Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia Tomas Ojea Quintana mengatakan, Korea Utara saat ini dalam kondisi rawan pangan parah. Ia meminta rezim Korut untuk bertindak dan komunitas internasional turut membantu.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
PYONGYANG, RABU — Korea Utara dilaporkan sedang menghadapi kerawanan pangan serius dan bahkan sebagian kecil warga sudah kelaparan. Pasokan menjadi sangat minim terutama setelah negara itu menutup perbatasan dengan China, pintu masuk utama suplai barang, akibat pandemi Covid-19.
Peringatan kondisi ketahanan pangan Korea Utara itu disampaikan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia Tomas Ojea Quintana, Selasa (9/6/2020). Ia meminta rezim Korut segera bertindak dan komunitas internasional juga didorong segera memberikan bantuan.
”Kekurangan pangan memperparah situasi di Korut. Situasi di tahun 1990-an dan saat ini akan sama karena kekurangan makanan,” kata Quintana.
Bencana kelaparan pernah melanda Korut pada akhir 1990-an. Kondisi itu akan bisa kembali terjadi karena ketahanan pangan di Korut yang semakin parah menyebabkan kian banyak warga kelaparan, terutama lagi setelah negara itu menutup perbatasan dengan China.
Penutupan perbatasan, sebagai dampak kebijakan antisipasi penyebaran pandemi virus korona, juga membuat ruang gerak warga kian terbatas. Padahal, sampai sekarang rezim berkuasa belum mengumumkan adanya kasus positif Covid-19 di negara yang dipimpin Kim Jong Un itu.
Pada waktu bencana kelaparan 1990-an, ratusan ribu orang diduga tewas. Sebelum pandemi Covid-19 datang, sekitar 40 persen warga Korut sudah kesulitan mendapat akses makanan, bahkan banyak yang kekurangan gizi.
Juru bicara Program Pangan Dunia, Elisabeth Byrs, mengatakan, pertumbuhan satu dari lima anak usia di bawah lima tahun kerdil atau lambat. ”Malanutrisi dengan skala besar seperti ini akan merusak masa depan ratusan ribu anak,” ujarnya.
Hilang penghasilan
Keputusan menutup perbatasan dengan China, lima bulan lalu, dan mengisolasi ribuan warga untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 memperparah situasi dan kehidupan rakyat Korut.
Penutupan perbatasan itu menyebabkan perdagangan Korut dengan China pada Maret dan April tahun ini anjlok hingga lebih dari 90 persen. Penutupan perbatasan itu membuat banyak orang yang tinggal di sepanjang daerah perbatasan kehilangan pekerjaan.
”Kami mendapat laporan jumlah gelandangan bertambah banyak di kota-kota besar, termasuk anak jalanan. Harga obat juga melambung tinggi,” kata Byrs.
Kesulitan pangan terlihat karena semakin banyak keluarga yang hanya bisa makan dua kali sehari atau hanya makan jagung. Sebagian lagi sudah jarang makan dan kelaparan. Bukan hanya warga sipil yang kelaparan, juga tentara yang mulai kekurangan pangan.
Situasi yang lebih parah juga terjadi di kamp penjara rahasia. Korut didesak membebaskan semua tahanan karena banyaknya penjara yang tahanannya tewas akibat kelelahan bekerja, kekurangan makanan, terlalu penuh, dan menderita penyakit menular.
Quintana juga mengingatkan dampak sanksi dari komunitas internasional terhadap Korut.
”Dalam konteks pandemi yang membawa kesulitan ekonomi yang drastis terhadap Korut, saya mendorong DK PBB untuk mempertimbangkan kembali sanksinya agar kehidupan masyarakat bisa lebih ringan dan kapasitas pemerintah untuk menangani pandemi ini bisa ditingkatkan,” kata Byrs. (REUTERS/AFP)