Gerah dengan Turki, Sisi Siapkan Militer Mesir Bertempur di Libya
Turki mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang menguasai Tripoli. Sementara Mesir mendukung pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) yang berbasis di Benghazi, Libya timur, yang bertempur melawan pasukan GNA.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KAIRO, MINGGU — Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, Sabtu (20/6/2020), di Kairo, mengatakan, Mesir memiliki hak yang sah untuk ikut campur tangan dalam krisis Libya. Sisi pun memerintahkan pasukannya bersiap siaga untuk melaksanakan misi di luar negeri jika sewaktu-waktu diperlukan.
Pernyataan Sisi itu muncul di tengah-tengah ketegangan tinggi akibat intervensi Turki di Libya, tetangga Mesir. Turki mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang menguasai Tripoli. Sedangkan Mesir mendukung pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) yang berbasis di Benghazi, Libya timur.
Dukungan Turki untuk membantu GNA telah memukul mundur pasukan LNA pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, yang telah bertempur selama 14 bulan dalam upaya merebut Tripoli. Situasi itu membuat Sisi gerah. Selain didukung Mesir, pasukan Haftar juga didukung Rusia dan Uni Emirat Arab.
Sisi juga memperingatkan pasukan loyalis GNA, yang diakui secara internasional, agar tidak melewati garis depan saat ini dengan LNA yang berbasis di Benghazi, Libya timur.
”Setiap intervensi langsung dari negara Mesir kini telah memperoleh legitimasi internasional,” kata Sisi pada audiensi setelah memeriksa sebuah unit militer di Pangkalan Udara Mesir, di dekat perbatasan dengan Libya.
Sisi mengatakan, Mesir memiliki hak untuk mempertahankan diri setelah menerima ”ancaman langsung” dari ”milisi dan tentara bayaran teroris” yang didukung oleh negara-negara asing. Sisi jelas merujuk kepada beberapa kelompok bersenjata yang setia pada GNA dan didukung Turki.
Sisi menegaskan, tujuan utama setiap intervensi Kairo termasuk melindungi perbatasan Mesir di sepanjang 1.200 kilometer (746 mil). Selain itu, adalah membantu mencapai gencatan senjata dan memulihkan stabilitas dan perdamaian di Libya.
Sebelum pidatonya, Sisi berbicara dengan beberapa pilot angkatan udara dan personel pasukan khusus di pangkalan. Ia mengatakan kepada mereka, ”Bersiaplah untuk melaksanakan misi apa pun, di sini di dalam perbatasan kita atau jika perlu, di luar perbatasan kita.”
Pemerintah UAE dan Arab Saudi menyambut baik keinginan Mesir untuk melindungi keamanan dan perbatasannya. Tidak ada reaksi langsung dari Turki dan GNA.
Awal bulan ini, Mesir menyerukan gencatan senjata di Libya sebagai bagian dari inisiatif yang juga mengusulkan dewan kepemimpinan terpilih untuk negara itu.
Pada Sabtu, Sisi mengatakan bahwa Mesir selalu enggan untuk ikut campur tangan di Libya dan menginginkan solusi politik untuk konfliknya, tetapi menambahkan bahwa ”situasinya sekarang berbeda”.
”Jika beberapa orang berpikir bahwa mereka dapat melintasi garis depan Sirte-Jufra, ini adalah garis merah bagi kami,” katanya di depan audiensi yang menyertakan beberapa pemimpin suku Libya.
Sisi meminta kedua pihak yang bertikai untuk menghormati garis depan dan kembali ke pembicaraan menuju perdamaian. Dia juga mengatakan Mesir dapat memberikan pelatihan dan senjata kepada suku-suku Libya untuk memerangi ”milisi teroris”.
Kota utama Sirte, yang terletak sekitar 450 kilometer (280 mil) timur ibu kota, berada di bawah kendali Haftar. Pasukan Haftar yang tahun lalu meluncurkan usaha untuk merebut kendali atas Libya barat, tetapi baru-baru ini upaya itu dibatalkan.
Pihak GNA mengecam pernyataan sekaligus peringatan Sisi. Kubu GNA mengatakan intervensi apa pun akan menjadi ancaman bagi keamanan Libya.
”Kami sangat menolak apa yang dikatakan Sisi dan menganggapnya sebagai kelanjutan dari perang terhadap rakyat Libya, campur tangan dalam urusan Libya dan ancaman berbahaya bagi keamanan nasional,” kata Mohammed Amari Zayed, anggota Dewan Kepresidenan GNA.
”Tidak mungkin ada ’garis merah’ di dalam perbatasan kami. Kami menolak setiap tawaran yang bertujuan membagi rakyat Libya atau wilayah mereka ... (dan) kami dengan tegas menolak segala tawaran untuk memaksakan perwalian di Libya,” kata Zayed.
Turki sendiri juga telah berjanji untuk terus mendukung dorongan GNA di Sirte. Ankara juga dilaporkan menuntut evakuasi pasukan Haftar dari kota demi tercapainya gencatan senjata yang berkelanjutan.
Libya telah dilanda kekerasan, menarik milisi kesukuan, jihadis dan tentara bayaran sejak 2011 aksi penggulingan lewat pembunuhan diktator Moammar Khadafy dalam pemberontakan yang didukung Barat.
Negara kaya minyak itu pun terpecah antara pemerintahan saingan di timur dan barat. Konflik baru-baru ini pun cenderung semakin menarik keterlibatan asing. (AFP/REUTERS)