Meski Sering Salah Langkah, Kematian akibat Covid-19 di Jepang Rendah
Beberapa teritori atau negara yang berdekatan dengan China justru mengalami pandemi Covid-19 yang relatif lebih ringan dibandingkan Eropa dan Amerika Serikat. Salah satunya adalah Jepang.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
AP PHOTO/EUGENE HOSHIKO
Sebuah stasiun kereta di Tokyo, Jepang, saat jam sibuk padat oleh para komuter yang menggunakan masker, Selasa (26/5/2020). Meski dinilai sering keliru mengambil kebijakan dalam mengatasi Covid-19, angka kematian akibat penyakit ini di Jepang terbilang rendah.
TOKYO, SENIN — Kasus meninggal akibat Covid-19 di Jepang tetap rendah meski pemerintah setempat dinilai beberapa kali salah langkah dalam menangani pandemi ini.
Per 8 Juni 2020, Jepang melaporkan 17.039 kasus Covid-19 dengan jumlah kasus meninggal 918 kasus atau sekitar 7 kasus per 1 juta penduduk. Angka ini jauh lebih kecil daripada Amerika Serikat, misalnya, yang mencapai 320 kasus per 1 juta penduduk atau Italia dan Inggris yang masing-masing lebih dari 550 kasus per 1 juta penduduk.
Pada 25 Mei 2020, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengakhiri tujuh pekan status darurat dan menyebutnya sebagai ”kekuatan model Jepang”. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengapresiasi langkah ini dan menyebutnya ”berhasil”.
Akan tetapi, para ahli berpendapat bahwa sebenarnya tidak jelas bagaimana Jepang bisa menangani pandemi ini dengan baik. Yang jelas, Jepang memerlukan tes yang luas dan sistem kesehatan untuk menemukan, mengisolasi, dan merawat pasien dengan lebih baik untuk meminimalkan risiko gelombang infeksi berikutnya di kemudian hari.
Sebelumnya, otoritas kesehatan Jepang mendapat kritik keras selama menangani karantina di kapal pesiar Diamond Princess yang menjadi salah satu kluster penularan di awal pandemi dan dinilai lambat menutup perbatasan. Mereka hanya melakukan sebagian kecil tes yang diperlukan untuk mengidentifikasi kasus dan mengisolasi pasien positif serta membiarkan dunia usaha beroperasi seperti normal meski selama status darurat.
AP PHOTO/EUGENE HOSHIKO
Pengunjung toko menjaga jarak fisik saat memasuki kawasan niaga dan fashion Shibuya 109 di Tokyo, Jepang, 1 Juni 2020. Meski dinilai sering keliru mengambil kebijakan dalam mengatasi Covid-19, angka kematian akibat penyakit ini terbilang rendah.
Penelusuran dini
Panel yang dipimpin oleh pemerintah menyimpulkan bahwa penelusuran kontak secara dini membantu mereka mengidentifikasi wabah, memperlambat penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret. Kemudian kampanye publik agar warga menghindari lingkungan berisiko tinggi juga turut membantu.
”Pada saat awal, kami mendeteksi tanda-tanda infeksi dan kami menyadari bagaimana penyakit ini ditularkan. Sejak awal kami bisa memberikan peringatan kepada masyarakat,” kata Shireru Omi, pakar kesehatan masyarakat dari gugus tugas Covid-19 Pemerintah Jepang. ”Jepang bisa saja seperti Amerika Serikat atau Eropa jika di fase awal penularan sudah banyak,” kata Omi.
Omi dan pakar lain mengatakan, penggunaan masker yang luas untuk mencegah alergi dan influenza, kebiasaan masyarakat membungkuk bukan bersalaman atau berpelukan, tabu menggunakan alas kaki di dalam rumah, dan sistem kesehatan yang aksesnya mudah dan terjangkau juga turut membantu Jepang menghadapi pandemi.
Pasien yang dirawat di rumah sakit diuntungkan oleh dokter-dokter Jepang yang mengandalkan CT-scan dan X-ray untuk mendiagnosis kasus pneumonia. Para peneliti juga menduga paparan akan virus korona jenis lain sebelumnya memberikan semacam perlindungan dari Covid-19.
Bisa juga, ujar para pengkritik pemerintah, Jepang hanya beruntung meski banyak salah langkah.
AP PHOTO/EUGENE HOSHIKO
Konsumen sebuah restoran mengangkat gelas minumannya untuk salut melalui pemisah plastik di Kichiri di Distrik Shinjuku, Tokyo, Jepang, Kamis (4/6/2020). Meski dinilai sering keliru mengambil kebijakan dalam mengatasi Covid-19, angka kematian akibat penyakit ini terbilang rendah.
Awalnya, warga Jepang memiliki ekspektasi bahwa sistem kesehatan negara mereka yang sejak dibangun puluhan tahun lalu untuk mendeteksi tuberkulosis dan penyakit menular lainnya akan mampu melawan Covid-19.
Akan tetapi, pengurangan pegawai dan restrukturisasi menghambat sistem itu bekerja bahkan untuk melayani permintaan tes sekalipun. Belum lagi birokrasi pemerintah tidak mengizinkan laboratorium swasta dan perguruan tinggi untuk membantu. Banyak yang akhirnya telanjur sakit atau meninggal sebelum menjalani tes.
”Perspektif kesehatan masyarakat diprioritaskan dan perawatan untuk setiap pasien terabaikan,” kata Michiko Sakane, dokter di Tsukuba, dekat Tokyo dalam artikelnya yang dipublikasikan Medical Research Information Center.
”Kami terus meminta pasien dengan gejala flu untuk menunggu di rumah. Kami bahkan tidak tahu berapa banyak dari mereka yang positif,” ujarnya. ”Kami butuh sistem yang memungkinkan tes terhadap semua orang yang membutuhkan dapat dilakukan,” kata Sakane menambahkan. (AP)