Biden Unggul Jauh atas Trump di Sejumlah Jajak Pendapat
Dalam pemilu 2016, Trump kalah di berbagai jajak pendapat dan total suara pemilih. Walakin, ia tetap menang karena pendukungnya tersebar. Pemilihan AS tidak menggunakan sistem langsung seperti di Indonesia.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
WASHINGTON DC, KAMIS — Bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Joe Biden, mengungguli calon petahana, Donald Trump, dalam sedikitnya tujuh jajak pendapat. Bahkan, rentang keunggulan Biden mencapai 14 poin atau jauh di atas ambang toleransi kesalahan penghitungan.
Sepanjang Rabu (24/6/2020) ada tiga jajak pendapat diumumkan. New York Times menggelarnya bersama Siena College. Adapun Quinnipiac University menggelar jajak pendapat di Ohio dan Marquette University Law School untuk Wisconsin.
Keunggulan tertinggi Biden terlihat pada jajak pendapat oleh New York Times dan Siena College yang digelar pada 17-22 Juni 2020. Seluruh responden merupakan pemilih terdaftar dalam pemilu AS pada 3 November 2020. Dengan ambang kesalahan 3 persen, sebanyak 50 persen responden menyokong Biden dan hanya 36 persen menyokong Trump.
”Biden dan Trump disokong hingga 90 persen pemilih partai masing-masing. Di kalangan pemilih independen, Biden unggul 18 poin,” kata Direktur Lembaga Riset Siena College Don Levy.
Dalam jajak pendapat di Wisconsin, Biden memimpin dengan 49 persen. Jajak pendapat 14-18 Juni 2020 dengan ambang kesalahan 4,8 persen itu menemukan 41 persen responden menyokong Trump. Dalam situasi seluruh kesalahan hitung adalah responden penyokong Trump sekalipun, Biden tetap unggul. Keunggulan Biden di sana melonjak dibandingkan dengan jajak pendapat oleh lembaga yang sama pada Mei lalu. Kala itu, Biden disokong 46 persen dan Trump didukung 43 persen pemilih terdaftar yang menjadi responden Trump.
Penyebab kemerosotan dukungan Trump adalah cara penanganan pandemi Covid-19 dan unjuk rasa. Lebih dari 50 persen responden menyatakan tidak setuju pada cara pemerintahan Trump menangani pandemi dan unjuk rasa anti-diskriminasi rasial. Padahal, lebih dari 60 persen responden amat khawatir dengan pandemi.
Sementara dalam jajak pendapat di Ohio, keunggulan Biden atas Trump menipis. Biden disokong 46 persen responden dan 45 persen lain mendukung Trump. Hasil pemilu 2016 di Ohio menunjukkan Trump unggul hingga 8 persen atas Hillary Clinton yang disokong Demokrat.
Persaingan ketat Biden-Trump juga terlihat di kelompok pemilih kulit putih. Dalam jajak pendapat New York Times, 44 persen pemilih kulit putih menyokong Trump dan hanya 43 persen mendukung Biden. Sebaliknya, 79 persen pemilih kulit hitam dan 64 persen pemilih Latin mendukung Biden.
Mantan Wakil Presiden AS itu juga disokong 55 persen pemilih perempuan. Padahal, jajak pendapat dilakukan setelah ada tuduhan pelecehan yang dilontarkan mantan pegawai magang untuk Biden.
Kecemasan Republik
Tren dukungan pemilih kepada Trump mencemaskan Partai Republik yang dipastikan akan kembali mencalonkan Trump di pemilu 2020. Wakil Ketua Fraksi Republik di Senat AS, John Tune, menyorot cara komunikasi Trump.
”Orang-orang di pemilu nanti adalah pemilih mengambang dan saya pikir mereka ingin Presiden menunjukkan nada yang lebih berempati. Mungkin masalahnya bukan hanya pesan, melainkan juga cara menyampaikannya,” kata Tune, sebagaimana dikutip CNN.
Mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, yang pernah bekerja untuk dua presiden Republikan, yakni George HW Bush dan George W Bush, mengatakan bahwa Trump suka menghina siapa pun yang berseberangan dengan dia. Fakta itu mendorong Powell menyokong Biden di pemilu 2020.
Sekutu Trump di Senat, Lindsey Graham, mengatakan peluang keterpilihan Trump bergantung pada kinerja ekonomi pada Oktober 2020. Kini perekonomian AS sedang sulit di tengah pandemi. Hampir 46 juta orang menjadi penganggur. Jumlah penganggur bertambah lebih dari 20 juta orang hanya dalam empat bulan belakangan. Terakhir kali AS mengalami itu pada Depresi Global 1930.
Meskipun demikian, sejumlah Republikan tetap berusaha optimistis. ”Jelas hasil jajak pendapatnya sekarang turun, (akan tetapi) bukan berarti tidak bisa dibalikkan,” kata senator Republikan lainnya, Shelley Moore Capito.
Dalam pemilu 2016, Trump kalah di berbagai jajak pendapat. Sementara Hillary Clinton unggul, baik dalam jajak pendapat maupun total suara pemilih. Walakin, Hillary gagal menjadi presiden karena pendukungnya tidak tersebar. Hal itu dialami sejumlah capres AS lain yang unggul dalam jumlah suara pemilih langsung (popular vote) dan kalah dalam jumlah suara wakil pemilih (electoral college).
Sistem pemilihan presiden AS tidak benar-benar menggunakan sistem langsung seperti Indonesia. Presiden AS dipilih oleh 538 wakil pemilih yang disebar merata di seluruh 50 negara bagian AS. Untuk menang, capres AS harus disokong sekurangnya 270 wakil pemilih.
Wakil pemilih menentukan pilihannya berdasarkan siapa calon yang memenangi pemilihan langsung di setiap daerah pemilihan. Karena itu, pertarungan dalam pilpres AS sebenarnya terjadi di setiap daerah pemilihan. (AP/REUTERS)