Omar Yaghi, bayi berusia 8 bulan, meninggal dunia karena gagal jantung. Dia seharusnya menjalani operasi jantung di rumah sakit di Tel Aviv, Mei lalu. Operasinya gagal karena ia tidak mendapat izin pergi ke Tel Aviv.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Omar dan Raneen tidak bisa berkata-kata. Luka mereka masih sangat dalam apabila harus bercerita tentang Omar Yaghi, putra mereka, yang meninggal ketika usianya belum menginjak satu tahun. Putra mereka, Omar, meninggal 18 Juni lalu.
”Seharusnya Omar menjalani operasi besar pada 24 Mei. Namun, mereka mengatakan kami tidak bisa pergi ke Israel karena koordinasi antara Palestina dan Israel diputus,” kata Mohammed Yaghi, paman sang jabang bayi. Yaghi berbicara mewakili Omar dan Raneen.
Omar lahir dengan kelainan jantung yang kompleks. Sejak Desember 2019, Omar menjalani perawatan di Rumah Sakit Sheba Medical Center, Tel Aviv, Israel. Kondisi itu membuat Omar dan kedua orangtuanya harus bolak-balik Tel Aviv-Gaza setiap bulan untuk memantau perkembangan kondisinya.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang mendengar kondisi Omar mencoba mencari jalan keluar dengan melobi rumah sakit untuk mendapatkan jadwal operasi yang baru. Lobi berhasil. Operasi dijadwalkan berlangsung pada 21 Juni lalu. Namun, Omar meninggal sebelum menjalani operasi.
Yaghi mengatakan, bapak sang jabang bayi dalam perjalanan menuju rumah sakit ketika mendengar kabar putranya telah tiada. ”Dia sangat terpukul. Apalagi ketika dia menggendong jenazah putranya,” kata Yaghi.
Menurut keterangan rumah sakit di Gaza, sang jabang bayi mengalami gagal jantung. Yaghi sempat mencari cara untuk membawa ponakannya itu ke Tel Aviv untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, kenyataan berkata lain. Pukul 10 pagi, Omar dinyatakan meninggal dunia.
Pemutusan hubungan
Aktivis yang tergabung di dalam lembaga Dokter untuk HAM Israel menyatakan Omar meninggal dunia karena penundaan operasi, yang seharusnya tidak terjadi. Penundaan terjadi karena Otoritas Palestina yang mengurusi masalah koordinasi warga sipil dengan Israel tidak bergerak.
COGAT (Coordinator of Government Activities on Territories), cabang Kementerian Pertahanan Israel yang berurusan dengan izin keluar masuk wilayah Israel-Palestina, menyatakan mereka tetap memberikan izin kepada warga Palestina di Gaza untuk masuk ke wilayah Israel dengan alasan medis atau masalah-masalah kemanusiaan lainnya.
”Pasien telah menggambarkan bagaimana para staf lembaga Palestina yang bertugas mengoordinasikan perjalanan mereka dengan pihak berwenang Israel berhenti mengirimkan aplikasi untuk izin keluar walau dengan alasan medis,” kata organisasi itu.
Haitham al-Hadra, pejabat yang bertanggung jawab atas transfer medis warga Palestina di Kementerian Kesehatan Palestina, menyatakan dirinya tetap berpegang pada komitmen Otoritas Palestina untuk berhenti bekerja sama dengan pemerintah Israel, yang diumumkan Presiden Mahmoud Abbas pada 19 Mei lalu. Untuk alasan apa pun.
”Kami bahkan tidak mengangkat telepon atau menjawab e-mail,” katanya.
Hadra mengatakan, tanpa harus bepergian ke wilayah Israel, warga Palestina bisa mendapatkan perawatan yang layak di wilayahnya sendiri. ”Sebanyak 95 persen masalah medis bisa dirawat di rumah sakit Palestina, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta,” ujar Hadra.
Namun, tidak semua orang dapat mengatur kepergian mereka sendiri ke rumah sakit di wilayah Israel atau membayar perawatan yang mahal.
Hala al-Johari (58), warga Nablus, Tepi Barat utara, sudah satu setengah bulan tidak menjalani terapi untuk mengobati penyakit leukemia yang dideritanya. Sebelum pemutusan hubungan Israel-Palestina, dia bolak-balik ke Rumah Sakit Hadassah di kota Ein Kerem untuk menjalani pengobatan.
Pemutusan hubungan itu membuat para pasien kanker di Palestina memprotes kebijakan Abbas yang membuat mereka tidak bisa pergi-pulang ke wilayah Israel untuk berobat. Demonstrasi yang berlangsung pada Rabu pekan lalu berbuah. Johari menerima kepastian bahwa dia dan para pasien kanker lainnya akan mendapatkan bantuan obat selama satu bulan ke depan.
Namun, konflik tanpa akhir membuat Johari dan pasien lainnya tidak yakin mereka akan bisa menyambangi rumah sakit di wilayah Israel dalam waktu dekat.
”Saya berada di dunia yang tidak pasti. Kurangnya obat membuat saya gugup dan membuat saya terus-menerus takut. Saya tidak ingin mati,” kata Johari. (AFP)