Pandemi Covid-19 Berpotensi Bawa Jutaan Anak Jadi Pekerja
Meningkatnya potensi angka kemiskinan global akibat terhentinya kegiatan ekonomi berpotensi menjadikan anak-anak sebagai pekerja anak. Paus Fransiskus mengingatkan dunia agar menjaga anak-anak, masa depan dunia.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Organisasi Pekerja Dunia (ILO) dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mengkhawatirkan potensi kenaikan jumlah pekerja anak di tengah pandemi Covid-19. Keberhasilan dunia dalam sebuah kerja sama global untuk membebaskan 94 juta pekerja anak dari lingkungan kerja yang tidak sehat dan berbahaya, yang dilakukan sejak tahun 2000, bakal terkubur.
”Pandemi mendatangkan malapetaka bagi keluarga. Pendapatan mereka menurun drastis. Tanpa dukungan, banyak anak-anak diterjunkan oleh keluarga untuk membantu kehidupan keluarga,” kata Kepala ILO Guy Ryder dalam pernyataannya, Jumat (12/6).
Pernyataan bersama ILO dan Unicef ini terkait dengan laporan yang dikeluarkan Bank Dunia bulan lalu yang menyebutkan pandemi Covid-19 menyebabkan kenaikan angka kemiskinan ekstrem hingga 60 juta pada 2020. Angka kemiskinan ekstrem itu berpeluang semakin naik mengingat ekonomi dunia diperkirakan menyusut hingga hampir 5,5 persen tahun ini jika tidak ada langkah penyelamatan yang masif dan ekstensif.
Menyusutnya perekonomian dunia juga mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita negara-negara 3,6 persen. Bank Dunia memperkirakan lebih dari 90 persen negara di dunia mengalami kontraksi ekonomi ini.
Dalam laporan bersama ILO dan Unicef disebutkan, kenaikan angka kemiskinan sekitar 1 persen di setiap negara berpotensi mengakibatkan kenaikan 0,7 persen pada jumlah pekerja anak. Laporan itu juga menekankan bahwa krisis dapat mendorong anak-anak yang sudah bekerja untuk bekerja lebih lama di bawah kondisi yang memburuk.
Laporan tersebut juga menyebutkan, anak-anak juga bisa menjadi korban pemaksaan untuk masuk ke dalam bentuk pekerjaan yang mengancam kesehatan dan keselamatan mereka. Kedua lembaga di dalam laporannya juga menyebutkan, anak-anak yang kehilangan orangtua (yatim atau yatim piatu) ketika pandemi ini berlangsung terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Anak-anak ini lebih rentan terhadap eksploitasi.
Anak perempuan menjadi kelompok anak yang rentan dipekerjakan di bidang pertanian atau pekerja rumah tangga/asisten rumah tangga. Kondisi seperti ini banyak terjadi di Brasil, Guatemala, Tanzania, Meksiko, dan India.
Kepala Unicef Henrietta Fore mengatakan, di dalam kondisi krisis, anak-anak menjadi mekanisme jalan keluar bagi keluarganya. Penutupan lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas, dalam laporan tersebut juga memberikan peluang anak-anak untuk beralih menjadi pekerja anak.
”Semua negara perlu memastikan anak-anak dan keluarganya memiliki alat dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi kondisi serupa di masa akan datang. Kualitas pendidikan, jaminan sosial, hingga peluang bekerja bagi orangtua menjadi hal yang akan sangat menentukan,” kata Fore.
Pemimpin Umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, dikutip dari laman Vatican News mengingatkan, menjadikan anak sebagai pekerja di tengah situasi kesehatan global seperti ini adalah sebuah bentuk perbudakan yang akan berdampak pada mental dan fisik anak-anak itu. ”Kita semua bertanggung jawab atas kondisi ini,” katanya.
Paus meminta agar semua institusi, negara dan swasta, melakukan upaya maksimal untuk melindungi anak-anak dari perbudakan. ”Anak-anak akan masa depan keluarga, masa depan kita. Adalah tanggung jawab kita semua agar mereka tumbuh berkembang dalam kondisi sehat dan bahagia,” katanya. (AFP/Reuters)