Ini adalah tindak pencegahan,” ujarnya.
Toennies memiliki karyawan sekitar 7.000 orang. Lebih dari 1.500 pekerja di antaranya diketahui positif Covid-19. Begitu juga dengan beberapa anggota keluarga para pekerja itu dan 24 orang lainnya yang tidak terkait dengan pabrik tersebut. Sebagian pekerja itu tinggal di Warendorf, sekitar 30 kilometer arah barat Guetesloh.
Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn menyatakan, penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 harus dipandang sebagai sebuah hal yang berisiko tinggi meski berbagai pembatasan sosial telah dicabut oleh pemerintah. Bila warga dan pemerintah lengah, Spahn menyatakan, virus ini akan menyebar dengan cepat.
”Kami melihat bahwa jika kami membuatnya terlalu mudah untuk virus ini, ia menyebar sangat, sangat cepat,” katanya.
Baca juga: WHO: Jangan Lengah Antisipasi Gelombang Kedua Covid-19
Spahn menyatakan, pemerintah melihat tidak hanya warga dua kota itu yang harus waspada, tetapi juga beberapa kota lain, yaitu Goettingen, di Leer, di Bremen. ”Itulah mengapa penting untuk terus memperjelas bahwa meskipun jumlah (kasus) rendah selama beberapa minggu, virus ini masih ada,” kata Spahn.
Peringatan kewaspadaan kemungkinan gelombang kedua Covid-19 juga disampaikan belasan pakar medis Inggris setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memutuskan untuk mencabut berbagai aturan pembatasan di negara itu. Johnson, Selasa kemarin, mengumumkan kebijakan ”hibernasi nasional” yang memungkinkan pembukaan kembali sebagian besar sektor perhotelan, budaya, dan pariwisata di Inggris mulai 4 Juli. Itu termasuk pub, hotel, restoran, museum, dan galeri. Aturan jarak sosial 2 meter, yang diberlakukan sejak Maret, juga dikurangi menjadi 1 meter.
Sebanyak 16 pakar medis, termasuk kepala Royal College of Surgeons, dalam surat terbuka kepada Pemerintah Inggris yang diterbitkan jurnal medis Inggris menyatakan, bentuk pandemi di Inggris sulit diprediksi. Bukti-bukti yang didapat dari lapangan, tulis mereka, menunjukkan kemungkinan terjadinya gelombang kedua sebagai sebuah risiko yang nyata.
Pencarian antivirus
Pemerintah Jepang yang dinilai berhasil menahan laju penyebaran Covid-19 di negaranya berencana untuk melakukan uji klinis Avigan, calon obat Covid-19 yang diproduksi Fujifilm Holding Corp. Namun, semakin sedikitnya pasien Covid-19 di negara tersebut membuat otoritas kesehatan dan peneliti mengalami kesulitan mencari sukarelawan yang bersedia untuk ikut dalam uji klinis obat tersebut.
Walaupun demikian, pemerintah akan tetap melakukan uji coba Avigan pada manusia untuk pertama kalinya Juli mendatang.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Global Bisa Terhambat oleh Gelombang Kedua Korona
”Karena berkurangnya jumlah infeksi, kami percaya itu akan memakan waktu sebelum penelitian klinis selesai,” kata Tetsuya Nakamura, yang menjalankan percobaan Avigan di Rumah Sakit Universitas Gunma di Jepang tengah.
Menurut data pelacakan uji coba, 54 uji klinis obat Covid-19 telah diluncurkan di Jepang. Namun, sebagian besar masih berada pada tahapan perekrutan sukarelawan.
Satu perusahaan bioteknologi Jepang, Healios KK, pada April lalu menyatakan, mereka bermaksud melakukan uji coba terapi paru sebagai alternatif pengobatan Covid-19. Namun, karena jumlah pasien yang rendah membuat rencana itu belum terlaksana.
”Kami berhati-hati untuk mengukur kohort mengingat rendahnya jumlah pasien di Jepang dan kami hanya berusaha mendaftarkan sekitar lima pasien,” kata CFO Richard Kincaid.
Dengan kelangkaan pasien dalam negeri, Jepang mungkin harus lebih mengandalkan data dan hasil di luar negeri untuk membantu dalam persetujuan peraturan. Praktik itu biasa ”jika kualitas data dianggap cukup baik”, menurut pejabat kementerian kesehatan, Yasuyuki Sahara. (AP/AFP/REUTERS/ADH)