Paus Fransiskus Serukan Penghentian Konflik dan Kekerasan
Paus Fransiskus menyerukan penghentian konflik di Libya. Paus mencemaskan nasib warga, pengungsi, dan pencari suaka yang terperangkap di Libya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
VATIKAN, SENIN — Pemimpin umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, menyerukan penghentian permusuhan dan konflik di Libya. Masyarakat internasional diminta untuk mengingat penderitaan para migran dan warga yang terperangkap di negara yang, menurut Paus Fransiskus, tanpa hukum.
”Ada kekejaman. Kita semua memiliki tanggung jawab. Tidak ada yang bisa merasa bebas,” kata Paus Fransiskus, mengiringi berkat mingguannya kepada khalayak yang hadir di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Minggu (14/6/2020).
Pernyataan Paus itu mengemuka ketika pasukan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang dipimpin Fayez Al Sarraj, yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Turki, dan ”pemain baru” Amerika Serikat bersiap untuk melancarkan serangan ke kota Sirte, yang diduduki oleh milisi loyalis pimpinan Halifa Haftar. Jika serangan itu berhasil, hal itu membuat pasukan GNA dan para pendukungnya bisa merebut ladang minyak utama dan fasilitas lain yang penting bagi perekonomian Libya.
Paus Fransiskus mengatakan, ribuan migran, pengungsi, pencari suaka, dan pengungsi internal akan lebih rentan terhadap segala bentuk eksploitasi serta kekerasan. Untuk itu, Paus menyerukan diakhirinya kekerasan dan bersama-sama mencari jalan menuju perdamaian, stabilitas, serta persatuan di negara tersebut.
Libya berada dalam kekacauan sejak 2011 ketika perang saudara menggulingkan Moammar Khadafy, yang kemudian terbunuh. Setelah kejatuhan dan pembunuhan Khadafy, Libya menjadi titik transit utama bagi migran asal Afrika dan Arab yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan ke sejumlah negara di Eropa.
Para pengungsi melakukan perjalanan yang berbahaya dengan perahu tanpa disertai alat-alat keselamatan yang memadai. Organisasi Internasional untuk Migrasi memperkirakan, pengungsi yang tewas ketika mencoba menyeberangi Mediterania sejak tahun 2014 berjumlah 20.000 orang.
Pernyataan Paus Fransiskus juga muncul selang dua hari setelah penemuan sejumlah kuburan massal di Tarhuna, salah satu kota kunci yang digunakan milisi pimpinan Khalifa Haftar untuk menyerang ibu kota Tripoli. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan terkejut dan berharap pemerintahan Al Farraj dapat mengidenfikasi para korban serta mengembalikan seluruh jenazah kepada keluarganya untuk dimakamkan secara layak.
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, PBB menawarkan bantuan kepada Pemerintah Libya dalam proses identifikasi tersebut. Pada saat yang sama, Guterres mengingatkan semua pihak tentang kewajiban mereka di bawah hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional.
Menteri Dalam Negeri pemerintahan GNA Fathi Bashagha mengatakan, pihak berwenang mendokumentasikan bukti dugaan kejahatan perang di Tarhuna. Laporan awal yang didapat dari lapangan menunjukkan puluhan korban di kuburan massal tersebut dikubur hidup-hidup.
Tidak hanya itu, tim investigasi khusus menemukan sebuah peti kemas di salah satu bagian kota Tarhuna yang berisi jenazah para korban dalam kondisi mengenaskan. Menurut Bashagha, kemungkinan jenazah-jenazah itu adalah para tahanan yang ditawan pasukan AL Kaniyat, milisi pendukung Haftar yang dikenal karena kekejamannya.
Asisten Sekretaris Kementerian Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Jauh David Schenker pada Kamis pekan lalu menyatakan terganggu dengan adanya laporan penemuan kuburan massal di Tarhuna, di samping temuan ranjau darat dan alat peledak lainnya di wilayah yang direbut dari milisi loyalis Haftar.
Schenker mengatakan, meningkatnya perang proksi antara Rusia dan Turki di Libya sebagai sebuah tantangan bagi stabilitas regional. Pada saat yang sama, peningkatan perang itu sebagai sebuah tragedi bagi rakyat Libya yang mencari perdamaian dan mengakhiri intervensi asing.
Secara terpisah, jaksa Pemerintah Libya, Minggu, 14 Juni, telah mengeluarkan surat penangkapan setidaknya bagi 14 orang pendukung Haftar yang diduga terkait dengan kuburan massal di Tarhuna. Jaksa juga menyatakan, tim forensik telah bekerja dan berhasil mengidentifikasi korban serta menentukan waktu kematian mereka.
Kuburan massal telah menimbulkan kekhawatiran tentang tingkat pelanggaran HAM di wilayah yang dikontrol oleh pasukan Haftar. Organisasi hak asasi manusia Amnesty International Timur Tengah dan Afrika Utara berharap bisa membantu otoritas Libya untuk mengidentifikasi para korban. ”Kami berharap bisa membantu agar para korban dan keluarganya bisa memperoleh keadilan,” kata Phillipe Nassif, Direktur Amnesty International Timur Tengah dan Afrika Utara. (AP/AFP/REUTERS)