Swedia Jadi Contoh Perlindungan Korban Pemerkosaan Melalui Perubahan UU
Para jaksa di Swedia sejak tahun 2018 tidak harus membuktikan adanya penggunaan atau ancaman kekerasan atau paksaan dalam kasus-kasus pemerkosaan yang mereka selidiki.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
LONDON, SELASA — Dua tahun sudah Pemerintah Swedia mengubah definisi pemerkosaan menjadi hubungan seks tanpa persetujuan dalam undang-undang di negara itu. Hasilnya, kini tingkat penindakan hukuman untuk kasus pemerkosaan di Swedia meningkat 75 persen.
Tidak seperti di negara-negara lain, para jaksa di Swedia tidak harus membuktikan adanya penggunaan atau ancaman kekerasan atau paksaan dalam kasus-kasus pemerkosaan yang mereka selidiki. Perubahan definisi pemerkosaan dalam hukum itu dilakukan Swedia tahun 2018.
Selain didefinisikan sebagai hubungan seks tanpa persetujuan, undang-undang negara itu juga memperkenalkan kasus baru, yakni pemerkosaan akibat kelalaian (negligent rape). Kasus ini diberlakukan ketika pengadilan menemukan tidak adanya persetujuan dalam sebuah hubungan seks, tetapi pelaku tidak bermaksud melakukan pemerkosaan.
Dewan Nasional untuk Pencegahan Kejahatan menyebutkan jumlah hukuman yang diputuskan dalam kasus-kasus pemerkosaan di Swedia naik dari 190 kasus pada tahun 2017 menjadi 333 kasus tahun 2019. ”Kami tidak menyangka akan ada peningkatan sebanyak itu. Ini pertanda baik karena membawa keadilan bagi korban pemerkosaan,” kata peneliti senior di Dewan Nasional untuk Pencegahan Kejahatan, Stina Holmberg, Senin (22/6/2020).
Holmberg berharap undang-undang baru dan isu penting itu bisa diperbincangkan di sekolah-sekolah dan rumah atau keluarga. Para pejuang hak perempuan mengajak negara-negara lain mengikuti langkah Swedia. Penasihat kebijakan hak perempuan di Amnesty International di Swedia, Katarina Bergehed, menegaskan bahwa kegiatan seksual harus dilakukan atas persetujuan. ”Lain dari itu, disebut pemerkosaan,” ujarnya.
Sampai sejauh ini Inggris, Belgia, Kanada, Siprus, Jerman, Yunani, Eslandia, Irlandia, dan Luksemburg sudah mendefinisikan pemerkosaan sebagai seks tanpa persetujuan. Denmark, Finlandia, Spanyol, dan Portugal sudah menjanjikan reformasi hukum yang serupa.
Bergehed mengatakan, banyak orang masih menganggap pemerkosaan sebagai bentuk serangan kekerasan yang dilakukan orang asing yang tidak dikenal. Namun, kajian kasus-kasus pengadilan di Swedia menunjukkan bahwa hampir semua korban pemerkosaan ternyata mengenal penyerang atau pelakunya.
”Stereotip seperti ini jelas tidak membantu para korban untuk berani mengajukan kasusnya ke pengadilan. Ini membuat mereka ragu-ragu apakah mereka mengalami pemerkosaan atau tidak,” kata Bergehed.
Perempuan korban kekerasan dan pemerkosaan sering kali menyalahkan diri sendiri, terutama ketika mereka diam saja dan tidak melawan. Polisi dan pengadilan sering menanyakan pengalaman korban, bahkan mempertanyakan kenapa tidak membalas. Ada bukti bahwa banyak korban mengalami kelumpuhan sementara ketika diperkosa.
Bergehed mengatakan, ada studi yang dilakukan klinik darurat Swedia bagi korban pemerkosaan. Hasilnya, sebanyak 70 persen korban pemerkosaan tidak bisa bergerak saat diperkosa.
Meski sudah ada kenaikan penindakan hukum, Bergehed menilai, jumlah itu masih rendah. Laporan tentang pemerkosaan naik menjadi 5.930 kasus pada tahun 2019 dari 4.895 kasus di tahun 2017. Ini hanyalah puncak dari gunung es. Kejahatan seksual belum diprioritaskan, bahkan penyelidikan pun kerap cacat sehingga tidak banyak yang bisa dilanjutkan ke pengadilan.
Tahun lalu, kepolisian Swedia berjanji akan merekrut staf khusus untuk menangani kejahatan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
Kajian Dewan Nasional untuk Pencegahan Kejahatan menunjukkan, sebanyak 12 orang dihukum untuk bentuk kejahatan seperti itu. Holmberg mengatakan, hakim-hakim senior perlu menyiapkan panduan yang lebih jelas tentang aturan hukum itu ke semua pengadilan.