Buku tulisan mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton memantik perdebatan. Buku itu disebut-sebut membongkar ”sisi gelap” kepresidenan Donald Trump.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Presiden Amerika Serikat Donald Trump rupanya pernah meminta bantuan Presiden China Xi Jinping agar ia terpilih kembali sebagai presiden. Bahkan, Trump pernah bersedia menghentikan penyelidikan kejahatan apa pun terhadap ”diktator-diktator yang disukai” sebagai bentuk ”bantuan pribadi”.
Informasi-informasi ”di balik layar” ini dituangkan mantan Penasihat Keamanan Nasional Trump, John Bolton, dalam bukunya yang berjudul The Room Where It Happened: A White House Memoir yang akan segera diterbitkan, Selasa pekan depan, oleh Simon & Schuster. Petikan-petikan isi bukunya dimuat harian The New York Times, Rabu (17/6/2020). Bolton yang dipecat Trump, September lalu, karena beda pandangan itu menilai apa yang dilakukan Trump merupakan kesalahan fatal.
Trump menyerang balik Bolton dengan menyebutnya ”pembohong” saat diwawancarai harian The Wall Street Journal. Harian itu juga memuat petikan isi buku Bolton pada hari yang sama. Begitu pula dengan harian The Washington Post. Namun, saat diwawancara Fox News, Trump menuding Bolton telah melanggar hukum karena memasukkan informasi-informasi yang bersifat sangat rahasia di dalam buku itu.
Gedung Putih berusaha menjegal penerbitan buku Bolton sampai meminta pengadilan federal untuk mengeluarkan perintah penahanan darurat sementara. Isi buku Bolton tajam mengkritik Trump yang selama ini memutuskan perkara keamanan nasional untuk kepentingan politiknya. Buku dengan 577 halaman itu mengentak karena berbeda dengan buku-buku tentang Trump lainnya yang isinya lebih banyak memuji Trump dan pemerintahannya.
Tuduhan Bolton bahwa Trump meminta bantuan China itu serupa dengan permintaan Trump kepada Ukraina pada 2019 yang kemudian berbuntut pemakzulan terhadap dirinya. ”Semua keputusan Trump didorong oleh motif pemenangan pemilihan presiden,” tulis Bolton yang bekerja untuk Trump selama 17 bulan itu.
Dalam buku itu, Bolton juga menulis staf Trump membiarkan Trump selalu berpikiran konspiratif dan tidak memberi tahu Trump cara mengelola Gedung Putih. Ketika masih di Gedung Putih, Bolton menceritakan Trump biasanya hanya rapat intelijen dua kali dalam seminggu. ”Itu pun sering kali Trump yang lebih banyak bicara dan masalah yang dibicarakan kerap tidak terkait dengan isu yang semestinya dibahas,” tulis Bolton.
Memalukan
Dalam buku itu, Bolton juga menceritakan kisah-kisah lucu terkait ketidaktahuan Trump. Misalnya, Trump yang mengira Finlandia merupakan bagian dari Rusia. Trump juga tidak tahu Inggris memiliki nuklir. Ada pula cerita soal Trump yang selalu menyebut wartawan dengan panggilan ”bajingan” yang harus dieksekusi.
Ketika berbicara dengan Xi di Osaka, Jepang, Bolton menulis, Trump menyampaikan kepada Xi kalau Partai Demokrat-lah yang tidak suka kepada China. Di depan Xi, Trump lalu membicarakan pemilihan presiden AS, menyinggung kemampuan ekonomi China untuk memengaruhi kampanye-kampanyenya, dan memohon Xi untuk memastikan dirinya terpilih lagi. ”Ia menekankan pentingnya petani dan peningkatan pembelian kedelai dan gandum oleh China,” tulis Bolton.
Kementerian Kehakiman berusaha menunda penerbitan buku itu karena di dalamnya terdapat informasi-informasi sangat rahasia sehingga dibutuhkan tinjauan dari Dewan Keamanan Nasional. Bolton menulis ia diminta untuk menambahkan frasa seperti ”dalam pandangan saya” guna memperjelas bahwa ia mengekspresikan opininya saja dan bukan mengungkapkan informasi dan fakta rahasia. Bolton juga diminta menghilangkan kalimat-kalimat kutipan perbincangan antara Trump dan para pemimpin negara.
Tidak benar
Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer menegaskan, ia ikut menghadiri pertemuan Trump dan Xi di Osaka itu. Namun, ia mengaku tidak mendengar Trump meminta Xi membeli lebih banyak produk pertanian untuk menjamin kemenangan dirinya. ”Apa yang ditulis Bolton itu jelas tidak benar. Tidak pernah terjadi. Saya ada di sana waktu itu dan saya tidak ingat ada pembicaraan itu. Saya tidak percaya. Saya pasti akan ingat sesuatu segila itu,” ujarnya.
Namun, Bolton dalam buku itu banyak menceritakan pertemuan Trump dan Xi. Trump disebutkan terus saja mendekati Xi. Pada saat makan malam peringatan Natal di Gedung Putih pada 2018, Trump bertanya mengapa AS menjatuhkan sanksi terhadap China terkait perlakuan China terhadap komunitas Muslim Uighur. Sebagai catatan, China menuduh Uighur membantu kelompok separatis. Beberapa tahun terakhir, China semakin menekan Uighur dengan menahan lebih dari 1 juta orang di penjara dan kamp pengasingan.
”Saat makan malam pembukaan pertemuan G-20 di Osaka, Xi menjelaskan kepada Trump kenapa ia membangun kamp konsentrasi di Xinjiang. Menurut penerjemah kami, Trump mengatakan Xi harus tetap lanjut membangun kamp-kamp itu karena itu langkah yang tepat,” tulis Bolton.
Buku Bolton itu juga menuduh Trump terlibat secara langsung memberikan bantuan militer kepada Ukraina agar mau menggelar penyelidikan terhadap lawan politiknya dari Demokrat, Joe Biden, dan anak Biden, Hunter. ”Ada satu pembicaraan, Trump bilang tidak akan mengirim apa pun sampai semua bahan penyelidikan Rusia yang terkait dengan Clinton dan Biden diserahkan kepada saya,” tulis Bolton.
Tidak ikut campur
Banyak disebut-sebut Bolton dalam bukunya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian menegaskan, China tidak berminat sama sekali mencampuri pemilihan presiden AS atau apa pun masalah internal AS.
Bolton menekankan dalam bukunya banyak perbincangan Trump yang menunjukkan perilaku dan sikap yang mengikis legitimasi kepresidenan AS. Bolton juga menuliskan para penasihat Trump, sebenarnya, juga tak suka dengan Trump. Saat pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada 2018, Bolton mengaku mendapat catatan dari Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo yang mengejek Trump. ”Dia itu penuh omong kosong,” kata Pompeo, seperti dituliskan Bolton. (REUTERS/AFP/AP)