Disiplin Jaga Jarak Fisik bagai Menegakkan Benang Basah
Sejumlah perusahaan teknologi berlomba-lomba menciptakan aplikasi di telepon seluler yang bisa memperingatkan orang jika ia berada terlalu dekat dengan orang lain sehingga bisa mengambil posisi untuk jaga jarak.
Disiplin menjaga jarak fisik di masa pandemi Covid-19 bagai menegakkan benang basah karena beda persepsi, kepentingan, dan pengalaman. Namun, tetap ada cara yang manusiawi untuk bersosialisasi.
Sejumlah negara di dunia mulai melonggarkan dan bahkan mencabut kebijakan karantina yang dilakukan untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Indonesia, meski tidak menjalankan karantina penuh, hanya pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, juga mengendurkan kebijakannya.
Meski PSBB sudah dilonggarkan atau dicabut, pemerintah sejumlah negara tetap mengimbau warga untuk memakai masker dan saling menjaga jarak fisik.
Disiplin menjaga jarak fisik tidak mudah sehingga sejumlah perusahaan teknologi berlomba-lomba menciptakan aplikasi di telepon seluler yang bisa memperingatkan orang jika ia berada terlalu dekat dengan orang lain.
Baca juga: Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Ada juga yang menciptakan robot pelayan dan bartender seperti di salah satu bar di Tokyo, Jepang, supaya pelanggan merasa aman dari virus korona baru penyebab penyakit Covid-19.
Tak hanya itu. Di salah satu restoran di Tokyo juga dipasang patung-patung manekin di sejumlah kursi untuk memastikan pelanggan menjaga jarak fisiknya dengan orang lain.
Selain itu, manekin itu juga bisa membuat restorannya seolah-olah ramai. “Awalnya aneh rasanya tetapi lama-lama terbiasa. Anggap saja mereka juga karyawan di sini,” kata salah satu pelayan, Chinatsu Fujii.
Berbagai cara dilakukan agar orang disiplin menjaga jarak. Mulai dari peringatan halus melalui tulisan-tulisan, sampai peringatan keras dengan denda dan sanksi. Namun, tetap saja tak mudah karena orang masih saja ngeyel.
Beda sikap
Garvin Wolfe van Dernoot (21), siswa di Avon County, Colorado, Amerika Serikat, bingung dengan orang lain yang tidak mengenakan masker dan tetap berdesak-desakan di kereta. “Aneh rasanya. Masih banyak orang tewas karena korona tetapi orang-orang bersikap seakan-akan tidak ada pandemi,” ujarnya kepada BBC News, Jumat (5/6/2020).
Ia merasa tidak bisa memahami orang yang tidak mematuhi panduan keselamatan. Kalau ia mencoba mengingatkan orang lain untuk memakai masker atau menjaga jarak fisik, ia malah dimarahi orang.
Baca juga: Mencermati Cara Negara-negara Lain Beradaptasi dengan Pandemi
Psikolog kesehatan di University of Kent di Inggris, Kate Hamilton-West, menjelaskan itu terjadi karena imbauan pemerintah yang memang tidak tegas. “Tinggal di rumah saja jika memungkinkan”. Dengan bahasa seperti itu, wajar jika interpretasi dan reaksi orang berbeda-beda.
Tim peneliti di Lund University, Swedia, menyebutkan indikator terkuat seberapa besar kemauan orang mematuhi rekomendasi secara sukarela adalah kesediaan mereka menyesuaikan tindakan mereka untuk kepentingan orang lain. Menjadi pro-sosial menentukan kemauan menjaga jarak fisik, menjaga kebersihan tangan, membeli masker, dan mencari informasi kesehatan terkait Covid-19.
Faktor penentu lainnya, kata Hamilton-West, informasi yang didapat dari berbagai media, teman, keluarga, atau tenaga medis, dan pengalaman sendiri saat sakit. Mereka yang merasa badannya sehat dan belum pernah sakit parah merasa percaya diri tidak akan tertular wabah korona.
”Orang yang serumah dengan kelompok usia beresiko atau ada teman atau saudara yang sakit atau tewas karena korona, akan menentukan cara ia berinteraksi dengan orang lain setelah karantina dicabut,” kata Hamilton-West.
Baca juga: Negara-negara Eropa Buka Perbatasan dan Cabut Larangan Bepergian
Sebaliknya, Alexander (34), warga Australia yang bekerja di Roma, Italia, mengaku begitu karantina dicabut semua temannya bersegera kumpul-kumpul lagi di bar seperti dulu.
Bedanya, sekarang mereka lebih memilih duduk di luar dan dibatasi hanya beberapa orang. “Tidak ada diantara kami yang kenal dengan orang yang positif korona,” ujarnya.
Emosi juga membentuk perilaku masing-masing orang. Orang yang memiliki kecenderungan takut dan khawatir kemungkinan akan merasa lebih sulit untuk mulai bersosialisasi lagi setelah selama berbulan-bulan tinggal di rumah.
Namun, Hamilton-West juga menilai jika ada seseorang sering melanggar panduan kesehatan itu juga menunjukkan orang itu sedang sangat cemas dengan wabah korona.
Kalau kita benar-benar mengkhawatirkan korona, biasanya kita akan melakukan apa saja untuk membuat perasaan kita lebih baik. Dan biasanya caranya dengan menghindar.
Baca juga: Karantina Wilayah Mengendur, Warga Nikmati Udara Luar
Dengan tidak mau memikirkan atau menghindari apapun yang terkait korona, misalnya, orang akan merasa lebih baik. Mereka tidak akan mau terlibat dalam kegiatan apapun yang akan mengingatkan mereka pada korona.
Seperti menjaga jarak sosial, memakai masker, atau mencuci tangan dengan sabun. “Orang seperti ini akan semakin gencar bersosialisasi dan tetap kontak fisik seperti biasanya atau sebelum ada korona,” kata Hamilton-West.
Masalah pribadi
Bagi sebagian orang, keengganan atau penolakan mengikuti panduan kesehatan di publik itu bisa juga merupakan bentuk reaksi terhadap perubahan situasi di lingkungan sekitarnya seperti adanya masalah hubungan personal dengan orang rumah, isolasi sosial, dan kesulitan ekonomi.
”Terkadang, reaksi seperti itu muncul karena rasa kesepian, putus asa, dan kemiskinan,” kata pakar psikologi klinis dan pertemanan di Montreal, Kanada, Miriam Kirmayer.
Tetap bersosialisasi dengan orang lain meskipun risikonya tinggi merupakan salah satu cara atau strategi “bertahan hidup” bagi mereka yang benar-benar kesulitan menjalani hidup mereka dan menangani dirinya sendiri di masa pandemi ini.
Berbagai hasil penelitian psikologi menunjukkan tetap menjaga kontak fisik dengan orang lain akan memperkuat kesehatan mental dan fisik seseorang.
”Manusia sebagai mahluk sosial didesain untuk berkontak fisik. Ada rasa nyaman saat kita berdekatan dengan orang-orang yang dirasa paling dekat,” kata Kirmayer.
Baca juga: 25 Negara Bagian di AS Mulai Longgarkan Pembatasan Sosial
Jika ada orang lain atau teman kita yang berbeda pandangan dan pendekatan dalam menyikapi aturan jaga jarak fisik, pahami saja atau setidaknya berempati saja. Ini langkah awal yang penting. Masalahnya, perilaku teman atau orang lain bisa jadi membahayakan kondisi kesehatan diri kita sendiri dan siapa saja yang kita temui.
Kirmayer mengingatkan kalau kita menentang atau berhadapan langsung dengan orang-orang yang tidak mengindahkan aturan kesehatan, mereka akan bersikap defensif atau mempertahankan diri sendiri. “Kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa mengubah sikap perilaku orang lain,” ujarnya.
Meski demikian, tetap ada trik yang mungkin bisa membantu kalau ada masalah seperti ini. Daripada melabeli teman kita sebagai orang yang tidak bertanggungjawab atau sembrono ceroboh dan tidak peduli pada orang lain, kata Kirmayer, lebih baik fokus saja pada nilai-nilai dan pengalaman kita sendiri saja.
Kalau ada teman atau saudara yang sepertinya tidak mau atau tidak mampu mengubah sikap perilakunya, sebaiknya mulai dipertimbangkan saja apakah akan tetap berkontak fisik dengan mereka atau tidak.
Jika membuat kita dan teman atau saudara lain berisiko, kata Hamilton-West, lebih baik kalau bilang saja tidak bisa bertemu saat ini karena tidak mau dianggap sebagai penular virus.
Pertemanan yang layak dijaga dan dipertahankan bisa diselamatkan dengan membuat batasan-batasan baru, misalnya hanya berkomunikasi melalui media sosial atau telepon video.
Penting juga untuk memantau terus perkembangan situasi sosial di sekitar atau pilih-pilih acara yang akan didatangi. Seperti kalau datang ke pesta ulang tahun teman. Kalau yang datang banyak orang dan tidak memungkinkan untuk menjaga jarak maka sebaiknya pamit saja dengan alasan kesehatan.
“Konsep kita tentang menjadi teman baik sekarang sudah berubah,” kata Hamilton-West.
Jalan terus atau putus
Para psikolog menilai apabila seseorang terus saja berbenturan dan beradu argumen tentang cara bersosialisasi maka justru akan memperburuk hubungan bahkan bisa terputus.
Baca juga: Menjalani Hidup Baru dengan Menjaga Jarak Fisik
Setiap masing-masing orang berhak memutuskan nasib hubungannya dengan siapa saja. Namun di masa pandemi seperti ini, kata Kirmayer, sebaiknya tidak membuat keputusan mendadak tanpa pikir panjang soal pertemanan.
“Pikirkan baik-baik saja dulu apakah hubungan harus diakhiri hanya karena masalah tak bisa jaga jarak saja,” ujarnya.
Pertemanan yang layak dijaga dan dipertahankan bisa diselamatkan dengan membuat batasan-batasan baru, misalnya hanya berkomunikasi melalui media sosial atau telepon video. Selain itu juga menghindari perbincangan mengenai penyakit Covid-19.
Jika segala urusan pandemi ini sudah berakhir dan semua orang tidak lagi gelisah, takut, dan khawatir mungkin situasi akan kembali membaik dan hubungan pertemanan akan tetap terjaga.
”Sayang sekali kalau kita harus kehilangan teman hanya karena wabah korona. Apalagi di saat ini semua orang sedang susah,” kata Kirmayer. (REUTERS/AFP)