Sudan Gali Kuburan Massal Siswa Wajib Militer yang Tewas di Kamp Pelatihan
Tim penyidik menemukan kuburan massal di sebuah lokasi di Khartoum. Para korban diduga adalah para peserta program wajib militer yang dijalankan pemerintahan Omar al-Bashir untuk mengatasi kekurangan tentara.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KHARTOUM, SELASA — Otoritas kejaksaan di Sudan, Senin (15/6/2020), mengumumkan penemuan kuburan massal di sebelah timur ibu kota Khartoum yang diduga berisi jenazah para siswa wajib militer yang terbunuh pada tahun 1998. Tim penyidik menduga mereka tewas ketika hendak melarikan diri dari sebuah kamp pelatihan.
Tidak lama berselang setelah pengumuman itu, aparat kejaksaan Sudan menyatakan tidak akan menyerahkan mantan pemimpin Sudan Omar al-Bashir ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) meski yang bersangkutan didakwa telah melakukan kejahatan perang dan genosida selama memimpin negara itu tahun 1989-2019.
Jaksa Tagelsir al-Hebr menjelaskan, kuburan massal itu ditemukan setelah tim penyidik memperoleh keterangan dari seorang saksi yang menginformasikan adanya kuburan tersebut. Tim penyidik dibantu tim forensik kini tengah menggali kuburan itu untuk mengidentifikasi lebih jauh jenazah-jenazah di dalam kuburan massal tersebut.
Sumber kantor berita Reuters di kedua tim tersebut menyatakan, mereka menemukan puluhan jenazah di lokasi tersebut. Para korban, menurut sumber tersebut, adalah warga sipil yang tengah mengikuti program wajib militer di Kamp El Eifalun, yang terletak sekitar 25 kilometer tenggara Khartoum. Mereka diduga melarikan diri dari kamp pelatihan tersebut karena khawatir akan di kirim ke wilayah Sudan Selatan, tempat rezim Omar al-Bashir memerangi kelompok perlawanan di sana.
Sementara para peserta wajib militer yang kurang terlatih dan tidak memiliki persenjataan yang memadai dikirim ke hutan untuk bertempur melawan Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).
Mengutip pengakuan saksi-saksi, sumber tersebut menceritakan bahwa para peserta wajib militer marah karena keinginan mereka menghabiskan waktu dengan keluarga pada hari raya Islam ditolak para instruktur di kamp pelatihan itu. Namun, sumber tersebut tidak mengungkapkan lebih detail kejadian lebih lanjut.
Aliansi Demokratik Nasional, oposisi Sudan pada saat itu, menyatakan bahwa tentara menembak dan memukuli lebih dari 70 orang peserta wajib militer. Selain itu, 55 peserta wajib militer lainnya di kamp pelatihan yang sama tenggelam ketika perahu mereka terbalik di Sungai Nil Biru. Saat itu mereka mencoba melarikan diri. Secara total, menurut data Aliansi Demokratik Nasional, setidaknya 261 anggota baru berusaha melarikan diri dari kamp.
Sementara menurut pemerintahan Bashir, angka yang tewas tidak sebesar yang disebutkan pihak oposisi. Mereka menyebut 31 orang tewas tanpa menyebutkan keberadaan peserta lainnya dan juga keberadaan jasad mereka.
Aliansi Demokratik Nasional menyatakan, 12 jenazah peserta wajib militer diserahkan kepada pihak keluarga, sedangkan sisanya dikuburkan di sebuah kuburan massal pada 6 April 1998. Hasil otopsi pada saat itu menunjukkan bahwa para siswa telah ”dipukul dengan tongkat” dan ditembak.
Jaksa Hebr mengatakan, beberapa tersangka yang diduga terkait dengan kuburan massal ini, yang juga merupakan bagian dari pemerintahan Bashir saat peristiwa berlangsung, diduga telah melarikan diri keluar dari Sudan. Namun, pihaknya memastikan akan mendakwa sekitar 40 orang yang diduga terkait dengan kudeta tahun 1989, yang menempatkan Bashir menjadi pemimpin negara itu. Hebr tidak memerinci isi dakwaan atau tuntutan terhadap 40 orang tersebut.
Tidak diekstradisi
Hebr juga menyatakan, pemerintah tidak akan menyerahkan Bashir yang saat ini tengah menjalani masa hukuman dua tahun di salah satu fasilitas milik pemerintah Sudan ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Ia beralasan orang-orang yang dicari Mahkamah Kriminal Internasional tidak harus hadir secara fisik di dalam persidangan.
Hebr menyebut masalah kedaulatan hukum Sudan menghalangi pemerintah untuk mengekstradisi Bashir. Dia juga mengatakan bahwa Pemerintah Sudan akan berkoordinasi dengan ICC tentang keputusan pemerintah ini tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang koordinasi yang dimaksud.
Sementara seorang tersangka penjahat perang Sudan, Ali Kushyab, yang memiliki nama asli Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, hadir dalam sidang di Mahkamah Kriminal Internasional, Senin (15/6/2020). Abd-Al-Rahman yang dituduh melakukan penganiayaan, pembunuhan, dan pemerkosaan saat konflik Darfour terjadi tahun 2003-2004 membantah segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
”Saya diberi tahu tentang (dakwaan) itu, tetapi ini tidak benar. Mereka membuatku datang ke sini, mengikuti ini, dan aku berharap aku akan mendapatkan keadilan,” kata Abd-al-Rahman.
Menurut jaksa penuntut, Abd-Al-Rahman merupakan seorang komandan tertinggi milisi Janjaweed pro-pemerintah yang memimpin serangan terhadap kota-kota dan desa-desa di wilayah Darfour. Abd-Al-Rahman dan anggota milisi itu didakwa terlibat dalam 300 pembunuhan lebih dan memaksa 40.000 warga sipil meninggalkan tempat tinggal mereka. (AFP/AP/REUTERS)