Lemahnya Permintaan Pasar Masih Bebani Jepang dan China
Ekonomi Jepang tertekan karena konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan China, mitra dagangnya yang paling penting. Pandemi Covid-19 menjadi serangan terbaru yang mengentak.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Pandemi Covid-19 memberi pukulan makin telak pada dua raksasa ekonomi Asia, yaitu China dan Jepang. Pada triwulan pertama tahun 2020, lemahnya permintaan pasar di dalam dan luar negeri akibat pandemi membuat Jepang masih berkutat dengan resesi meskipun tidak separah yang diproyeksikan. Situasi serupa juga menghantam China dan membuat catatan ekspor-impor negara itu pada Mei turun. Pada April, China sempat mencatat tren positif pada kinerja ekspor dan impor.
Terkait Jepang, dilihat secara tahunan, kinerja ekonomi negara itu pada triwulan I-2020 menyusut 2,2 persen. Namun, penyusutan itu–sebagaiman pernyataan yang dirilis, Senin (8/6/2020), di Tokyo–lebih baik dari prakiraan semula, yaitu pertumbuhan negatif sebesar 3,4 persen. Salah satu faktor penahannya adalah permintaan sektor swasta yang tetap positif.
Para analis mengatakan, revisi pertumbuhan ekonomi Jepang itu tidak mengejutkan. Meskipun di sisi lain, ada bayang-bayang ketidakpastian dan prospeknya bagi perekonomian negara itu mungkin suram terutama untuk periode April-Juni.
Yoshimasa Maruyama, kepala ekonom pasar untuk SMBC Nikko Securities, mengatakan, revisi dengan kenaikan pada produk domestik bruto (PDB) Jepang itu tidak mengejutkan. Hal itu mengingat langkah-langkah untuk menggerakkan roda ekonomi di seluruh dunia pasca-kebijakan pelonggaran diharapkan memberi efek positif. Langkah pemulihan kemungkinan besar akan dibantu oleh mengalirnya lagi permintaan yang tertunda sebelum pandemi.
”Ekonomi Jepang akan pulih dengan sangat cepat, tetapi setelah itu diperkirakan akan kembali goyah dan macet,” kata Maruyama.
China
Di China, Minggu (7/6/2020), dilaporkan, efek pandemi dan perang dagang dengan Amerika Serikat menyeret kinerja ekspor turun dengan capaian senilai 206,8 miliar dollar AS atau turun hingga 3,3 persen dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun 2019. Penurunan itu, menurut data Bea dan Cukai China, lebih banyak dipengaruhi oleh goyahnya permintaan dalam dan luar negeri yang diduga terjadi karena dampak pandemi global Covid-19.
Di sisi lain, impor China turun 16,7 persen. Penurunan itu membuat surplus perdagangan China naik tajam menjadi 62,9 miliar dollar AS. Surplus itu antara lain disumbang oleh selisih positif perdagangan dengan AS sebesar 27,9 miliar dollar AS dan Uni Eropa yang mencapai 18,2 miliar dollar AS.
Faktor lain yang turut berpengaruh adalah isu perang dagang. Berbagai spekulasi muncul atas kelanjutan negosiasi dagang AS-China. Apalagi pada Jumat pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan, ia menilai perjanjian perdagangan fase 1 secara berbeda setelah pandemi Covid-19.
”Saya kira saya melihat kesepakatan perdagangan sedikit berbeda dari yang saya lakukan tiga bulan lalu,” kata Trump pada konferensi pers di Gedung Putih. Ia tampak ”sedikit meragukan” kesepakatan itu. ”Bergaul dengan China akan menjadi hal yang baik. Aku tidak tahu apakah itu akan terwujud demikian. Nanti akan saya beritakukan,” kata Trump.
Meningkatnya ketegangan AS-China sebagian besar dipandang sebagai hal negatif oleh para pelaku bisnis dan pelaku pasar. Peningkatan tarif impor yang diberlakukan oleh AS dan China atau kebijakan proteksionis lainnya telah mengguncang pasar ekuitas. Di sisi lain, perang dagang dapat membuka celah aneka peluang baru.
Sebagaimana dikutip Bloomberg, Ajay Kapur, kepala strategi pasar berkembang global untuk Asia pada Bank of America, mengatakan, persaingan dapat memiliki banyak manfaat, terutama dalam mendorong investasi dan inovasi. Peningkatan produktivitas yang lebih kuat akan membantu mendorong pengembalian investasi dalam berbagai aset. (AP/REUTERS)