Tekanan ekonomi yang cukup pelik tengah dihadapi kebanyakan warga di China, khususnya yang berada di level kelas menengah ke bawah. Mereka harus berhadapan dengan aparat di jalanan saat berupaya membuka usaha.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
BEIJING, KAMIS — Peluang dan ketentuan tidak selalu seiring. Di tengah impitan kebutuhan, pernyataan salah satu petinggi di China membuka peluang bagi warga dari kelompok menengah ke bawah untuk mendulang pendapatan. Namun, di sisi lain, aparat perkotaan bersikukuh untuk tidak membiarkan mereka membuka lapak di kaki lima atau jalanan.
Polemik muncul saat sebuah situs web pemerintah melaporkan bahwa Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan kepada para pemilik kios dan sektor UMKM lainnya bahwa mereka adalah bagian penting dari ekonomi negara itu. Hal itu dikatakan Li selama kunjungannya ke wilayah China timur laut, pekan lalu.
”Ekonomi pedagang kaki lima dan ekonomi toko kecil adalah sumber pekerjaan yang penting, sama pentingnya bagi China dengan toko-toko mewah kelas atas,” kata Li kepada para pedagang. Pernyataan Li itu muncul menanggapi pertanyaan para pedagang atas nasib mereka yang terdampak pandemi dan kebijakan penutupan wilayah oleh pemerintah.
Meskipun tidak didukung oleh kebijakan formal apa pun, komentar Li itu telah mendorong orang di seluruh negeri untuk mendirikan kios di jalanan. Ada yang membuka lapak di trotoar, ada pula yang di belakang lapangan parkir sepeda.
Wang Zhiping, mantan pembersih jalan berusia 72 tahun yang berasal dari Provinsi Henan tengah, adalah salah satunya. Ia mengaku bersemangat menggelar dagangannya di jalanan setelah mendengar pernyataan Li. ”Saya baru memulai pekan lalu, tetapi kondisinya belum terlalu bagus,” kata Wang. Ia mengaku tidak memiliki sumber pendapatan lain. Kesehatannya juga terlalu buruk untuk meneruskan pekerjaannya sebagai petugas kebersihan.
Setelah pandemi dapat dikendalikan di China dan kebijakan pelonggaran diterapkan, usaha kecil rakyat kembali semarak. Namun, para pedagang kaki lima itu merasa tidak tenang karena aparat pamong praja kerap mengusir mereka. Bahkan, pihak berwenang menegaskan untuk meningkatkan pengawasan.
”Saya hanya mulai menjual kue panekuk panggang minggu ini, tetapi petugas chengguan (aparat pamong praja) telah mengejar saya empat kali,” kata seorang wanita paruh baya yang menolak untuk menyebutkan namanya. Ia membuka warung makan keliling di distrik Chaoyang. Seorang pedagang lain mengeluh, ”Li Keqiang adalah anggota senior Partai Komunis. Mengapa chengguan menentang apa yang didukung Partai Komunis?”
Senada dengan sikap aparat, People’s Daily, media corong Partai Komunis, menyerukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pedagang jalanan. Sementara media lainnya, Beijing Daily, yang dikelola pemerintah mengklaim bahwa kios-kios itu terbelakang dan ”tidak cocok” dengan kota.
Para analis juga mempertanyakan apakah para pedagang ini dapat memiliki dampak yang cukup di saat otoritas China berusaha menghidupkan kembali ekonomi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Tahun ini China memang menghadapi lonjakan pengangguran. PM Li, bulan lalu, mengatakan, ada 600 juta warga China berpenghasilan 1.000 yuan atau sekitar Rp 2 juta per bulan, bahkan kurang. Penghasilan itu tidak cukup untuk hidup di beberapa kota di China.
”Meskipun tampaknya masuk akal untuk melonggarkan peraturan tentang aktivitas wirausaha di masa resesi, saya ragu mempromosikan ekonomi pedagang kaki lima akan secara substansial meningkatkan konsumsi,” kata Albert Park, seorang profesor ekonomi di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong. ”Bahkan, jika permintaan untuk produk-produk seperti itu cukup besar di beberapa lokasi, kemungkinan karena para pedagang kaki lima mengambil bisnis toko-toko lain yang lebih mapan daripada meningkatkan konsumsi secara total,” kata Park.
Tang Min, mantan kepala ekonom Bank Pembangunan Asia di China dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan pemerintah, Kamis, mengatakan, kios jalanan dapat menciptakan lapangan kerja baru, tetapi tidak dapat menggantikan ekonomi formal. (AFP)