Keberhasilan penerapan kebijakan pelonggaran dengan membuka masjid di kota Mekkah yang dimulai hari ini akan menjadi indikasi pelaksanaan ibadah haji tahun ini.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
Pemerintah Arab Saudi mulai hari Minggu (21/6/2020) ini membuka kembali 1.560 masjid yang tersebar di seluruh kota Mekkah untuk aktivitas ibadah. Sebelumnya, selama sekitar tiga bulan masjid-masjid itu ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Kementerian urusan Islam di kota Mekkah menegaskan akan menerapkan protokol kesehatan yang ketat di semua masjid itu, seperti sajadah yang dipakai hanya akan dipakai sekali, keharusan memakai masker, serta antara satu dan lain jemaah harus berjarak dua baris atau sekitar 2 meter.
Pembukaan kembali masjid-masjid di kota Mekkah itu mendapat perhatian khusus dari publik di Arab Saudi. Media resmi dan media sosial di Arab Saudi dalam beberapa hari terakhir menyoroti isu tersebut.
Tampaknya, di antara warga Arab Saudi sudah terbentuk opini, kota Mekkah tidak terpisahkan dari ibadah haji karena semua proses pelaksanaan ibadah haji dilakukan di Mekkah, Padang Arafah, dan kota Mina.
Situasi dan kondisi kota Mekkah sangat menentukan bagi pelaksanaan ibadah haji. Seiring dengan penantian umat Islam di seluruh dunia atas keputusan Raja Salman bin Abdulaziz terkait haji tahun ini yang jatuh pada akhir Juli nanti, isu tentang kota Mekkah menjadi sangat strategis dan penting.
Pembukaan masjid di kota Mekkah itu adalah tahap ketiga atau terakhir dari kebijakan pelonggaran yang diterapkan Pemerintah Arab Saudi.
Meski masjid di kota Mekkah diizinkan dibuka, kota suci tetap ditutup. Warga kota Mekkah masih dilarang pergi ke tempat kerja dan semua fasilitas kota tetap ditutup. Warga luar juga dilarang masuk kota Mekkah.
Pada tahap ketiga pelonggaran ini, warga Arab Saudi di kota-kota besar lain selain Mekkah telah diizinkan kembali bekerja, berekreasi, dan memulai lagi kehidupan sosial-ekonomi.
Bersamaan dengan pembukaan akses sosial dan ekonomi pada tahap ketiga ini, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengumumkan akan mendenda siapa pun yang tidak mengenakan masker, tidak menjaga jarak, atau menolak tes suhu tubuh.
Besar denda itu 1.000 riyal Arab Saudi setara Rp 3,7 juta. Pemerintah Arab Saudi hanya mengizinkan acara yang melibatkan massa maksimal 50 orang, baik berupa acara keluarga maupun nonkeluarga, di perumahan ataupun di tempat umum.
Seperti diketahui, Pemerintah Arab Saudi setelah mendapat persetujuan Raja Salman bin Abdulaziz menerapkan tiga tahap pembukaan akses itu untuk menggerakkan lagi ekonomi rakyat dan negara.
Arab Saudi menerapkan pembukaan akses sosial-ekonomi tahap pertama pada 28 Mei hingga 30 Mei. Tahap kedua, mulai 31 Mei hingga hari Sabtu, 20 Juni. Tahap ketiga dimulai pada Minggu, 21 Juni, hingga waktu yang tidak ditentukan. Pemerintah Arab Saudi tetap bertekad membuka akses sosial-ekonomi tahap ketiga atau terakhir ini yang disebut dengan normal baru meskipun tren kurva positif Covid-19 di negara itu akhir-akhir ini masih cukup tinggi.
Pada Jumat lalu, Kementerian Kesehatan Arab Saudi mengumumkan kasus baru positif Covid-19 di negara tersebut mencapai 4.301 kasus. Sebelumnya pada Kamis tercatat ada 4.757 kasus baru dan pada Rabu lalu tercatat 4.919 kasus baru.
Hingga Jumat (19/6/2020), sebagaimana dicatat Worldometer, kasus positif Covid-19 di Arab Saudi mencapai 150.292 kasus dengan 1.184 kasus diikuti kematian dan 95.764 kasus dinyatakan sembuh. Arab Saudi adalah episentrum Covid-19 terbesar ketiga di Timur Tengah setelah Iran dan Turki.
Disiplin
Juru bicara Kementerian Kesehatan Arab Saudi, Mohammed al-Abdul Ali, dalam konferensi pers di Riyadh, Kamis lalu, mengungkapkan, lonjakan kasus positif pasca-pelonggaran terjadi lantaran padatnya interaksi sosial di tempat-tempat umum. Warga mengabaikan protokol kesehatan.
Pada tahap ketiga, ia mengimbau warga Arab Saudi agar berkomitmen menghindari kerumunan massa, terus mengenakan masker, menjaga jarak, rajin mencuci tangan, dan tidak bersalaman.
Keberhasilan pelonggaran tahap ketiga ini—ditandai dengan menurunnya angka kasus baru—sangat ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia. Keberhasilan penerapan kebijakan pelonggaran itu, termasuk dalam pembatasan di kota Mekkah, sangat terkait erat dengan ”nasib” pelaksanaan ibadah haji tahun 2020.
Jika dalam beberapa hari mendatang kurva positif Covid-19 di Arab Saudi bisa melandai atau bahkan menurun, akan membuka potensi digelarnya ibadah haji tahun ini meskipun digelar secara simbolis dengan partisipasi sangat terbatas, semisal hanya penduduk Mekkah.
Bagi Raja Salman dan keluarga besar Al-Saud yang berkuasa, pelaksanaan ibadah haji sangat penting secara psikologis, politik, dan ekonomi. Hal itu untuk menunjukkan bahwa keluarga besar Al-Saud mampu menggelar ibadah haji dalam situasi sesulit apa pun, sejak berdirinya negara Arab Saudi modern tahun 1932.
Sebaliknya, apabila pembukaan akses sosial-ekonomi tahap terakhir ini justru memicu lonjakan kasus baru, khususnya di kota Mekkah, hampir dipastikan Raja Salman yang menyandang sebutan pelayan dua tanah suci itu akan mengambil keputusan meniadakan ibadah haji tahun ini.
Raja Salman tentu tidak ingin mengambil risiko bahwa pelaksanaan ibadah haji justru menjadi kluster baru membiaknya Covid-19 secara masif. Jika hal itu terjadi, Arab Saudi akan menjadi sorotan masyarakat internasional. Citra Arab Saudi pun akan terpuruk.
Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers hari Jumat lalu di Geneva, Swiss, mengatakan, dunia kini memasuki masa baru yang berbahaya terkait penyebaran Covid-19. Situasi itu muncul seiring dengan langkah banyak negara melonggarkan kebijakan pembatasan sosial dan mendorong lagi roda ekonomi. Untuk itu, Tedros mengimbau agar semua orang tetap lebih banyak berada di rumah.