Rusia Ingin Solusi Damai atas Konflik Perbatasan India-China
India, China, dan Rusia tengah bersiap untuk menggelar komunikasi virtual pada 25 Juni 2020 terkait penanganan Covid-19. Namun, pertemuan itu batal karena insiden mematikan di perbatasan India-China.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
MOSKWA, KAMIS — Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Rabu (17/6/2020), di Moskwa, mengatakan, Rusia menyambut baik komunikasi yang dilakukan New Delhi dan Beijing setelah konfrontasi mematikan di perbatasan India-China.
Presiden Vladimir Putin dilaporkan telah berkomunikasi dengan Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi terkait krisis tersebut. Moskwa ingin menyaksikan Beijing-New Delhi tetap menjalin hubungan baik dan bersahabat.
Lavrov mengatakan dalam sebuah konferensi pers, perwakilan militer India dan China telah melakukan kontak. Mereka sedang mendiskusikan situasi sekaligus membahas langkah-langkah untuk menurunkan tensi hubungan kedua negara. ”Kami menyambut baik itu,” kata Lavrov.
India, China, dan Rusia sejatinya tengah bersiap untuk menggelar komunikasi secara virtual pada 25 Juni 2020 terkait penanganan Covid-19. Rencana itu dibatalkan setelah insiden mematikan yang melibatkan pasukan penjaga perbatasan India dan China di Lembah Galwan.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan kepada wartawan, ”Baik China maupun India adalah mitra yang sangat dekat bagi kita, sekutu.” Kremlin menyatakan memperhatikan dengan saksama apa yang terjadi dan perkembangan setelahnya.
”Kami memperhatikan dengan saksama apa yang terjadi di perbatasan China-India,” katanya, menyebut laporan tentang bentrokan itu ”sangat memprihatinkan”.
Secara diplomatis, Peskov mengatakan bahwa Rusia tetap percaya China dan India mampu dengan sendirinya mengambil langkah-langkah sehingga situasi seperti itu tidak terjadi lagi dan agar wilayah ini aman bagi rakyat China dan India.
India dan China dilaporkan berupaya mengurangi ketegangan setelah bentrokan di sepanjang perbatasan yang disengketakan di Himalaya yang menewaskan 20 tentara India.
Konflik di Ladakh, Kashmir, Senin (15/6/2020), mengikuti perubahan oleh India terhadap status politik Kashmir di tengah tarik ulur geopolitik dengan Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Pejabat China mengatakan pada Rabu bahwa kedua pihak telah sepakat untuk menyelesaikan ketegangan perbatasan di Himalaya itu secara damai melalui dialog.
”India seharusnya tidak mengambil tindakan sepihak yang mungkin memperumit situasi,” kata Kementerian Luar Negeri di Beijing.
Sementara PM Modi mengatakan bahwa India menginginkan perdamaian. Dia dijadwalkan mengadakan pertemuan partai-partai politik besar India pada Jumat (19/6/2020) untuk membahas situasi India-China.
Apa yang terjadi di Ladakh, awal pekan ini, adalah kekerasan terburuk antara India dan China sejak 1962 ketika perang penyelesaian klaim di daerah Himalaya yang terpencil itu berakhir dengan gencatan senjata yang tidak mudah.
Ribuan tentara yang didukung oleh truk lapis baja dan artileri kedua negara dilaporkan telah berhadapan di dekat perbatasan.
Ketika negara-negara di kawasan itu bergulat dengan pandemi Covid-19, China telah menegaskan klaim teritorial dan pengaruhnya di Asia. Hal itu, antara lain, terlihat dalam polemik terkait Hong Kong dan Taiwan, serta di kawasan di Laut China Selatan.
”Di Asia Selatan, kedua pihak telah terlibat dalam ’dinamika yang sangat kompleks’ di sepanjang garis kendali sejak awal Mei,” kata Jeff M Smith, peneliti di Heritage\'s Asian Studies Centre.
PM Modi dan Presiden Xi telah bertemu lebih dari selusin untuk melakukan pembicaraan terkait hubungan kedua negara.
Pertemuan terbaru digelar pada Oktober di India guna memperlancar hubungan dan membangun perdagangan. Namun, keputusan India secara sepihak pada Agustus untuk memecah Kashmir membuat Beijing terkejut dan panas hati.
”Saya pikir yang menarik adalah seberapa cepat hubungan China-India memburuk,” kata Joe Fewsmith, pakar politik China di Boston University.
”Beberapa tahun yang lalu, Xi Jinping menyatakan harapan bahwa China dan India dapat membangun hubungan kerja sama. Hal itu (tampaknya) tidak mungkin sekarang.” (AP/AFP)