PBB Mengadopsi Dua Resolusi untuk Transisi Politik Sudan
Sudan kini tengah memulai transisi politiknya setelah jatuhnya penguasa lama Omar al-Bashir pada April 2019. Dua Resolusi Dewan Keamanan PBB disepakati untuk mengawal proses itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON DC, RABU — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (3/6/2020) dengan suara bulat mengadopsi dua resolusi untuk misinya di Sudan. Informasi yang dihimpun dari sejumlah diplomat menyebutkan dua resolusi itu untuk mendukung transisi politik di Sudan sekaligus untuk memperpanjang mandat para penjaga perdamaian di Darfur.
Resolusi terbaru tentang Misi Bantuan Transisi Terpadu PBB di Sudan (UN Integrated Transition Assistance Mission/UNITAMS) dirancang dan diusulkan oleh Inggris dan Jerman.
Dalam teks resolusi disebutkan bahwa misi ini diusulkan dan dilaksanakan untuk periode awal selama 12 bulan. Resolusi itu juga meminta Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, untuk segera menunjuk seorang utusan untuk memimpin misi baru di Sudan.
Sudan kini tengah memulai transisi politiknya setelah jatuhnya penguasa lama Omar al-Bashir pada April 2019. Setelahnya negara itu dilanda beberapa bulan protes pro-demokrasi yang kerapkali ditanggapi secara brutal.
Pada Agustus tahun lalu, otoritas transisi sipil-militer diciptakan untuk memimpin transisi selama tiga tahun di negara itu.
Inggris dan Jerman juga menyusun resolusi untuk memperbarui mandat Operasi Cepat Hibrida Misi PBB- Uni Afrika di Darfur (UNAMID) hingga 31 Desember. Teks resolusi juga menyerukan agar kekuatan pasukan saat ini dipertahankan. Kekuatan pasukan misi PBB di Darfur itu mencapai 8.000 orang tentara.
Dalam laporan bersama pada bulan Maret lalu, PBB dan Uni Afrika telah merekomendasikan bahwa UNAMID digantikan oleh misi politik pada akhir Oktober. Dua organisasi itu juga menyerukan agar pasukan penjaga perdamaian secara bertahap ditarik pada saat itu.
China, Rusia dan beberapa negara Afrika telah mendukung rencana itu, tetapi negara-negara Eropa dan organisasi non-pemerintah khawatir bahwa warga sipil akan dibiarkan tidak terlindungi jika ketegangan meningkat.
"Di Darfur, kekerasan bersenjata antara kelompok-kelompok pemberontak telah menurun, tetapi pendorong konflik mendasar tetap belum terselesaikan dan memperburuk ketegangan antar masyarakat," demikian isi laporan itu. Ditegaskan bahwa upaya untuk melindungi warga sipil adalah tanggung jawab Sudan.
"Ini kabar baik bahwa DK PBB menjaga pasukan perdamaian di Darfur sampai akhir tahun, tetapi apa yang terjadi setelah itu?" Jehanne Henry, direktur rekanan Afrika pada lembaga Human Rights Watch. "Kita harus mengawasi warga sipil di sana, yang tetap berada di garis depan (rentan) untuk diserang."
UNAMID telah dikerahkan di Darfur, di Sudan barat, sejak 2007 dan telah mengerahkan hingga 16.000 pasukan penjaga perdamaian.
Menurut PBB, konflik di Darfur antara pasukan Sudan dan pemberontak etnis minoritas telah mengakibatkan sekitar 300.000 kematian dan lebih dari 2,5 juta orang terlantar sejak 2003. Kaum pemberontak menganggap diri mereka terpinggirkan oleh pemerintah pusat.
Kekerasan berlanjut
Hingga kini kekerasan di Sudan dilaporkan terus terjadi. Pada Rabu, misalnya, ratusan warga Sudan Selatan memprotes tindakan seorang tentara yang terlibat dalam pembunuhan lima warga sipil di ibu kota negara itu. Tentara yang diprotes itu diketahui adalah seorang sepupu Presiden Salva Kiir.
Sebuah pernyataan dari kepresidenan mengkonfirmasi bahwa Lual Akook Wol Kiir, tentara itu telah ditangkap. Ia dilaporkan berada di rumah sakit dalam kondisi kritis setelah insiden itu. Lual diketahui sebagai seorang "sepupu jauh" sang presiden.
Militer mengatakan insiden yang terjadi di daerah Shirkat di Juba itu dipicu oleh sengketa tanah, namun tidak ada rincian jelasnya.” Lual berusaha merebut tanah dari warga sipil. Ketika warga berusaha membuka kembali usaha mereka, Lual datang dengan tentaranya dan segera mulai menembak warga sipil," kata seorang saksi mata, Malual Peter.
Juru bicara militer, Mayor Jenderal Lul Ruai Koang mengatakan kepada AFP bahwa ada "kesalahpahaman dan hal itu tidak dapat ditangani”. Akibatnya beberapa penembakan terjadi antara Lual dan pengawalnya di satu sisi dan warga sipil di satu sisi. Dia mengatakan pengawal Lual masih buron.
Empat pria dan seorang wanita tewas, demikian pernyataan lanjutan dari kepresidenan. "Presiden mengutuk hal ini dalam kondisi sekuat mungkin dan telah mengarahkan pihak berwenang untuk menyelidiki insiden itu dan menuntut pers segera," kata Lul.
Pembunuhan itu memicu protes anti-pemerintah yang jarang terjadi ketika ratusan orang meminta presiden untuk mundur.
Mereka mengangkat plakat tulisan tangan yang berbunyi: "Kiir harus pergi", dan "Kami tidak ingin rezim pembunuh”. Mereka bernyanyi sebuah lagu dengan lirik yang berbunyi, ”Turun, turunkan Salva Kiir”. Koang mengatakan situasi telah dikendalikan setelah pasukan keamanan dikerahkan.
“Segalanya menjadi tidak terkendali setelah beberapa warga sipil terbunuh dan sejumlah warga lain berusaha menimbulkan rasa tidak aman; maka kami telah mengerahkan beberapa pasukan keamanan agar hukum dan ketertiban dipertahankan,” kata dia.(AFP)