Sanksi AS Lumpuhkan Suriah dan Perpanjang Derita Rakyat
Pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru pada pemerintahn rezim Bashar al-Assad di Suriah. Sanksi ini ingin menekan rezim Assad dari segala sisi, tapi juga membuat rakyat Suriah lebih menderita.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Pemerintah Amerika Serikat mulai Rabu (17/6/2020) memberlakukan sanksi terhadap sejumlah warga Suriah, termasuk Asma al-Assad, istri Presiden Suriah Bashar al-Assad. Sanksi di bawah aturan Caesar Act itu membuat Pemerintah AS membekukan semua aset perusahaan dan para pihak yang terlibat atau memiliki hubungan dengan Bashir al-Assad.
Ini menjadi kabar buruk bagi Assad dan keluarga setelah sebelumnya Pengadilan Perancis menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada pamannya, Rifaat al-Assad, atas tuduhan korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Kekayaannya senilai lebih dari 100 juta dollar Amerika Serikat juga disita dan diupayakan dikembalikan kepada warga Suriah.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, pemberian sanksi itu dimaksudkan untuk memaksa rezim Assad menerima Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2254 tahun 2015, yang menyerukan gencatan senjata, mempercepat pelaksanaan pemilihan umum yang mempercepat transisi politik. Dalam pandangan AS, rezim Assad tidak patuh terhadap resolusi DK PBB yang sudah berusia lima tahun.
”Kami tidak akan berhenti sampai Assad dan rezimnya menghentikan perang yang brutal ini, perang yang sebenarnya tidak diperlukan terhadap rakyatnya sendiri,” kata Pompeo.
Sanksi tersebut diterapkan AS untuk menyasar Assad, istri Asma dan kroni-kroninya. Ini adalah untuk pertama kalinya Asma masuk dalam daftar orang-orang yang menjadi target Pemerintah AS.
Dilahirkan di Inggris dari pasangan seorang dokter ahli jantung dan ibu seorang diplomat, Asma pernah bekerja sebagai seorang bankir investasi. Meski Asma menganggap dirinya sebagai seorang reformis progresif, Pemerintah AS menganggap Asma sebagai pencatut perang, mengambil keuntungan dari rakyat Suriah yang menderita.
Tidak hanya menyasar keluarga dekat Assad, para pengusaha yang loyal pada rezim itu juga menjadi sasaran sanksi. Departemen Keuangan dan Kementerian Luar Negeri menyasar para pebisnis loyalis Assad, di antaranya Mohammed Hamsho, pengembang terkemuka Suriah dan kelompok Fatemiyoun, kelompok penyokong rezim Assad dari Afghanistan yang memiliki hubungan erat dengan pasukan Garda Nasional Iran.
Menurut Edward Dehnert, analis pada lembaga The Economist Intelligence, sanksi baru ini diinginkan oleh Washington agar kerja orang-orang asing yang bekerja sama dengan rezim Damaskus terhambat. Termasuk di dalamnya adalah individu, kelompok, hingga perusahaan asal Iran dan Rusia, yang mendukung keberadaan rezim tersebut dalam sektor konstruksi, militer hingga minyak dan gas.
”Caesar Act ini adalah bagian dari upaya AS untuk memaksa penyelesaian politik dan juga menjatuhkan rezim Assad. Namun, hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat,” kata Dehnert.
Dampak ke warga dan pengungsi asal Suriah
Sanksi itu segera berdampak pada Suriah dan rakyatnya. Bank Sentral Suriah, Rabu, mendevaluasi nilai mata uang mereka sekitar 700 pound menjadi 1250 pound terhadap dollar Amerika Serikat.
Dehnert menyatakan, langkah AS itu akan mempersulit impor bahan-bahan kebutuhan pokok dan bahan bakar. Warga miskin Suriah akan semakin bertambah. ”Rakyat Suriah akan semakin menderita,” kata Dehnert.
Harga barang melambung tinggi. ”Semua harga naik tidak masuk akal,” kata Baker Al Ali, warga Idlib.
Karam Shaar, analis Suriah pada Institut Timur Tengah yang berbasis di Washington, mengatakan, ekonomi Suriah yang sangat bergantung pada bantuan akan semakin terpuruk dengan sanksi ini. ”Pada dasarnya mereka bisa bertahan hanya karena Barat terus menyuntikkan uang ke negara itu,” kata Shaar, dikutip dari laman CNN.
Sanksi tersebut diperkirakan akan membuat jumlah warga miskin Suriah bertambah. Berdasarkan catatan lembaga PBB yang menangani masalah bantuan kemanusiaan, UN OCHA, pada 2019 lebih dari 83 persen rakyat Suriah dari total jumlah penduduk 17 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 5,5 juga di antaranya berstatus pengungsi dan mayoritas berada di Turki.
Lembaga yang sama mengatakan, penurunan nilai tukar mata uang pound Suriah pada Mei lalu telah berdampak pada kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang tidak terkendali. Akibatnya, OCHA memperkirakan, 4 juta warga negara itu tidak bisa membeli bahan kebutuhan pokok dan memilih meninggalkan Suriah untuk mencari kehidupan yang lebih baik ke negara-negara lain.
Pada hari yang sama, Jerman dan Belgia mengirimkan rancangan resolusi DK PBB untuk memperpanjang otorisasi pelintasan perbatasan Suriah satu tahun untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Langkah itu diperlukan untuk membantu belasan juta rakyat Suriah yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. (AFP/AP/REUTERS)