Indonesia Dorong OKI Solid Tolak Aneksasi Israel atas Wilayah Palestina
Di tengah dakwaan korupsi dan ancaman terguling dari kekuasaan, PM Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan akan memulai rencana perluasan pendudukan Tepi Barat. Indonesia menolak rencana ilegal itu.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mendorong agar Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI lebih solid, terutama untuk mendukung isu Palestina. Dalam Pertemuan Luar Biasa Tingkat Menteri Komite Eksekutif OKI yang digelar pada Rabu (10/6/2020) secara virtual, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menegaskan pentingnya OKI mengonsolidasi diri, baik di dalam maupun di luar tubuh organisasi.
”Sifat dari pertemuan ini luar biasa mencerminkan gentingnya situasi. Oleh karena itu, hasilnya juga harus luar biasa, bukan bisnis seperti biasa,” kata Retno.
Menurut dia, di tengah pandemi Covid-19, warga Palestina menghadapi tekanan ganda, yaitu aneksasi dan pandemi. ”Ini mengguncang fondasi Palestina sebagai sebuah bangsa serta mengancam perdamaian juga stabilitas di kawasan dan sekitarnya,” kata Retno.
Menurut Retno, ketika dunia fokus pada upaya global untuk memerangi virus mematikan, Israel melanjutkan aneksasinya, sebuah tindakan yang tidak dapat diterima. ”Ini sangat melanggar hukum internasional dan berbagai resolusi PBB. Ini merusak parameter internasional dan konsensus tentang Palestina, termasuk solusi dua negara, bahkan akan membunuh impian kita untuk melihat negara Palestina yang merdeka dan berdaulat,” tutur Retno lebih lanjut.
Untuk itu, Retno mendorong konsolidasi dan soliditas OKI yang diyakini akan mampu mencegah aneksasi formal terjadi. Lebih lanjut Retno menegaskan, jika Israel akhirnya menjalankan aneksasi formal, negara-negara OKI yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel diharapkan mengambil langkah-langkah diplomatik yang sejalan dengan berbagai resolusi OKI.
Menurut Retno, OKI harus mampu menjadi mesin untuk aksi kolektif di berbagai forum global, termasuk di Majelis Umum PBB tempat OKI dapat menginisiasi resolusi untuk menolak aneksasi. ”Di Dewan Keamanan PBB, kita harus mendesak Dewan untuk mengambil tindakan konkret untuk mengatasi aneksasi. Di Dewan Hak Asasi Manusia, kita harus menyuarakan keprihatinan atas krisis hak asasi manusia yang disebabkan oleh aneksasi,” papar Retno.
Indonesia, kata Retno, telah mengirim surat kepada menteri luar negeri Gerakan Non-Blok, G-77, negara-negara OKI, Uni Eropa, dan semua anggota Dewan Keamanan PBB untuk meminta dukungan mereka menolak rencana Israel.
Indonesia berharap OKI dan komunitas internasional kembali mendukung dimulainya kembali negosiasi multilateral yang kredibel, dengan dipandu parameter yang disepakati secara internasional dengan tujuan mencapai solusi dua negara. Penggalangan dukungan itu bagi Indonesia dinilai sangat penting untuk menghentikan aneksasi Israel di Tepi Barat.
Putusan hukum
Mahkamah Agung Israel pun menyatakan pendudukan itu ilegal. Keputusan yang diumumkan pada Selasa (9/6/2020) itu dibuat oleh majelis yang terdiri dari sembilan hakim. Keputusan itu membatalkan undang-undang Israel yang mengesahkan pembangunan 4.000 rumah di lahan milik orang Palestina di Tepi Barat.
”UU itu melanggar hak milik penduduk Palestina dan menguntungkan pemukim Israel,” demikian tertulis di amar putusan. UU itu dibuat pada 2017 dan menyatakan pemukim Israel tetap bisa menempati rumah di Tepi Barat meski dibangun tanpa izin oleh pemilik lahan yang merupakan warga Palestina. UU itu memicu sejumlah pemukim Israel membangun rumah tanpa izin di Tepi Barat.
Sebelumnya, di tengah dakwaan korupsi dan ancaman terguling dari kekuasaan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan akan memulai rencana perluasan pendudukan Tepi Barat pada 1 Juli 2020. Menjelang pelaksanaan rencana tersebut, PM Netanyahu mendapat pukulan dari dalam negeri. Mahkamah Agung Israel menetapkan pembangunan ribuan rumah di permukiman Israel di Tepi Barat sebagai tindakan ilegal.
Usulan Trump
Partai Likud pimpinan Netanyahu menyatakan akan segera membuat UU pengganti. Netanyahu juga bolak-balik mengatakan akan meneruskan perluasan pendudukan di Tepi Barat. Perluasan itu disebut berdasarkan usulan perdamaian Palestina-Israel dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sampai sekarang, belum jelas apakah Washington setuju Netanyahu memulai rencananya pada 1 Juli 2020.
Dalam usulan Trump, wilayah Palestina di Tepi Barat dipangkas. Selain itu, tetap ada permukiman Israel di Tepi Barat yang sudah terpangkas itu. Trump juga mengusulkan seluruh Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sebagai gantinya, wilayah Palestina di sekitar Gaza ditambah. Trump juga menawarkan dana sebesar 50 miliar dollar AS untuk pembangunan Palestina walau tidak dijelaskan bentuknya berupa utang, hibah, atau investasi.
Palestina menolak usulan itu. PM Palestina Mohammad Shtayyeh telah menyampaikan usulan versi Palestina ke AS, Uni Eropa, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam usulan itu, Palestina setuju ada sedikit pengurangan wilayahnya. Walakin, tidak dijelaskan seperti apa pengurangan itu. Shtayyeh berharap usulan itu akan dibahas PBB pada akhir Juni 2020.
Wakil Tetap Palestina di PBB Riyad Mansour mengatakan, usulan Palestina berdasarkan konsesus internasional. ”Palestina menerima dasar prinsip internasional untuk perdamaian, termasuk acuan dari AS di masa pemerintahan George HW Bush, Bill Clinton, George Bush, dan Barack Obama,” ujarnya.
Palestina mengakui usulan itu mirip dengan yang disampaikan ke PBB tahun lalu. Bahkan, sejumlah pakar menyebut usulan itu pernah disampaikan ke Israel pada 2008.
Mantan perunding AS untuk perdamaian Timur Tengah, Aaron David Miller, menyebut usulan Palestina tidak berguna. ”AS dan Israel mengusulkan 70 persen Tepi Barat untuk negara yang hanya akan ada jika seluruh warga Palestina adalah warga Kanada. Palestina ingin negara sebenarnya dengan sedikit perubahan atas perbatasan sebelum Juni 1967. Perbedaannya terlalu jauh,” ujarnya.
Sebagian pihak juga menyebut usulan AS sama saja menyokong solusi satu negara, alih-alih solusi dua negara yang didorong internasional. Sejak dilantik pada 2017, Trump memang secara terbuka menyokong solusi satu negara.
Trump bukan orang pertama yang mewacanakan solusi satu negara. Mendiang Moamar Gaddafi mengenalkan istilah Israetine pada 2009. Istilah itu untuk menyebut negara yang menggabungkan Israel dan Palestina. Sebab, ia menilai Solusi Dua Negara semakin sulit diwujudkan. Apa pun usulan terkait solusi itu terbukti selalu ditolak dan memicu konflik berkepanjangan.
Dalam jajak pendapat beberapa waktu lalu, warga Israel cemas dengan rencana itu. Mereka khawatir pelaksanaan rencana itu akan memicu perlawanan baru oleh orang Palestina. Perlawanan besar terakhir dilakukan Palestina pada 2000-2004. Setelah itu, kelompok-kelompok Palestina melakukan perlawanan secara terpisah dengan Israel. Bahkan, Hamas dan Fatah yang merupakan kekuatan politik utama Palestina pun masih berkonflik sampai sekarang. Hamas mengontrol Gaza, Fatah mengendalikan Tepi Barat.