AS-China tidak akan benar-benar terlibat perang konvensional. Bahkan, dengan kondisi sekarang, nyaris tidak mungkin Beijing-Washingston saling melepaskan sebutir peluru sekalipun.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Perang tidak bisa terhindarkan kala kekuatan baru sedang berusaha bangkit dan kekuatan lama berusaha mempertahankan dominasinya. Demikian diajarkan mantan penasihat kebijakan luar negeri Amerika Serikat, Graham Allison.
Allison menyebutnya sebagai ”Perangkap Thucydides” dan kini ajaran guru besar Harvard itu dapat dipakai untuk menjelaskan persaingan AS dengan China. Para pakar olah yudha meyakini, AS-China tidak akan benar-benar terlibat perang konvensional. Bahkan, dengan kondisi sekarang, nyaris tidak mungkin Beijing-Washingston saling melepaskan sebutir peluru sekalipun.
Peluang baku tembak tetap amat kecil meski kedua negara tercatat sebagai pemilik anggaran pertahanan terbesar di bumi. Peningkatan yang dinilai para pakar perang sebagai konsekuensi logis atas kemampuan perekonomian masing-masing. Meski tidak sepenuhnya dipakai di sebagian negara, memang terbukti anggaran pertahanan cenderung bertambah kala perekonomian suatu negara makin menguat.
Namun, itu juga tidak berarti AS-China berhenti berseteru. Dengan serangkaian sanksi dan pengenaan bea masuk impor sejak 2018, AS sedang melancarkan perang ekonomi dengan China. Mereka pun berseteru kala dunia sangat membutuhkan kerja sama untuk mengatasi Covid-19.
AS juga mengajak sekutunya untuk ”menyerang” China. Setelah mendesak penyelidikan internasional soal asal Covid-19, kini Australia bersepakat dengan India untuk bisa saling menggunakan pangkalan militer. Kerja sama yang sudah diwacanakan sejak 2007 itu ditandatangani kala Canberra dan New Delhi sedang bersitegang dengan Beijing.
Canberra sedang dipusingkan dengan ancaman boikot oleh Beijing berupa pengenaan tarif bea masuk impor yang lebih tinggi dan menunda mengirim kembali pelajar serta pelancongnya ke Australia. Canberra berpotensi kehilangan lebih dari 100 miliar dollar AS setahun. Sementara India sedang panas oleh masalah yang sudah puluhan tahun ada, yaitu sengketa perbatasan di bekas kerajaan Kashmir. Selain dengan Pakistan, India berebut Kashmir dengan China.
Sejak lama, Australia dikenal sebagai sekutu dekat AS. India pun semakin mendekat ke AS dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum dengan Canberra, New Delhi lebih dulu menandatangani kesepakatan soal penggunaan pangkalan militer dengan Washington.
Di sekitar India dan China, AS punya pangkalan di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Filipina, Guam, Australia, Diego Garcia, dan Afghanistan. Pakistan juga pernah mengizinkan AS memakai wilayahnya untuk mengirim pasokan ke Afghanistan. Seluruh pangkalan itu aktif dengan tentara dan aneka persenjataan AS. Untuk Singapura, secara resmi disebut sebagai pangkalan logistik. Sebutan pangkalan logistik juga dipakai untuk Diego Garcia, pulau buatan di atas gugusan karang di tengah Samudra Hindia.
Selain itu, AS mengoperasikan lebih dari 20 pangkalan di berbagai penjuru Afrika, antara lain di Djibouti. Pangkalan AS di Djibouti lebih dulu beroperasi dibandingkan dengan pangkalan China di negara itu. Pangkalan Djibouti, meski bolak-balik dinyatakan Beijing tidak untuk keperluan agresif, adalah pangkalan pertama China di Afrika. Beijing juga sedang membangun pangkalan di Maladewa dan Bangladesh yang juga dinyatakan hanya untuk keperluan perbekalan. Ada pula desas-desus Beijing akan menggunakan pelabuhan yang kini dibangun di Myanmar untuk menjadi pangkalan militer China di wilayah Samudra Hindia.
Keputusan Djibouti mengizinkan AS-China punya pangkalan di negaranya dapat dimaknai sebagai kecerdikan negara pesisir timur Afrika itu di tengah persaingan dua raksasa. Dengan keputusan itu, Djibouti tidak harus mengalami boikot seperti yang kini dirasakan Canberra.