Wartawan Senior Filipina Dijatuhi Hukuman 6 Tahun Penjara
Hukuman atas Direktur Eksekutif Rappler dan mantan jurnalis CNN itu dinilai sebagai pukulan telak atas kebebasan pers di Filipina di bawah rezim pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
MANILA, SENIN — Pengadilan di Manila, Filipina, Senin (15/6/2020), memvonis jurnalis senior Maria Ressa dengan hukuman penjara enam tahun karena terbukti bersalah dalam kasus pencemaran nama baik.
Hukuman atas Direktur Eksekutif Rappler (www.rappler.com) dan mantan jurnalis CNN itu dinilai sebagai pukulan telak atas kebebasan pers di Filipina di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte. Ressa, warga negara ganda, yakni Filipina dan AS, wajib menghadapi hukuman enam tahun penjara.
Ressa didakwa dengan pencemaran nama baik di dunia maya atas artikel 2012 yang menghubungkan seorang pengusaha dengan kegiatan ilegal.
Setelah menjatuhkan putusannya, hakim Rainelda Estacio-Montesa mengatakan, ”Pelaksanaan kebebasan harus digunakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain.”
”Putusan untuk saya sangat menghancurkan karena pada dasarnya (putusan) itu mengatakan kami di Rappler salah,” kata Ressa. Ia diizinkan pengadilan mengirim jaminan sambil menunggu banding. Reynaldo Santos, mantan peneliti dan penulis Rappler, juga dinyatakan bersalah dalam kasus itu.
Organisasi pers di Filipina menyesalkan putusan terhadap Ressa. Putusan itu dinilai telah menjadi tanda matinya kebebasan pers di negara itu.
”Ini adalah hari yang gelap, tidak hanya untuk media independen Filipina, tetapi juga untuk semua warga Filipina. Vonis pada dasarnya membunuh kebebasan berbicara dan pers,” kata Persatuan Wartawan Nasional Filipina dalam pernyataan yang diungga di media sosial.
Kasus itu bermula ketika salah satu pengusaha Filipina, Wilfredo Keng, tampil dalam salah satu unggahan di media Rappler pada tahun 2012. Tulisan tentang Keng juga muncul pada 2014, menghubungkannya dengan kegiatan ilegal. Tulisan itu mengutip informasi yang terkandung dalam laporan intelijen.
Dalam pengaduannya, Keng mengatakan, kisah Rappler itu termasuk ”tuduhan kejahatan, kejahatan, dan cacat yang dilakukan dengan buruk”. Kasus pencemaran nama baik siber adalah di antara banyak tuntutan hukum yang diajukan terhadap Ressa dan Rappler. Kasus itu termasuk yang telah menarik perhatian global tentang media yang bebas dan terbuka di Filipina.
Izin operasi Rappler dibatalkan pada 2018 atas dugaan pelanggaran kepemilikan asing. Rappler juga berurusan dengan kasus yang melibatkan dugaan penggelapan pajak. Proses atas kedua kasus itu sedang berlangsung.
Pengawas media mengatakan, dakwaan terhadap Ressa ditujukan untuk mengintimidasi kritik terhadap Duterte. Rappler mempertanyakan keakuratan pernyataan publik Duterte dan meneliti perangnya melawan narkoba dan kebijakan luar negerinya. Duterte mengecam situs berita itu dalam beberapa pidato publiknya.
Saat menjalani proses pengadilannya, Ressa pernah mengeluarkan tuduhan Duterte menggunakan penuntutan terhadapnya. Hal itu termasuk dalam kasus dugaan penggelapan pajak dan pencemaran nama baik untuk membungkam kritik dan mengintimidasi pers.
Ressa menegaskan, situs media Rappler bukan anti-Duterte. Ia mengatakan dirinya hanya melakukan tugasnya untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Ressa bersama dengan enam anggota dewan dan editor Rappler lainnya saat ini dan sebelumnya juga dituduh melakukan penipuan efek. Mereka dituduh mengizinkan orang asing melalui penjualan obligasi 2015 untuk mengambil alih bisnis medianya.
Di bawah konstitusi, media adalah sektor ekonomi yang diperuntukkan bagi orang Filipina atau entitas yang dikendalikan orang Filipina. (AFP/REUTERS)