Vietnam masih berstatus negara perakit yang merakit suku cadang hasil impor dari berbagai negara. Hanoi bisa melakukan itu karena terhubung dengan sistem rantai pasok global.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha Indonesia diajak memanfaatkan Vietnam sebagai perantara menembus pasar Eropa dan negara atau kawasan lain. Indonesia juga perlu belajar dari Vietnam untuk terhubung dengan rantai pasok global.
Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Ibnu Hadi, Kamis (11/6/2020), mengatakan, Vietnam mempunyai perjanjian dagang dengan 14 negara dan kawasan. Itu membuat produk buatan Vietnam lebih berdaya saing.
”Ini kesempatan Indonesia memanfaatkan pasar luar negeri Vietnam. Jangan memandangnya sebagai pesaing terus,” ujarnya dalam seminar virtual ”Pemulihan Ekonomi Vietnam: Manfaat bagi Dunia Usaha Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KBRI Hanoi, kemarin.
Vietnam adalah negara berorientasi ekspor. Nilai ekspornya pada 2019 sebesar 264 miliar dollar AS dengan elektronika dan permesinan sebagai ekspor utama. ”Ada lubang di tengah industri Vietnam, Indonesia bisa mengisi itu,” kata Hadi.
Lubang yang dimaksud adalah Vietnam belum memproduksi semua kebutuhan bahan setengah jadi dan suku cadang untuk aneka industrinya. Negara itu masih berstatus perakit suku cadang hasil impor dari negara lain. Hanoi bisa melakukan itu karena terhubung dengan sistem rantai pasok global.
Selain suku cadang, peluang Indonesia ke pasar Vietnam adalah produk otomotif. Sebelum ada regulasi terbaru, produk otomotif impor lebih murah dibandingkan dengan produk otomotif rakitan lokal Vietnam. Regulasi membuat produk impor utuh lebih mahal.
Namun, pandemi Covid-19 membuat Vietnam membuat penyesuaian sehingga harga mobil impor utuh lebih terjangkau. ”Mobil Indonesia sangat diminati di Vietnam,” ujarnya.
Indonesia juga sudah menembus pasar otomotif Vietnam dengan produk yang diurai atau complete knock down. Di Vietnam, produk Indonesia dirakit lalu dipasarkan di dalam dan luar negeri.
Hadi menganjurkan, pengusaha Indonesia mencari rekanan untuk meningkatkan penjualan produknya di Vietnam. Jika memungkinkan, bisa juga membuka perwakilan atau anak usaha di Vietnam seperti dilakukan sejumlah perusahaan Indonesia.
Kelompok Astra melakukan itu. ”Di sini, 75 persen kendaraan bermerek Honda,” kata General Director Astra Viesteon Vietnam Ali Zunan.
Anak usaha Astra itu sudah beberapa tahun berdiri di Vietnam. Astra menjadikan Vietnam sebagai basis produksi untuk kebutuhan Vietnam dan sejumlah negara Eropa. Suku cadang untuk produksi di Vietnam, antara lain, dikirim dari Indonesia.
Relokasi
Hadi juga mengatakan, Vietnam memang berhasil menarik sejumlah perusahaan untuk pindah dari China. Akan tetapi, keberhasilan itu terutama karena pertimbangan jarak dan sistem logistik.
Perusahaan-perusahaan yang memindahkan pabrik ke Vietnam terutama berasal dari kawasan China selatan. Karena itu, pemindahan dari Vietnam tidak membuat perusahaan menambah jarak terlalu jauh dari lokasi asalnya.
Faktor itu membuat Hadi optimistis Indonesia tetap bisa menarik perusahaan-perusahaan asing yang akan memindahkan pabriknya dari China atau negara lain. Jakarta bisa belajar dari Hanoi untuk meningkatkan daya tarik itu.
Secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Pasok Global pada Universitas Indonesia Mohammad Revindo mengatakan, integrasi dengan rantai pasok global menjadi faktor penting dalam menarik relokasi.
Dalam sistem produksi global, perusahaan memecah basis produksinya untuk meningkatkan kemangkusan dan kesangkilan proses produksi.
Banyak negara yang sukses menarik investasi manufaktur karena produksi di negara itu bisa digabungkan dengan rantai pasok global. Penggabungan itu memastikan suatu negara telah punya pasar untuk menyerap hasil produksi yang diarahkan ke ekspor.
Sistem itu memang bisa menimbulkan kesan impor meningkat. Akan tetapi, impornya berupa bahan baku dan pengolahan di dalam negeri meningkatkan nilai tambahnya.
Saat diekspor lagi, bentuk dan nilai produk sudah berbeda. Dengan demikian, suatu negara mendapat bayaran lebih mahal dibandingkan kala mengimpor bahan baku untuk produk tersebut.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono mengatakan, Indonesia terutama harus fokus membidik perusahaan dengan pasar utama di sekitar kawasan.
Pertimbangan logistik membuat relokasi tidak akan jauh dari pasar. Perusahaan-perusahaan akan memindahkan pabrik dari China akan mencari lokasi baru di sekitar China. Sebab, potensi pasar terbesar ada di Asia, yakni 3,5 miliar jiwa. Selain besar, pasar di kawasan juga terus tumbuh.