Gelombang Serangan terhadap Jurnalis Semakin Mengkhawatirkan
Serangan terhadap jurnalis peliput kerusuhan rasial oleh polisi di AS semakin mengkhawatirkan. Tindakan ini dipicu oleh serangan yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump terhadap media dalam setiap pernyataannya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON DC, RABU – Gelombang serangan terhadap jurnalis dan pekerja media, yang tengah menjalankan tugas jurnalistiknya pada kerusuhan rasial dalam sepekan terakhir, semakin mengkhawatirkan.
Berbagai bentuk kekerasan fisik dilakukan aparat penegak hukum terhadap para jurnalis. Misalnya, penendengan dan pemukulan, termasuk yang lebih keras seperti penembakan dengan peluru karet, gas air mata dan semprotan merica hingga penangkapan, dilakukan oleh aparat,
Sebagian besar tindakan kekerasan tersebut tertangkap kamera, baik yang sedang melakukan siaran langsung atau hanya off-air.
Linda Tirado, seorang jurnalis lepas, dikutip dari situs International Federation of Journalist, kehilangan penglihatannya ketika tengah meliput kerusuhan rasial di Minnesota, Minneapolis, Jumat (30/5/2020). Mata kiri ibu dua anak ini tertembak peluru karet aparat.
Sehari sebelumnya, Omar Jimenez, reporter stasiun televisi CNN International ditangkap oleh kepolisian ketika tengah meliput massa yang berdemo menuntut pengusutan tuntas empat orang petugas kepolisian terkait pembunuhan George Floyd. Omar, reporter CNN kulit berwarna, ditangkap polisi meski dia sudah menunjukkan kartu identitas medianya.
Beberapa jurnalis mengunggah pengalamannya mereka ketika diserang polisi saat melakukan kerja jurnalistiknya melalui media sosial. Jurnalis radio asal Richmond, Virginia, Roberto Roldan menceritakan, dia telah menunjukkan kartu identitas medianya kepada polisi saat meliput aksi.
"Setelah menunjukkan kartu identitas dan berteriak bahwa saya adalah jurnalis, seorang petugas @RichmondPolice menyemprotkan semprotan merica ke wajah saya dan mendorong saya ke tanah,” tutur Roldan.
Satu video menunjukkan seorang kru TV Australia didorong ke tanah oleh polisi di dekat Gedung Putih di Washington. Tindakan ini memicu protes dari pemerintah Australia.
Berdasarkan hitungan sebuah kelompok pengawas media, terjadi 192 kali upaya mencederai kebebasan pers selama kurang dari sepekan. Di dalamnya termasuk 131 serangan fisik terhadap jurnalis yang tengah melakukan kerja jurnalistiknya meliput demonstrasi yang berujung pada terjadinya kerusuhan rasial. Sebanyak 108 serangan fisik tersebut dilakukan oleh polisi terhadap para jurnalis.
Jumlah tersebut terdiri dari 31 penangkapan, 46 penembakan dengan peluru karet, 30 perusakan peralatan, 30 insiden penembakan gas air mata dan 17 serangan dengan menyemprotkan cairan merica.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, sempat mencuit mengenai serangan terhadap jurnalis ini. “Ketika jurnalis diserang, sesungguhnya masyarakat juga disreang. Tidak ada demokrasi yang bisa berfungsi dengan baik tanpa pers yang bebas atau tidak ada masyarakat yang adil tanpa kerja jurnalis yang menyelidiki ketidakberesan di dalam masyarakat serta berbicara kebenaran tentang kekuasaan dan penguasanya,” tulis Guterres dalam akun resmi twitter miliknya.
Kebencian Trump
Presiden National Press Club Michael Freedman menyatakan, serangan-serangan yang bertubi-tubi terhadap para jurnalis di lapangan sebagai sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Apalagi para jurnalis yang menjadi korban jelas-jelas menunjukkan identitas mereka kepada petugas.
“Kami berharap para petugas di lapangan bisa menghormati kerja para jurnalis,” kata Freedman.
Patricia Gallagher Newberry, Presiden Masyarakat Jurnalis Profesional (SCP) menyatakan, kekerasan terhadap para jurnalis merupakan dampak dari serangan-serangan Presiden AS Donald Trump terhadap media selama beberapa tahun terakhir.
"Ini tidak seharusnya terjadi di Amerika Serikat. Di dalam konstitusi juga disebutkan soal kebebasan pers. Melihat polisi, pengunjuk rasa menyerang para jurnalis adalah sebuah hal yang mengejutkan, mengecewakan dan sebuah hal yang ilegal. Hal itu benar-benar mengganggu,” kata Newberry.
Sebuah surat terbuka yang digagas 18 organisasi yang mendukung kebebasan pers, termasuk National Press Club dan Komite Perlindungan Jurnalis (Committee to Protect Journalist), mendesak lembaga kepolisian untuk menghentikan penargetan dan penghancuran jurnalis secara sengaja di lapangan.
Para tokoh pengusung kebebasan pers menilai serangan yagn dilakukan Trump secara terus menerus kepada sejumlah media arus utama telah membuka pintu kekerasan terhadap para pekerja pers di lapangan. Khususnya bagi para jurnalis yang tengah meliput aksi massa terkait pembunuhan George Floyd di Minnesota, beberapa waktu lalu.
Len Downie, mantan editor The Washington Post yang kini mengajar di Universitas Arizona mengatakan, Trump mungkin tidak secara eksplisit mendorong kekerasan terhadap pers. Namun, retorikanya memperdalam kondisi tersebut.
Joel Simon, Direktur Eksekutif CPJ, di dalam kolomnya di Columbia Journalism Review menyatakan, retorika anti-media yang digaungkan Trump telah mengeraskan sikap polisi terhadap jurnalis, mulai dari menyerang hingga melakukan penangkapan. Sesuatu yang menurutnya tidak pernah ada di dalam sejarah hubungan media dan polisi.(AFP)