Perbincangan via telepon antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membawa suasana baru dalam hubungan Turki-AS yang dalam empat tahun terakhir diwarnai ketegangan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
ANKARA, SELASA — Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Libya menjadi babak baru hubungan negara itu dengan Turki. Hubungan dua pemimpin pemerintahan, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang selama beberapa tahun terakhir tegang, mulai mencair.
Pemerintah AS mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang dipimpin Perdana Menteri Fayej al-Sarraj. GNA terbentuk juga atas sponsor Perserikatan Bangsa-Bangsa dan belakangan didukung Turki.
Dalam perbincangan melalui sambungan telepon, Trump dan Erdogan bersepakat tentang beberapa hal mengenai kondisi konflik Libya.
”Sebuah era baru antara Turki dan AS dimulai setelah kami berbincang melalui telepon. Kami menyetujui beberapa masalah,” kata Erdogan dalam wawancara dengan stasiun televisi TRT, Selasa (9/6/2020).
Erdogan tidak merinci kesepahaman yang dimaksud antara dirinya dan Trump. Gedung Putih menyatakan, selain membahas soal Libya, Trump dan Erdogan membahas perang di Afrika Utara, Suriah, dan kawasan Mediterania timur. Walau demikian, Gedung Putih juga tidak memberikan rinciannya.
Selama empat tahun terakhir, hubungan kedua negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ini selalu diwarnai ketegangan. Pada 2018, rencana Pemerintah Turki untuk menyerang milisi Kurdi di Afrin, Suriah, menyebabkan kemarahan Washington.
Pada tahun yang sama, hubungan Washington-Ankara semakin panas setelah Pemerintah Turki diketahui menahan Pendeta Andrew Brunson, yang merupakan warga AS, karena dugaan keterlibatan aksi kudeta pada Juli 2016. Rencana kudeta itu sendiri gagal.
Satu hal lain yang membuat hubungan kedua negara menjadi renggang adalah rencana pembelian sistem pertahanan S-400 milik Rusia oleh pemerintahan Erdogan.
Kementerian Pertahanan AS menganggap pembelian sistem persenjataan Rusia bisa memicu pencurian data militer yang sangat sensitif milik AS apabila sistem pertahanan itu terhubung dengan sistem pertahanan Turki dan NATO.
Sebagai balasan tindakan itu, AS mengeluarkan Turki dari kolaborasi pengembangan pesawat siluman F-35. Padahal, Turki sudah berjanji akan membeli teknologi pesawat tempur tersebut sebanyak 100 unit untuk mengamankan wilayah udaranya.
Keterlibatan AS dalam konflik Libya, dengan mendukung pemerintahan Al-Sarraj yang juga didukung Turki, terjadi setelah Pemerintah Rusia mengirimkan 14 pesawat tempur mereka, yang terdiri dari MIG-29 dan Sukhoi-24.
AS membaca, pengiriman pesawat tempur itu tidak lagi sekadar membantu pasukan Jenderal Khalifa Haftar, tetapi sudah mengancam posisi Armada IV AS di Italia, pangkalan militer AS di Yunani dan Spanyol serta di kawasan Afrika Utara.
Gencatan senjata gagal
Sementara itu, tawaran gencatan senjata sepihak yang ditawarkan Haftar, yang didukung Pemerintah Mesir, Uni Emirat Arab, dan Rusia, gagal. Pasukan GNA berhasil memukul mundur Angkatan Bersenjata Arab Libya yang mendukung Haftar dari kota pesisir, Sirte, dan pangkalan udara Jufra, salah satu pangkalan udara penting di Libya.
Erdogan menyatakan, keberhasilan itu adalah sebuah hal penting bagi para pendukung pemerintahan Al-Sarraj.
Keberhasilan menduduki Sirte dan pangkalan udara menjadi hasil yang penting karena kawasan ini adalah salah satu sumber minyak terbesar di Libya. Penguasaan ladang minyak bisa dikonversi menjadi pendapatan yang cukup besar bagi negara ini meski harga minyak sedang jatuh.
Sehari sebelum penaklukan kota ini, Rusia telah berkomunikasi dengan Pemerintah Turki untuk membicarakan kembali opsi damai di negara tersebut.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Menlu Turki Mevlut Casuvoglu dalam pernyataan bersamanya sepakat agar PBB segera menunjuk utusan khusus untuk membantu para pihak bertikai melakukan pembicaraan damai. (AP/REUTERS)