Mahkamah Agung Israel Putuskan Permukiman di Tepi Barat Ilegal
Keputusan Mahkamah Israel itu membatalkan undang-undang Israel yang mengesahkan pembangunan 4.000 rumah di lahan milik orang Palestina di Tepi Barat. UU itu melanggar hak milik penduduk Palestina.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
TEL AVIV, RABU — Mahkamah Agung Israel menetapkan pembangunan ribuan rumah oleh Pemerintah Israel di Tepi Barat sebagai tindakan ilegal. Putusan itu dikeluarkan menjelang pelaksanaan rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperluas pendudukan di Tepi Barat.
Keputusan yang diumumkan pada Selasa (9/6/2020) waktu setempat itu dibuat oleh majelis yang terdiri dari sembilan hakim. Keputusan itu membatalkan undang-undang Israel yang mengesahkan pembangunan 4.000 unit rumah di lahan milik orang Palestina di Tepi Barat.
”UU itu melanggar hak milik penduduk Palestina dan menguntungkan pemukim Israel,” demikian tertulis di amar putusan.
UU itu dibuat pada 2017 dan menyatakan pemukim Israel tetap bisa menempati rumah di Tepi Barat meski dibangun tanpa izin oleh pemilik lahan yang merupakan warga Palestina. UU itu memicu sejumlah pemukim Israel membangun rumah tanpa izin di Tepi Barat.
Partai Likud pimpinan Netanyahu berjanji akan segera membuat UU pengganti. Netanyahu telah mengumumkan, perluasan pendudukan Tepi Barat akan dimulai pada 1 Juli 2020. Perluasan itu didasarkan pada usulan perdamaian dari Amerika Serikat.
Dalam usulan itu, Presiden AS Donald Trump mengusulkan wilayah Palestina di Tepi Barat dipangkas. Selain itu, ada permukiman Israel di Tepi Barat. Trump juga mengusulkan seluruh Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sebagai gantinya, wilayah Palestina di sekitar Gaza ditambah. Trump juga menawarkan 50 miliar dollar AS untuk pembangunan Palestina walau tidak dijelaskan bentuknya berupa utang, hibah, atau investasi.
Usulan Palestina
Palestina menolak usulan itu. PM Palestina Mohammad Shtayyeh telah menyampaikan usulan versi Palestina ke AS, Uni Eropa, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam usulan itu, Palestina setuju ada sedikit pengurangan wilayahnya. Walakin, tidak dijelaskan seperti apa pengurangan itu. Shtayyeh berharap usulan itu akan dibahas PBB bulan ini.
Wakil Tetap Palestina di PBB Riyad Mansour mengatakan, usulan Palestina berdasarkan konsesus internasional. ”Palestina menerima dasar prinsip internasional untuk perdamaian, termasuk acuan dari AS di masa pemerintahan George H Bus, Bill Clinton, George Bush, dan Barack Obama,” ujarnya.
Palestina mengakui usulan itu mirip dengan yang disampaikan ke PBB tahun lalu. Bahkan, sejumlah pakar menyebut usulan itu pernah disampaikan ke Israel pada 2008.
Mantan perunding AS untuk perdamaian Timur Tengah, Aaron David Miller, menyebut usulan Palestina tidak berguna.
”AS dan Israel mengusulkan 70 persen Tepi Barat untuk negara yang hanya akan ada jika seluruh warga Palestina adalah warga Kanada. Palestina ingin negara sebenarnya dengan sedikit perubahan atas perbatasan sebelum Juni 1967. Perbedaannya terlalu jauh,” ujarnya.
Sebagian pihak juga menyebut usulan AS sama saja menyokong solusi satu negara, alih-alih solusi dua negara yang didorong internasional. Sejak dilantik pada 2017, Trump memang secara terbuka menyokong solusi satu negara.
Trump bukan orang pertama yang mewacanakan solusi satu negara. Mendiang Moamar Gaddafi mengenalkan istilah Israetine pada 2009. Istilah itu untuk menyebut negara yang menggabungkan Israel dan Palestina.
Sebab, ia menilai Solusi Dua Negara semakin sulit diwujudkan. Apa pun usulan terkait solusi itu terbukti selalu ditolak dan memicu konflik berkepanjangan. (AP/REUTERS)