Selangkah Lagi, China Sahkan UU Keamanan Nasional di Hong Kong
China sudah bulat tekad akan mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong. Pengamat memperkirakan UU itu akan disahkan sekitar bulan Juli, sebelum pemilu legislatif Hong Kong digelar. September mendatang.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China, pembuat kebijakan di parlemen China, membahas draf Undang-Undang Keamanan Nasional yang akan diberlakukan di Hong Kong. Dalam draf itu akan dirinci definisi empat kejahatan, yakni aktivitas separatis, subversi negara, aktivitas teroris, dan kolusi dengan kekuatan asing, serta hukuman-hukumannya. UU ini dikhawatirkan akan mengubah drastis cara hidup warga Hong Kong.
Kantor berita Xinhua, Kamis (18/6/2020), menyebutkan, UU itu bisa disetujui pada Sabtu (20/6/2020) untuk disahkan dan segera diberlakukan. Pemberlakuan UU tersebut di Hong Kong disepakati pada sidang Kongres Rakyat Nasional (NPC) China, bulan lalu. Banyak kalangan khawatir UU itu akan memungkinkan agen-agen keamanan China untuk pertama kali bermarkas di Hong Kong.
Kata-kata dalam draf itu semakin tegas dibandingkan dengan usulan sebelumnya, seperti penggunaan kata ”kolusi dengan kekuatan asing dan eksternal” ketimbang ”ikut campur tangan asing dan eksternal dalam urusan Hong Kong”.
Para pengamat memperkirakan UU itu akan disahkan sekitar bulan Juli, sebelum pemilu legislatif Hong Kong digelar, September mendatang. Harian The South China Morning Post meyakini UU itu tidak akan disahkan saat parlemen bersidang. UU itu dikhawatirkan akan menghancurkan segala macam kebebasan di Hong Kong yang tidak dimiliki warga China daratan, tetapi menjadi kunci keberhasilan Hong Kong menjadi pusat finansial dunia.
Namun, kekhawatiran ini ditepis otoritas di Beijing dan Hong Kong. Mereka berusaha meyakinkan, UU itu tidak akan mengekang kebebasan yang selama ini ada. UU itu hanya akan menyasar mereka yang berbuat onar dan mengancam keamanan nasional. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo juga khawatir UU itu bagaikan lonceng kematian kebebasan Hong Kong.
Para menteri luar negeri negara-negara anggota G-7 (AS, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Inggris), Rabu, mengeluarkan pernyataan bersama yang meminta China untuk tidak mengesahkan UU itu. Mereka khawatir kebebasan Hong Kong akan hilang.
”UU itu akan membuyarkan sistem yang selama ini justru membuat Hong Kong berkembang pesat. Perdebatan secara terbuka, konsultasi dengan para pemangku kepentingan, serta saling menghormati hak dan kebebasan di Hong Kong itu penting,” sebut pernyataan G-7.
Sudah bulat
Membalas pernyataan itu, diplomat China, Yang Jiechi, menegaskan bahwa China sudah membulatkan tekad akan mengesahkan UU itu. ”China tegas menentang kata-kata dan tindakan AS yang mencampuri urusan Hong Kong. Begitu pula dengan pernyataan para menlu G-7,” kata Yang.
Selama ini Hong Kong telah memiliki sistem hukum yang kuat dan dihormati komunitas internasional. Sistem hukum itu sudah mencakup berbagai masalah keamanan, seperti pencucian uang hingga terorisme dan kejahatan dunia maya. Aturan hukum yang belum ada dan kemudian diusulkan China adalah aturan yang terkait dengan kejahatan bernuansa politis, seperti yang ada dalam sistem hukum China di bawah kontrol Partai Komunis China.
Dengan formula ”satu negara, dua sistem”, hasil kesepakatan China-Inggris saat Inggris menyerahkan Hong Kong kepada China, Beijing telah sepakat mempertahankan kebebasan dan otonomi Hong Kong sampai tahun 2047. Termasuk dalam otonomi itu adalah kebebasan berbicara dan berpendapat serta kemerdekaan dalam urusan yudisial dan legislatif.
Beijing bersikukuh, UU Keamanan Nasional itu perlu ada untuk mengakhiri gejolak politik dan memulihkan stabilitas keamanan Hong Kong. Wakil PM China Liu He menjamin pemerintah akan menghormati sistem ”satu negara, dua sistem” dan melindungi hak serta kepentingan perusahaan dan investor di Hong Kong.
Dari Taiwan dilaporkan, Ketua Dewan Urusan Daratan Chen Ming-tong mengungkapkan, Taiwan akan membangun kantor khusus bulan depan untuk mengurus warga Hong Kong yang ingin pindah ke Taiwan. Disebutkan, Pemerintah Taiwan akan menanggung biaya dibutuhkan terkait perpindahan warga Hong Kong tersebut.
Pertemuan tatap muka
Secara terpisah, Pompeo bertemu dengan Yang Jiechi, Rabu, di Hawaii, untuk membicarakan hubungan kedua negara yang memburuk. Ini pertemuan tatap muka pertama mereka sejak tahun lalu. Kementerian Luar Negeri China menyebutkan, Yang menyampaikan pesan kepada Pompeo bahwa AS harus menghormati posisi China dan tidak lagi mencampuri urusan dalam negeri China, seperti isu Hong Kong, Taiwan, dan Xinjiang. Yang bersedia memperbaiki hubungan bilateral antarkedua negara.
Juru bicara Kemenlu AS, Morgan Ortagus, dalam pernyataan tertulis menyebutkan bahwa dalam pertemuan itu Pompeo juga menekankan perlunya kerja sama kedua belah pihak yang seimbang di bidang perdagangan, keamanan, dan diplomasi.
Wu Xinbo, Dekan Institut Studi Internasional di Fudan University, Shanghai, mengatakan bahwa pertemuan bilateral itu akan dapat mengurangi ”diplomasi mikrofon” di antara kedua pihak. Meski demikian, Wu tidak yakin pertemuan itu akan bisa menstabilkan hubungan mereka. ”Presiden AS Donald Trump akan tetap mengkritik China,” ujarnya.
Hubungan AS dan China kini berada di titik terendah. Pada pertengahan Mei lalu, Trump bahkan mengancam untuk memutuskan hubungan dengan Beijing. (REUTERS/AFP/AP)