Kawasan pertanian dengan sumber daya air yang berharga tersaji di Lembah Jordan. Israel menilai kawasan yang membentuk hampir sepertiga Tepi Barat itu sangat vital bagi keamanan dan pertahanannya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Kawasan pertanian dengan sumber daya air yang berharga tersaji di Lembah Jordan. Kawasan ini tengah diincar Israel dalam proyek aneksasi, yang juga meliputi wilayah luas di Tepi Barat, pada 1 Juli 2020. Bagi Israel, kawasan itu sangat menggiurkan dan strategis.
Israel menilai kawasan yang membentuk hampir sepertiga Tepi Barat itu sangat vital bagi keamanan mereka. Dalam skema aneksasinya, Israel akan menjadikan Lembah Jordan sebagai perbatasan timur dengan Jordania. Negara kerajaan ini hanyalah satu dari dua negara Arab—bersama Mesir—yang memiliki perjanjian damai dengan Israel. Militer Israel melihat lembah itu sebagai zona penyangga yang potensial bagi pertahanan mereka jika terjadi serangan darat.
Pemerintahan bersama di Israel, yang dibentuk oleh Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz, telah bersiap-siap untuk menganeksasi wilayah Tepi Barat, termasuk di dalamnya Lembah Jordan, untuk dimasukkan ke wilayah Israel. Militer Israel disiagakan. Pemerintah Israel pun telah menyiapkan nama lokasi untuk ribuan permukiman baru yang akan dibangun di wilayah itu, yakni Givat Eitam.
Israel menganggap kontrol dataran di wilayah lembah itu penting untuk keamanannya. Hal tersebut sudah ditegaskan Netanyahu, Januari lalu. Saat itu, ia menggambarkan Lembah Jordan vital bagi Israel. Ia juga mengatakan, pencaplokan akan mengecualikan beberapa wilayah yang dihuni warga Palestina, salah satunya adalah kota Jericho. Jika Israel tetap menjalankan proyek aneksasi, kota itu menjadi daerah kantong yang dikepung wilayah Israel.
Sekitar 10.000 pemukim Israel—dari 450.000 lebih warga Israel yang mendiami berbagai permukiman Yahudi di Tepi Barat—tinggal di Lembah Jordan. Lembah ini juga dihuni 65.000 warga Palestina, termasuk sekitar 20.000 penduduk Jericho.
Masyarakat internasional menganggap permukiman-permukiman Yahudi ilegal. menurut hukum internasional. Namun, Israel—dengan dukungan Amerika Serikat—tidak peduli dengan hal itu. Sebagian besar Lembah Jordan sudah dikelola oleh Israel karena membentuk bagian wilayah ”Area C” Tepi Barat, sebagaimana diuraikan dalam perjanjian perdamaian Oslo tahun 1990-an. Area C mencakup sekitar 60 persen Tepi Barat.
Adapun Area B, yang menyumbang sekitar 22 persen wilayah itu, berada di bawah pemerintahan sipil Palestina, tetapi dengan kontrol keamanan Israel. Sementara Area A yang tersisa, mencakup delapan kota besar dan kota kecil termasuk Jericho, berada di bawah kendali penuh Palestina.
Terletak di selatan Danau Tiberias dan di sebelah utara Laut Mati, Lembah Jordan juga strategis untuk lahan pertanian. Lembah itu juga menjadi sumber air bagi wilayah-wilayah gersang sekelilingnya. Namun, menurut lembaga B\'Tselem, organisasi penggiat hak asasi manusia di Israel, sekitar 85 persen lembah tidak dapat diakses Palestina. Bahkan, sekitar 56 persen wilayah itu ditujukan untuk kegiatan militer Israel.
Israel kerap kali menghancurkan properti Palestina yang dibangun di Area C tanpa izin otoritas Israel. Uni Eropa mencatat Lembah Jordan sebagai wilayah dengan jumlah aktivitas pembongkaran properti Palestina tertinggi di Tepi Barat. Sejak 2009, sekitar 2.400 bangunan di wilayah itu telah diratakan Israel.
Peringatan keras PBB
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak Israel untuk membatalkan rencana pencapokan Tepi Barat yang notabene telah diduduki Israel. Ia menyebut aneksasi akan menjadi ”pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional”. Pernyataan itu disampaikan Guterres dalam sebuah laporan Dewan Keamanan PBB yang dipublikasikan, Selasa (23/6/2020).
Dalam dokumen itu, Guterres mengatakan pencaplokan Israel akan ”menghancurkan” harapan adanya negosiasi baru dan solusi dua negara. ”Saya menyerukan Israel untuk membatalkan rencana aneksasinya,” kata Guterres.
Dia menambahkan bahwa langkah Israel akan ”mengancam upaya untuk memajukan perdamaian regional”. ”Jika diterapkan, ini akan menjadi pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional, termasuk Piagam PBB,” kata Guterres.
Guterres mencatat adanya tentangan terhadap rencana aneksasi itu. Hal ini juga tergambar di antara kelompok-kelompok masyarakat Israel sendiri. ”Ini akan menjadi malapetaka bagi Palestina, Israel dan wilayah itu,” katanya.
Namun, seperti biasa, Israel sepertinya tak mau ambil pusing. Apalagi, rencana itu mulai dibahas para pejabat AS di Washington pekan ini. Seorang pejabat senior AS mengungkapkan, Duta Besar AS untuk Israel David Friedman akan berada di Washington untuk bertemu dengan para pejabat teras AS, termasuk Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner ,dan utusan Timur Tengah Avi Berkowitz. Presiden Donald Trump juga dapat bergabung dalam pertemuan itu.
Di bawah proposal perdamaian Timur Tengah yang diajukan Trump pada Januari, AS akan mengakui permukiman Yahudi sebagai bagian dari Israel. Permukiman itu dibangun di atas tanah yang diinginkan Palestina untuk menjadi sebuah negara. Proposal Trump itu juga menjanjikan berdirinya negara Palestina sebagai bagian dari rencana perdamaian yang lebih luas, tetapi memberlakukan persyaratan ketat pada Palestina. Para pemimpin Palestina telah menolak inisiatif itu sepenuhnya. (AFP/REUTERS)