Raja Salman kini tengah menghadapi situasi paling berbahaya terkait isu haji menyusul semakin meningkatnya kurva positif Covid-19 di Arab Saudi.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
Arab Saudi tampak terus melakukan kalkulasi dan negosiasi tentang risiko politik dan ekonomi di kawasan walau tak ada waktu lagi mengorganisasi persiapan logistik ibadah haji.
KAIRO, KOMPAS —Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud hingga Selasa (16/6/2020) belum mengambil keputusan final tentang ibadah haji tahun 2020. Ia kini tengah menghadapi situasi paling berbahaya terkait isu haji, menyusul semakin meningkatnya kurva positif Covid-19 di Arab Saudi.
Menurut Worldometer, hingga Selasa, jumlah kasus positif Covid-19 di Arab Saudi sebanyak 132.048 orang dengan 1.011 kasus kematian dan 87.890 kasus sembuh.
Senin lalu, Arab Saudi mengumumkan penambahan pasien positif Covid-19 sebanyak 3.170 kasus. Akhir-akhir ini, penambahan kasus baru positif Covid-19 di Arab Saudi per hari cukup tajam, sekitar 3.000 kasus per hari.
Arab Saudi pun masih menjadi episentrum Covid-19 terbesar ketiga di Timur Tengah setelah Iran dan Turki. Kota suci Mekkah pun hingga kini masih ditutup total sejak awal April 2020. Masjidil Haram juga ditutup untuk aktivitas ibadah secara massal.
Ibadah haji yang wajib satu kali dalam hidup, bagi setiap Muslim yang sehat badan dan mampu biaya, bisa menjadi potensi episentrum penularan virus karena melibatkan massa umat Islam sangat masif.
Diharapkan segera
Raja Salman kini diharapkan segera mengambil keputusan untuk membatalkan pelaksanaan ibadah haji tahun ini atau menggelar ibadah haji dengan kuota sangat terbatas. Harapan itu menyusul semakin dekatnya jadwal pelaksanaan ibadah haji yang jatuh pada Juli 2020.
Keberangkatan jemaah haji dari mancanegara seharusnya paling lambat sudah dimulai pada akhir Juni ini atau sebulan sebelum pelaksanaan ibadah haji. Pejabat Arab Saudi mengungkapkan kepada kantor berita AFP bahwa keputusan akan segera diambil dan diumumkan.
”Ini seperti masih teka-teki antara ada ibadah haji dengan nominal terbatas dan pembatalan pelaksanaan ibadah haji secara keseluruhan,” ujar seorang pejabat di Asia Selatan setelah melakukan komunikasi dengan pejabat urusan haji Arab Saudi.
Arab Saudi tampak seperti terus melakukan kalkulasi dan negosiasi tentang risiko politik dan ekonomi di kawasan. Itu dilakukan di saat sebenarnya sudah habis waktunya mengorganisasi persiapan logistik untuk kegiatan yang merupakan salah satu acara paling masif di dunia.
Pada musim haji tahun lalu, sekitar 2,5 juta jemaah haji mancanegara melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Arab Saudi sebenarnya tidak menginginkan pembatalan penuh ibadah haji tahun ini karena bisa menjadi yang pertama sejak berdirinya negara Arab Saudi modern pada 1932 atau 88 tahun silam.
Ibadah haji juga menjadi kekuatan pengaruh Arab Saudi di dunia Islam dan mendatangkan devisa yang luar biasa. Kantor berita AP mengatakan, ibadah haji tidak hanya menjadi daya ungkit pengaruh Arab Saudi di dunia Islam, tetapi juga menyetor devisa sekitar 6 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 84,6 triliun per tahun.
Ibadah haji menjadi semakin sangat strategis bagi Arab Saudi saat perekonomian negara itu amat terpukul akibat Covid-19 dan jatuhnya harga minyak saat ini.
Menurut hasil riset Jadwa Investment, pemasukan Arab Saudi dari minyak pada 2020 ini diperkirakan hanya 133 miliar dollar AS, turun 34 persen dari tahun lalu dan turun 58 persen dari tahun 2013.
Kas negara Arab Saudi terpangkas akibat dampak dari Covid-19. Arab Saudi juga mengumumkan memberikan paket stimulus ekonomi 32 miliar dollar AS, di antaranya 2,4 miliar dollar AS untuk membayar 60 persen gaji warga Arab Saudi di sektor swasta.
Namun, banyak negara telah putus harapan dengan mengumumkan pembatalan ibadah haji ke Mekkah tahun ini dengan alasan tidak cukup waktu persiapan pemberangkatan bagi jemaah haji. Indonesia, Malaysia, Senegal, dan Singapura termasuk kelompok ini.
Beberapa negara lagi, termasuk Perancis, mengimbau umat Islamnya menunda keberangkatan ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini. Adapun Mesir, Lebanon, Maroko, Turki, dan Bulgaria memilih menunggu keputusan Riyadh.
Bisa picu kemarahan
Apa pun keputusan Arab Saudi terkait ibadah haji, baik digelar secara terbatas maupun ditiadakan sama sekali, berpotensi mengundang kemarahan umat Islam garis keras yang berpandangan bahwa masalah agama harus di atas urusan kesehatan. Dengan kata lain, isu Covid-19 tidak dapat membatalkan ibadah haji.
Namun, polemik isu haji yang marak terakhir ini bisa dijadikan momentum oleh Arab Saudi, yang menyandang status sebagai ”Pelayan Dua Tanah Suci”, untuk terus meningkatkan kemampuan manajemen dan pengawasan pelaksanaan ibadah haji.
Telah banyak korban musibah dalam setiap musim haji, termasuk peristiwa tewasnya 2.300 anggota jemaah haji pada musim haji 2015. Peristiwa berdarah itu memicu banyak kritik atas kemampuan manajemen Arab Saudi dalam pelaksanaan ibadah haji.
”Arab Saudi kini berada di antara iblis dan laut biru yang dalam,” ujar Umar Karim, peneliti tamu di The Royal United Service Institute, London.
”Penundaan pengumuman keputusan terkait haji itu bisa dipahami betapa berat dampak politiknya bagi Arab Saudi, baik digelar secara terbatas maupun peniadaan ibadah haji sama sekali tahun ini,” tuturnya seperti dilaporkan kantor berita AFP.
Karim menyebut, Arab Saudi sekarang seperti membeli waktu karena memang harus hati-hati dalam mengambil keputusan soal haji. ”Bisa saja di saat-saat terakhir nanti Arab Saudi mengumumkan siap menggelar ibadah haji secara penuh. Namun, banyak negara sudah tidak bisa berpartisipasi dalam haji tahun ini,” ujarnya. (AP/AFP)