AS-Rusia Rundingkan Kembali Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis
Amerika Serikat dan Rusia tengah berunding soal keberlanjutan perjanjian pengurangan senjata strategis (New START) di Vienna, Austria. Dari perkembangan, kecil kemungkinan kedua negara memperpanjang perjanjian itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
VIENNA, SENIN — Utusan dari Amerika Serikat dan Rusia mulai bertemu untuk membahas perundingan perjanjian pengurangan senjata strategis atau New START di Vienna, Austria, Senin (22/6/2020). Kesepakatan New START akan berakhir pada Februari 2021 dan bisa diperpanjang jika AS dan Rusia menyepakati hal itu.
Namun, di tengah meningkatnya ketegangan dan sejumlah perbedaan dalam melihat apakah masih penting adanya pengendalian senjata, muncul keraguan bahwa perjanjian itu bakal diperpanjang oleh AS dan Rusia. New START (Strategic Arms Reduction Treaty) atau Traktat Pengurangan Senjata Strategis merupakan perjanjian antara AS dan Rusia tentang langkah-langkah pengurangan serta pembatasan senjata-senjata serangan strategis.
Perjanjian itu ditandatangani pada April 2010 oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. New START merupakan kesepakatan utama terakhir antara AS dan Rusia terkait senjata nuklir. Dengan kesepakatan tersebut, AS dan Rusia diperbolehkan memiliki maksimal 1.550 hulu ledak atau sekitar 30 persen lebih rendah daripada batasan yang diatur dalam pakta tahun 2002.
Presiden AS Donald Trump bersikeras agar China dilibatkan dalam perundingan terkait New START karena, tanpa terikat perjanjian, Beijing leluasa mengembangkan sistem-sistem persenjataan. Namun, sejauh ini Beijing tidak memperlihatkan tanda-tanda bakal tertarik untuk terlibat dalam perundingan tersebut.
Perundingan antara delegasi AS dan Rusia berlangsung di Istana Niederoesterreich, Vienna. Delegasi AS dipimpin Duta Besar Marshall Billingslea, sedangkan delegasi Rusia dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov. Mereka tidak mengeluarkan pernyataan atau komentar saat tiba di lokasi perundingan, Senin sekitar pukul 08.30 waktu setempat.
Sebelum perundingan berlangsung, Billingslea sempat menuding pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin memordenisasi ribuan senjata nuklir non-strategis mereka, yang berada di luar jangkauan substansi perjanjian kedua negara. Ia mendesak agar ada tim pengawas independen yang melakukan inspeksi terhadap kemampuan dan stok persenjataan nuklir Rusia di bawah perjanjian New START.
Tidak hanya menuding Rusia, bulan lalu Billingslea juga memberikan isyarat bahwa Washington ingin menegosiasikan substansi perjanjian New START yang baru jika perundingan itu dilaksanakan secara multilateral, tidak hanya melibatkan AS dan Rusia. Ia kembali mencuit di Twitter dengan unggahan foto meja negosiasi bertanda bendera China yang kosong.
”Beijing masih bersembunyi di belakang #KerahasiaanTembokRaksasa dalam pembangunan nuklirnya, dan masih banyak hal lainnya,” cuit Billingslea di Twitter.
Kedutaan Besar China untuk Austria mencemooh cuitan tersebut dan menyebutnya sebagai ”seni pertunjukan”. Pemerintah China sejak awal menyatakan tidak tertarik untuk ikut serta dalam perundingan pembatasan senjata strategis itu. China kini berada di posisi ketiga di dalam kepemilikan hulu ledak nuklir dengan jumlah 320 buah.
Tanda AS tak serius
Daryl Kimball, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengawas Pengendalian Senjata, lembaga riset yang bermarkas di Washington, AS, Senin (22/6/2020), mengatakan bahwa desakan untuk memasukkan China dalam perundingan itu menunjukkan pemerintahan Trump tidak serius dalam melaksanakan perjanjian tersebut.
”Satu-satunya kesimpulan yang saya pikirkan adalah bahwa pemerintahan Trump tidak memiliki keinginan, tidak bermaksud untuk memperpanjang perjanjian itu, dan ingin memperlihatkan ketidaktertarikan China untuk ikut serta dalam pembicaraan tiga pihak adalah alasan sinis agar perjanjian yang ada saat ini berakhir,” kata Kimball.
Song Zhongping, analis pertahanan China, mengatakan bahwa perundingan persenjataan akan menjadi jebakan bagi China. Hans Kristensen, Direktur Program Informasi Nuklir pada Federasi Ahli Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat, mengatakan bahwa ketika Pemerintah AS memaksa China untuk ikut serta karena kepemilikan senjata nuklir, seharusnya Pakistan, Korea Utara, Inggris, Perancis, India, dan Israel juga harus diundang sebagai peserta perundingan multilateral.
Sejumlah pemimpin negara berharap perundingan baru New START saat ini bisa mengarah pada hal yang positif, termasuk pengendalian perlombaan senjata dan pengembangan teknologinya. Presiden Perancis Emmanuel Macron menyatakan, sangatlah penting bagi dunia untuk melihat perjanjian itu diperpanjang lebih lama setelah tahun 2021.
Melebihi batasan
Dalam perjanjian New START, AS dan Rusia hanya boleh memiliki 1.550 hulu ledak nuklir strategis. Kedua negara wajib melakukan pengurangan hulu ledak nuklir strategis sejumlah itu dalam waktu tujuh tahun sejak perjanjian tersebut ditandatangani (Kompas, 9 April 2010).
Namun, berdasarkan data Stokcholm International Peace Research Institute, per awal 2020, jumlah kepemilikian hulu ledak nuklir strategis kedua negara telah melebihi batasan. Rusia memiliki 2.440 hulu ledak nuklir strategis dari total hulu ledak nuklir yang mereka miliki, yaitu 6.375. Jumlah ini berkurang dibandingkan dengan angka yang sama pada awal 2019 sebanyak 6.500 hulu ledak nuklir.
Sementara Amerika Serikat memiliki 1.600 hulu ledak nuklir strategis dari total 5.800 hulu ledak nuklir yang dimiliki oleh AS. Sama seperti Rusia, angka kepemilikian ini juga berkurang dibandingkan dengan 2019, yaitu 6.185 buah.
Ketidakpatuhan dua negara atas substansi perjanjian yang telah mereka tanda tangani juga terlihat dari kebijakan pemerintahan kedua negara yang sama-sama mencoba mengembangkan jenis persenjataan baru. Laman Al Jazeera melaporkan, Rusia pada akhir 2019 telah mengoperasikan satu resimen persenjataan yang memiliki kemampuan hipersonik. Sedangkan AS sudah mengoperasikan hulu ledak nuklir W76-2 pada kapal selam kelas Ohio, Februari 2020.
Shannon Kile, analis SIPRI, mengatakan bahwa ketidakpatuhan kedua negara bisa menjadi pertanda berakhirnya perundingan bilateral nuklir di antara mereka. (AP/AFP)