Kewaspadaan Tinggi di Berbagai Negara Setelah Pelonggaran Pembatasan
Pelonggaran karantina wilayah memerlukan kewaspadaan dan kehati-hatian tinggi semua pihak agar gelombang kedua infeksi tidak muncul. Itu sebabnya kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan di semua aspek mutlak adanya.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
AFP/MLADEN ANTONOV
Konsumen makan di sebuah restoran yang menerapkan batas jarak fisik dengan memasang penghalang plastik di area pecinan di Bangkok, Thailand, 21 Mei 2020. Hal itu dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19.
Pada saat kebijakan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19 mulai dilonggarkan jangan pernah berpikir bahwa pandemi ini sudah berakhir. Situasi saat ini masih jauh dari kata akhir apalagi normal. Kita pun menjalani aktivitas sehari-hari dengan berbagai pembatasan.
Para pakar kesehatan khawatir bahwa pelonggaran pembatasan jarak sosial yang dilakukan tanpa dasar ilmiah yang tepat justru akan memicu gelombang kedua infeksi. Jika ini terjadi, layanan kesehatan akan terbebani dan masyarakat harus siap menghadapi pemberlakuan kembali pembatasan jarak sosial, bahkan karantina wilayah.
Kita bisa melihat Iran. Sejak mencapai titik terendah pada 2 Mei 2020 dengan 802 kasus sehari, kasus baru Covid-19 di Iran terus menanjak. Dalam beberapa hari terakhir pada awal Juni 2020 ini kasus barunya sudah mencapai sedikitnya 3.000 kasus dalam sehari.
Di beberapa provinsi di Iran situasinya sudah ”mengkhawatirkan” sehingga sejumlah pembatasan pun kembali diberlakukan di Provinsi Khuzestan. Para pakar meyakini ada beberapa hal mengapa ini terjadi. Salah satu yang krusial adalah warga Iran yang tidak menerapkan pembatasan jarak sosial dengan serius.
Mengabaikan imbauan pembatasan jarak sosial, ribuan warga Iran pergi ke bagian utara negara itu ketika Idul Fitri. Padahal, wilayah utara Iran merupakan daerah dengan risiko tinggi Covid-19. Selain itu, bank dan perkantoran juga dipenuhi warga.
Guru sekolah menengah Kyungbock (kanan) di Seoul, Korea Selatan, menyambut muridnya yang baru masuk sekolah setelah lebih dari dua bulan belajar di rumah untuk menekan penyebaran Covid-19, 20 Mei 2020.
Sebelumnya, kita juga melihat Korea Selatan yang kembali memberlakukan beberapa ketentuan pembatasan jarak sosialnya ketika muncul kluster penularan di kawasan hiburan malam Itaewon dan sebuah kawasan pergudangan. Pembukaan sekolah juga ditunda.
Masa pembatasan jarak sosial atau karantina wilayah di banyak negara memiliki peran yang sangat krusial untuk menekan penyebaran Covid-19. Di masa ini penduduk dipaksa mematuhi protokol kesehatan dengan tetap tinggal di rumah. Dengan membatasi pergerakan penduduk, risiko penyebaran di tingkat masyarakat pun ditekan sekecil mungkin.
Ketika penyebaran Covid-19 sudah terkendali yang dibuktikan dengan indikator epidemiologis, dan pemerintah yakin sistem kesehatan berfungsi dengan baik serta fasilitas kesehatan bisa menampung lonjakan kasus baru, pelonggaran bisa dilakukan.
Sebab, setelah pembatasan jarak sosial dilonggarkan, orang pun akan kembali beraktivitas sambil beradaptasi dengan situasi pandemi. Orang-orang mulai keluar rumah dan bertemu dengan banyak orang di tempat kerja, di perjalanan, atau di tempat umum lainnya. Mengingat jumlah kasus positif Covid-19 tanpa gejala di banyak negara tinggi, risiko tertular juga besar seiring dengan dibuka kembalinya aktivitas berbagai sektor.
Tanpa komunikasi risiko yang baik, pelonggaran pembatasan sosial bisa jadi dimaknai beragam oleh masyarakat. Bisa diartikan bahwa pandemi sudah berakhir, pandemi kini terkendali, atau bahkan mengira risiko tertular Covid-19 semakin kecil menyusul tren kasus baru yang terus menurun.
Kompas
Warga mengendarai sepeda motor dengan tempat duduk di sampingnya selama Idul Fitri di tengah kekhawatiran meningkatnya kembali kasus Covid-19 di Toukh, Al Qalyubia, Mesir, 24 Mei 2020.
Masa setelah pembatasan sosial dilonggarkan justru menuntut kewaspadaan tinggi semua pihak, kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, kesiapan fasilitas kesehatan menampung pasien Covid-19 jika terjadi lonjakan kasus, serta keandalan sistem kesehatan untuk terus melakukan pemeriksaan yang luas dan penelusuran kontak. Bahkan, level kewaspadaan, kedisiplinan mematuhi protokol kesehatan, kesiapan fasilitas kesehatan, dan keandalan sistem kesehatan yang dibangun pada masa pelonggaran ini setidaknya dua kali lipat dibandingkan pada masa pembatasan sosial.
Hal tersebut tidaklah berlebihan sebab aspek penegakan kepatuhan dan pengawasan di masa pembatasan sosial atau karantina wilayah relatif lebih ketat dibandingkan ketika kebijakan itu sudah dilonggarkan. Ketika sudah kembali beraktivitas di luar rumah, masyarakat pun cenderung lupa dengan situasi yang sebenarnya masih terjadi.
Negara yang dengan berbagai kebijakannya bisa melandaikan kurva penambahan kasus berpeluang besar melalui masa pelonggaran atau transisi ini dengan baik. Sedangkan negara yang melonggarkan pembatasan sosialnya saat jumlah kasus barunya masih tinggi bukan tidak mungkin masih menghadapi beban pandemi yang besar dalam waktu yang lebih lama.