AS Tarik-tarik China dalam Isu Pengendalian Nuklir
Rusia punya 6.375 bom nuklir, AS 5.800 bom nuklir, China 320 bom nuklir, Perancis 290 bom nuklir, dan Inggris 215 bom nuklir. India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara juga dilaporkan memiliki bom nuklir.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
WASHINGTON DC, SABTU — Amerika Serikat bersikeras mengikutsertakan China dalam pembicaraan tentang perjanjian nuklir utama. Namun, Beijing berkeras menolak. Sejumlah pengamat menilai, langkah itu sebagai tanda ketidakseriusan AS.
Washington dan Moskwa akan kembali bertemu untuk membahas perjanjian baru pengendalian senjata strategis atau dikenal dengan New START. Pertemuan itu akan digelar pada Senin (22/6/2020) di Vienna, Austria.
Dalam pertemuan itu, Utusan Khusus AS untuk Pengendalian Senjata, Marshall Billingslea, akan bertemu Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov. ”AS mengundang China untuk bergabung dalam diskusi ini dan menegaskan kebutuhan tiga negara dalam perundingan pengendalian senjata,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS, Jumat (19/6/2020) sore, waktu Washington atau Sabtu dini hari WIB.
Keinginan Washington melibatkan Beijing mengherankan Moskwa dan pengamat di AS. ”Kesimpulan tunggal saya adalah Marshall Billingslea dan pemerintahan Trump tidak berniat memperpanjang START dan mencoba menunjukkan ketidaktertarikan China dalam perundingan pengendalian senjata sebagai alasan untuk membiarkan (masa berlaku) START habis,” kata Daryl Kimball yang menjadi Direktur Eksekutif Arms Control Association, lembaga riset di Washington.
Seorang analis pertahanan China, Song Zhongpin, mengatakan, pembicaraan tentang perlucutan senjata nuklir yang diusulkan AS hanyalah sebuah jebakan. ”China tidak akan pernah berpartisipasi dalam negosiasi perlucutan senjata nuklir antara AS dan Rusia,” kata Song.
START pertama kali disepakati pada 1991 di era Presiden AS George Bush dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev memperpanjang masa berlaku perjanjian itu hingga Februari 2021. Berdasarkan perjanjian itu, AS-Rusia bisa menyiagakan paling banyak 1.550 bom nuklir. Jumlah rudal untuk pembawa bom nuklir juga harus dipangkas.
Dalam sejumlah penelitian, Rusia ditaksir punya 6.375 hulu ledak nuklir, AS memiliki 5.800 hulu ledak nuklir, China punya 320 hulu ledak nuklir, Perancis menyimpan 290 hulu ledak nuklir, dan Inggris diperkirakan memiliki 215 hulu ledak nuklir. India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara juga dilaporkan juga memiliki bom nuklir dengan jumlah yang tidak diungkap secara pasti. Perancis, Inggris, dan Israel merupakan sekutu AS.
Menjelang akhir masa berlaku START, Moskwa-Washington kembali berunding untuk membahas perjanjian baru. Mei lalu, Billingslea mengatakan bahwa kekhawatiran AS bukan hanya China. Washington juga khawatir dengan Moskwa yang dituding memutakhirkan ribuan senjata nuklir yang tidak diatur dalam perjanjian pengurangan senjata nuklir (START). Ia mendesak, START baru harus memastikan semua senjata Rusia terawasi.
Dalam jumpa pers yang digelar pada Rabu (17/6/2020) lalu—sebagaimana diunggah dalam laman resmi Kemlu China—juru bicara Kemlu China, Zhao Lijian, mengatakan, China tidak memiliki niat untuk ambil bagian dalam negosiasi kontrol senjata dengan AS dan Rusia.
”Kami mencatat, AS terus menyeret China ke dalam isu New START antara AS dan Rusia. Itu hanya trik lama yang sama yang dimainkannya setiap kali berusaha mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain,” kata Lijian saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan kantor berita AFP terkait pembicaraan itu.
Sebagai catatan, terkait isu nuklir, selama pemerintahan Trump, AS telah secara sepihak mundur dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada 2018. AS juga mundur dari Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF) pada 2019.
Setelah keluar dari INF, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengumumkan Washington akan menempatkan rudal darat di Asia. Setelah itu, Kementerian Pertahanan AS menguji coba rudal Tomahawk dan rudal jenis lain yang diluncurkan dari darat. Tomahawk adalah rudal jelajah yang mampu melesat sejauh lebih dari 500 kilometer.