Presiden Amerika Serikat Donald Trump sempat berniat mengerahkan ribuan tentara ke Washington DC untuk menahan unjuk rasa antirasisme. Namun niat itu tidak didukung para petinggi Pentagon.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
WASHINGTON, MINGGU - Perdebatan sempat terjadi antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan sejumlah pejabatnya terkait rencana pengerahan tentara aktif untuk membendung unjuk rasa warga. Awalnya, Trump ingin mengerahkan 10.000 tentara ke wilayah Washington DC. Keinginan itu disampaikan - beberapa kali - kepada para penasehatnya.
Salah seorang penasihat senior Trump yang tidak mau disebutkan namanya, Minggu (7/6/2020), menceritakan situasi diskusi yang memanas di ruang kerja Trump, Oval Office, yang terjadi Senin pekan lalu.
Perdebatan itu menunjukkan Trump betul-betul berniat menjalankan niatnya untuk mengerahkan tentara aktif untuk menahan unjuk rasa antirasisme, yang meletus pasca kematian George Floyd warga kulit hitam akibat perlakuan polisi Minneapolis. Di sisi lain, para pimpinan di Pentagon tidak menyetujui rencana Trump tersebut.
Pada pertemuan itu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley, dan Jaksa Agung William Barr sama-sama tidak setuju mengerahkan tentara aktif. “Pertemuan itu panas dan penuh perdebatan sengit,” kata sumber itu.
Alih-alih mengirim tentara, Pentagon lebih merekomendasikan pengerahan Garda Nasional saja untuk menangani krisis dalam negeri, dan Trump setuju. Ia tampaknya cukup puas dengan pilihan itu. Para pemimpin Pentagon kemudian segara menghubungi semua gubernur dan meminta mereka mengirimkan Garda Nasional ke Washington. Untuk membantu mereka, sejumlah penegak hukum federal juga dikerahkan.
Selain itu, Trump juga menyetujui usulan Esper menyiagakan tentara aktif dari 82nd Airborne Division dan unit-unit lain di Washington DC. jika sewaktu-waktu dibutuhkan. “Menyiagakan pasukan aktif tetapi tidak di dalam kota itu saja sudah cukup bagi presiden,” kata sumber itu.
Militerisasi
Niat Trump untuk memiliterisasi respon AS terhadap demonstrasi pasca kematian Floyd memicu kecaman dari para mantan pejabat militer AS, termasuk mantan menteri pertahanan Jim Mattis. Komentar-komentar mereka menunjukkan kegelisahan orang-orang di dalam dan luar Pentagon tentang niat Trump melibatkan tangan militer ke dalam krisis dalam negeri terkait isu ras.
Floyd tewas setelah polisi berkulit putih menginjak bagian leher Floyd dengan dengkulnya selama 9 menit. Kematian Floyd memicu gelombang protes hingga berujung kerusuhan dan penjarahan di berbagai negara bagian.
Esper secara terang-terangan, dalam konferensi pers, menyatakan ketidaksetujuannya pada rencana pengerahan tentara aktif untuk menyelesaikan perkara dalam negeri. Trump disebutkan memarahi Esper setelah konferensi pers itu. Bahkan beredar spekulasi Esper bisa dipecat. Namun juru bicara Gedung Putih Kayleigh McEnany menegaskan, Trump masih percaya pada Esper.
”Peran Esper penting untuk menjaga keamanan kita dan memastikan rakyat AS merasa aman dan damai di tempat kerja, tempat ibadah, dan di rumah,” kata McEnany.
Esper mengeluarkan memo, Selasa lalu, untuk mengingatkan personel Kemhan AS bahwa mereka tetap berkomitmen melindungi hak rakyat AS atas kebebasan berbicara dan berkumpul dengan damai. Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley juga mengeluarkan pernyataan serupa untuk mengingatkan pasukan keamanan AS akan janji setia mereka pada Konstitusi AS yang melindungi hak warga atas aksi protes yang damai.
Pada perkembangan terakhir, Presiden Trump, Minggu memerintahkan agar Garda Nasional ditarik dari Washington DC. Melalui twitter, Trump mengatakan,”Saya baru saja memberi perintah kepada Garda Nasional kita untuk memulai proses penarikan diri dari Washington DC, sekarang semuanya di bawah kendali”.
Lebih lanjut ia menulis, mereka bisa pulang tetapi dapat dengan cepat ditugaskan kembali jika diperlukan. Pekan lalu Walikota Washington DC, Muriel Bowser telah meminta kepada Presiden Trump akan Garda Nasional yang dikirim dari berbagai negara bagian itu ditarik mundur.
Jam malam
Meskipun unjuk rasa antirasisme di AS masih marak, situasi kota New York - yang juga diguncang unjuk rasa itu - kini dinilai sudah kembali aman dan terkendali. Kondisi itu membuat Walikota New York Bill de Blasio percaya diri untuk mencabut aturan jam malam pada Minggu pagi.
Jam malam yang berlaku dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore itu baru pertama kali diberlakukan di New York dalam 75 tahun terakhir. Pencabutan jam malam itu seiring dengan dicabutnya kebijakan karantina mencegah penyebaran wabah korona.
Sebelumnya, Bill de Blasio sebelumnya sempat memperpanjang jam malam, pada 2 Juni lalu, dan dimulai lebih awal 20 menit sebelum matahari terbenam setelah sejumlah toko barang-barang mewah di Manhattan dijarah sejumlah orang yang turut dalam aksi unjuk rasa. Banyak pengunjuk rasa yang tidak mematuhi jam malam itu tetapi diabaikan saja oleh polisi yang pada malam sebelumnya agresif menangani para pengunjuk rasa.
Dukungan untuk aksi antirasisme di AS juga menguat di Spanyol, Jerman, Inggris, dan Italia. Pada hari Minggu, ribuan warga – dengan menggunakan masker – dikabarkan turun ke jalan-jalan di Barcelona, Madrid, dan Roma. Mereka menyerukan dukungan pada gerakan Black Lives Matter.
Dukungan atas gerakan itu juga muncul di Hong Kong. Unjuk rasa itu digelar di depan Konsulat AS di Hong Kong. "Ini masalah global," kata Quinland Anderson, seorang warga negara Inggris berusia 28 tahun yang tinggal di Hong Kong.