Jalan Pelan Pemulihan Ekonomi
Pemulihan ekonomi Asia dari wabah Covid-19 menuntut daya tahan negara-negara di kawasan. Lembaga keuangan dan ekonomi memperkirakan pemulihan itu akan berjalan pelan dalam ketidakpastian situasi.
Tahun ini seharusnya menjadi tahun penuh harapan bagi Huang Bing. Lulus dari sekolah seni pertunjukan paling bergengsi di China akhir tahun lalu, ia langsung mendapat tawaran pekerjaan pertamanya di sebuah manajemen pertunjukan di Beijing. Namun, pandemi Covid-19 memorakporandakan harapannya. Tawaran pekerjaan itu ditunda tanpa batas waktu.
”Saat itu bulan April dan saya masih belum bisa bekerja. Saya mulai khawatir,” kata Huang, perempuan berusia 24 tahun itu, kepada The New York Times, akhir Mei lalu. ”Saya mulai khawatir, saya mungkin tak dapat bekerja tahun ini sama sekali. Saya tak bisa menunggu.”
Pengangguran menjadi salah satu tekanan terbesar di China saat ini. Tekanan itu telah mengemuka sejak perang dagang China dengan Amerika Serikat. Pandemi Covid-19 memperparahnya. Jutaan pekerja harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan sementara. Mereka yang masih bekerja pun mengalami pemotongan gaji.
Baca juga: Kasus Covid-19 Muncul Kembali, Sebagian Beijing Dikarantina
Perhatian publik global terus tertuju pada pandemi Covid-19. Langkah pengendalian oleh seluruh negara telah mengganggu aktivitas ekonomi. Dalam rilis terbarunya tengah pekan lalu, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan ekonomi Asia hanya akan tumbuh 0,1 persen sepanjang tahun ini. Angka proyeksi itu turun dari perkiraan 2,2 persen pada bulan April dan akan menjadi pertumbuhan paling lambat untuk wilayah tersebut sejak tahun 1961.
Pertumbuhan pada tahun 2021 diperkirakan meningkat menjadi 6,2 persen, seperti proyeksi ADB, April lalu. ”Ekonomi di Asia Pasifik akan terus merasakan pukulan pandemi Covid-19 tahun ini, bahkan ketika kebijakan penguncian perlahan-lahan dikurangi dan kegiatan ekonomi tertentu dimulai lagi dalam skenario ’normal baru’,” kata Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada.
Sawada menyatakan, ADB melihat prospek pertumbuhan yang lebih tinggi untuk Asia pada tahun 2021. Hal itu terutama disebabkan oleh capaian yang lemah tahun ini. Namun, pemulihan yang ada diperkirakan bukan pemulihan cepat atau pemulihan berpola huruf V. ”Pemerintah harus melakukan langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi dampak negatif Covid-19 dan memastikan tidak ada lagi gelombang (kedua) wabah,” katanya.
Pemerintah harus melakukan langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi dampak negatif Covid-19 dan memastikan tidak ada lagi gelombang (kedua) wabah.
Dalam kurun waktu dua bulan sejak ADB merilis proyeksi ekonomi 2020 pada 3 April lalu, jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia telah meningkat dari kurang dari 1 juta menjadi lebih dari 7 juta pada 12 Juni. Negara berkembang di Asia menyumbang 10,7 persen dari total kasus itu. Perluasan kasus positif secara domestik terjadi di banyak negara di Asia.
Catatan ADB menunjukkan, 21 dari 46 negara berkembang di Asia mencatat jumlah kasus positif Covid-19 lebih dari 1.000 kasus. Banyak pemerintah memberlakukan penutupan wilayah sepenuhnya untuk beberapa waktu. Negara-negara di Asia bagian selatan cenderung menerapkan aturan ketat. Adapun negara-negara di Asia Timur, kecuali China dengan kebijakan di Wuhan, cenderung menerapkan kebijakan lebih longgar lewat jaga jarak sosial.
Bank Dunia menyatakan, pandemi Covid-19 pada dasarnya telah menghentikan mobilitas internasional dan mengganggu rantai nilai global. Merujuk data ADB, kunjungan wisatawan ke negara-negara di Asia anjlok 87-100 persen hingga Mei. Akibatnya, perdagangan global pun anjlok.
Pemindahan aset ke ”tempat” lebih aman telah memicu penurunan tajam di pasar ekuitas global dan arus keluar modal yang belum pernah terjadi sebelumnya dari negara berkembang dan maju. Selain itu, terlihat peningkatan penyebaran risiko kredit dan depresiasi banyak mata uang. Penurunan permintaan pun telah menyebabkan penurunan tajam sebagian besar harga komoditas, dengan penurunan harga minyak yang sangat besar.
Menurut Bank Dunia, sejumlah indikator terbaru menunjukkan bahwa perdagangan global tahun 2020 berada di jalur kejatuhan yang lebih dalam daripada yang terjadi selama krisis keuangan global akhir era 2000 -an. Sebagian disebabkan gangguan pandemi Covid- 19 terhadap perjalanan internasional dan rantai nilai global. Perdagangan biasanya lebih fluktuatif dan cenderung turun secara tajam saat krisis. Investasi telah menurun di seluruh dunia karena perusahaan menghadapi masalah pembiayaan dan menunda ekspansi.
Baca juga: Hidup Bersama Covid-19
Perusahaan pengekspor cenderung sangat aktif di pasar kredit dan lebih terpengaruh ketika biaya kredit meningkat. Gangguan di pasar kredit memainkan peran penting dalam kontraksi perdagangan global selama krisis keuangan global hingga pelemahan berikutnya. Pola-pola itu, sebagaimana ditegaskan Bank Dunia, bisa terulang saat ini.
Mitra dagang RI
Kondisi dan proyeksi ekonomi negara-negara mitra utama perdagangan Indonesia patut diperhatikan. Ekonomi China mengalami kontraksi tajam pada triwulan I-2020. Konsumsi swasta dan layanan non-keuangan sangat terpukul oleh Covid-19 dan perpanjangan masa pembatasan untuk membendungnya. Ekspor anjlok, lebih dari impor, sebagai akibat dari penutupan pabrik sementara.
Aktivitas mulai kembali normal secara bertahap pada triwulan kedua setelah pelonggaran dari penutupan wilayah. Namun, perusahaan terus menghadapi kekurangan pendanaan dan tertekan permintaan eksternal. Bank Dunia memproyeksikan ekonomi China melambat tajam, dari 6,1 persen pada 2019 menjadi 1 persen pada 2020 atau 4,9 poin persentase di bawah proyeksi sebelumnya dan menjadi tingkat pertumbuhan terendah dalam lebih dari empat dekade.
Di Jepang, efek pandemi dan respons kebijakannya memicu penurunan aktivitas ekonominya. Hal itu pun memperbesar dampak negatif yang parah melalui jalur perdagangan dan keuangan. Penundaan Olimpiade Tokyo 2020 telah memperparah dampak ekonomi yang merugikan akibat pandemi. Untuk membantu mendukung pertumbuhan, Bank of Japan telah meningkatkan pembelian sekuritas dan obligasi korporasi, memperluas ukuran neraca sebesar lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto negara itu sejak Januari lalu.
Jepang mengakhiri semua pembatasan terkait Covid-19 sejak pekan lalu. Perdana Menteri Shinzo Abe menyerukan kepada warganya untuk pergi jalan-jalan atau menghadiri konser dan acara lainnya. Hal ini semata untuk membantu perekonomian Jepang bangkit kembali dari resesi pandemi. ”Saya ingin orang-orang, sambil tetap menjaga jarak sosial, untuk melakukan perjalanan wisata. Kami ingin Anda melakukan upaya untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan ekonomi,” kata Abe dalam pidatonya tengah pekan lalu.
Saya ingin orang-orang, sambil tetap menjaga jarak sosial, untuk melakukan perjalanan wisata. Kami ingin Anda melakukan upaya untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan ekonomi.
Ekonomi AS juga sedang tidak baik. Dibandingkan dengan krisis keuangan global, klaim pengangguran mingguan di AS meningkat jauh lebih cepat, sementara produksi industri dan penjualan ritel turun jauh lebih tajam. Jatuhnya harga minyak telah menekan investasi di sektor minyak serpih AS yang sangat berpengaruh.
Federal Reserve telah memangkas suku bunganya mendekati nol dan mengumumkan langkah-langkah jangka panjang untuk menstabilkan sistem keuangan. Langkah terakhir itu mencakup pembelian tak terbatas utang Pemerintah AS serta pembelian obligasi korporasi berskala besar dan sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintahan lebih rendah.
Alvaro Pereira, Director Country Studies, Economic Departement, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), mengibaratkan proses yang dihadapi negara-negara di dunia saat-saat ini adalah lomba maraton dan bukan lari jarak pendek. Pemulihan coba dilakukan dalam tempo lambat, hati-hati dalam ketidakpastian. Ia mengingatkan bahwa gambaran ekonomi belum bagus.
Harga komoditas bisa lebih tertekan. Banyak perusahaan harus berjuang lebih keras lagi karena, jika tidak, kondisi di depan lebih buruk. ”Kita tetap merekomendasikan perdagangan, dan bukan proteksionisme, untuk melawan pandemi. Bantu pekerja untuk bertransisi mendapatkan pekerjaan baru mereka,” kata Pereira dalam webinar OECD bersama Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI pekan lalu.
Efek-efek paparan di atas itu tergambar pada sosok Huang. Demi menyambung hidup, ia kini mencoba bekerja lepas di sebuah rumah produksi dan membantu sebuah penerbitan. Ia harus memotong pengeluarannya dan sangat berhemat. Kaum muda, seperti Huang, memasuki situasi kompetisi ketenagakerjaan terberat di China pada era modern.
Banyak orang, seperti Huang, harus mengurangi harapan mereka atau bahkan mengubur impian—minimal untuk beberapa saat. Mereka sekenanya mengambil pekerjaan apa pun yang bisa mereka dapatkan. Tekanan itu bisa meningkat tahun ini saat ada hampir 8,7 juta lulusan perguruan tinggi baru di negara itu. (AFP/REUTERS)