PBB mengigatkan para pihak di Libya untuk meredakan suhu konflik yang semakin panas akibat rencana intervensi Mesir di Libya. Jerman, Italia, Amerika Serikat dan menyusul Rusia, menyerukan gencatan senjata.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
NEW YORK, SELASA – Semakin tingginya suhu konflik di Libya akibat keinginan Mesir untuk masuk dan terjun langsung dalam peperangan di negara itu, menghadapi Turki yang mendukung Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA), membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta para pihak menahan diri agar perang tidak berkobar lebih besar lagi. Beberapa negara meminta para pihak bertikai melaksanakan gencatan senjata untuk mengurangi ketegangan dan mencari penyelesaian politik di negara kaya minyak ini.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric, Senin (22/6) atau Selasa (23/6) waktu Indonesia menyatakan kekhawatiran lembaga itu atas mobilisasi militer dan persenjataan yang terus berlangsung di Libya, khususnya di wilayah Sirte, yang menjadi rebutan antara pasukan GNA pimpinan Perdana Menteri Fayez Al-Sarraj dan pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.
“Hal terakhir yang dibutuhkan Libya saat ini adalah lebih banyak peperangan, lebih banyak mobilisasi militer, lebih banyak transfer senjata, dan lebih banyak kehadiran tentara bayaran di tanah air mereka,” kata Dujarric. Dia menyatakan, secara telanjang dan kasat mata, hal-hal yang dia sebutkan di atas adalah pelanggaran mencolok embargo senjata.
Dujarric menambahkan adalah sangat penting bagi seluruh pihak untuk tidak melakukan tindakan yang semakin memperburuk situasi di Libya.
Suhu konflik meninggi, ketegangan meningkat setelah Presiden Mesir Abdel Fatah EL-Sisi pada akhir pekan lalu menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk turut campur dalam konflik di negara tetangganya itu. El Sisi menggunakan terminologi “mempertahankan diri” untuk menyebut keterlibatan Turki di dalam konflik Libya sebagai sebuah ancaman langsung terhadap kedaulatan Mesir.
Dia juga memperingatkan pasukan loyalis GNA untuk tidak melewati gari depan dengan LNA yang berbasis di Benghazi, Libya timur. EL Sisi sendiri sudah berbicara dengan beberapa anggota militer Mesir dan pasukan khusus untuk bersiaga, bersiap bergerak jika diperintahkan olehnya. Pernyataan dan tindakan El Sisi dikecam oleh GNA yang menilai hal itu sebagai sebuah deklarasi perang.
Sementara, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengecam tindakan Turki di Libya yang dinilainya sebagai perilaku yang berbahaya. Tindakan Turki itu, menurut Macron, tidak bisa diterima.
“Saya percaya bahwa Turki memainkan peran yang berbahaya di Libya dan melanggar isi perjanjian Berlin,” kata Macron, usai bertemu Presiden Tunisia Kais Saied.
Macron menyatakan, dia bisa memahami kegelisahan El Sisi bila pasukan GNA yang didukung Turki terus bergerak. bila hal itu terjadi, tindakan Turki dinilai Macron bisa menggerakkan keterlibatan langsung Mesir dalam konflik Libya. “Saya tidak ingin melihat Libya, di dalam enam bulan, satu tahun atau dua tahun atau lebih, mengalami situasi yang sama seperti di Suriah,” kata Macron.
Macron menyatakan, Perancis dan Tunisia mendesak para pihak yang berkonflik dan pendukungnya untuk menahan pengggunaan senjata dan menghormati komitmen bersama yang telah disepakati di Berlin. Di bawah pengawasan PBB para pihak didorong untuk melakukan perundingan damai, mencapai keamanan bagi semua pihak, penyatuan kembali lembaga-lembaga Libya dan rekonstruksi untuk kepentingan semua warga Libya.
"Hal itu adalah pilihan yang sulit. Langkah yang mengharuskan setiap orang untuk menunjukkan bukti tanggung jawab, menghentikan campur tangan asing dan tindakan sepihak dari mereka yang mengklaim memenangiposisi baru dalam perang," kata Macron.
De-eskalasi
Memanasnya suhu konflik di Libya membuat Italia, Jerman dan Amerika Serikat mendesak pemberlakuan gencatan senjata di negara itu. Pemerintah Rusia mengusulkan hal yang sama beberapa jam kemudian.
Pemerintah Jerman dan Italia sepakat untuk mengusulkan pemberlakuan gencatan senjata setelah usai pertemuan menteri luar negeri kedua negara di Roma, Senin. Menlu Italia Luigi Di Maio dan Menlu Jerman Heiko Maas menyatakan, gencatan senjata mendesak diberlakukan karena ancaman Mesir. Mereka juga mendesak pentingnya penunjukkan Utusan Khusus PBB untuk menangani masalah ini, sekaligus pemberlakuan embargo senjata yang lebih ketat.
"Jika kita menghentikan pasokan senjata, atau mengurangi jumlahnya secara signifikan, kita akan bisa mengurangi agresivitas para pihak yang berkonflik di Libya,” kata Di Maio.
Kedua negara memiliki kekhawatiran yang sama dengan eskalasi konflik di Libya karena akan mendorong gelombang migran yang lebih besar dari Timur Tengah. Italia, yang terpukul keras dengan Covid-19, pelonggaran pembatasan sosial akan membuat kedatangan migran membengkak di tengah kondisi darurat kesehatan yang masih mereka hadapi saat ini.
Di Maio menyatakan pemerintah Italia siap berkontribusi untuk memastikan pemberlakuan embargo senjata di Libya berjalan dengan baik.
Tidak hanya Jerman dan Italia yang mencoba mendorong pelaksanaan gencatan senjata di Libya. Pemerintah Amerika Serikat mengutus Kepala Komando Afrika AS (AFRICOM) Jenderal Stephen Townsend dan Duta Besar AS untuk Libya Richard Norland bertemu PM Al Sarraj.
Dalam pernyataannya, pemerintahan GNA menyatakan pertemuan itu merupakan pertemuan koordinasi bersama untuk perang melawan terorisme.
Sementara, Kedutaan Besar AS di dalam pernyataannya menyebutkan, pertemuan itu membahas soal peningkatan intervensi asing di dalam konflik Libya dan upaya yang lebih terfokus untuk mencari jeda strategis semua operasi militer para pihak yang terlibat di dalam konflik tersebut.
"Duta Besar Norland menguraikan dukungan AS untuk diplomasi yang sedang berlangsung melalui bantuan PBB untuk mempromosikan gencatan senjata dan dialog politik," tulis Kedubes AS.
Norland menyatakan bahwa "aktor-aktor eksternal harus berhenti memicu konflik (dan) menghormati embargo senjata PBB dengan tujuan untuk menjaga kedaulatan Libya dan stabilitas politik.
Pertemuan itu sendiri berlangsung beberapa hari setelah AFRICOM menyatakan memiliki bukti bahwa angkatan udara Rusia aktif di wilayah udara Sirte dan Jufra. (AP/AFP/Reuters)