Aksi untuk Floyd di Berbagai Negara, Atas Dasar Sama Rasa Sama Derita
Aksi damai di berbagai negara itu menyoroti isu-isu penting seperti rasisme, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta rasisme. Percaya atau tidak, di sini pun masih ada persoalan rasisme.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Protes keras terhadap kebrutalan polisi Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, dan simpati terhadap George Floyd, tak hanya terjadi di AS tetapi meluas sampai ke berbagai negara mulai dari Eropa hingga Afrika, Rabu (3/6/2020).
Floyd adalah pria kulit hitam yang tewas kehabisan napas setelah lehernya ditekan dengan dengkul selama 9 menit oleh polisi kulit putih di Minneapolis.
Aktivis-aktivis antikebrutalan polisi di Eropa dan Afrika bergerak bersama dalam gerakan “Nyawa Kulit Hitam Bernilai”.
Demonstran dalam aksi damai di berbagai negara itu menyoroti isu-isu penting seperti kekerasan yang dialami tahanan kulit hitam oleh petugas kulit putih, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta rasisme yang sudah melekat sejak zaman kolonial Belanda, Inggris, dan Perancis.
”Percaya atau tidak, di sini pun masih ada persoalan rasisme,” kata pendiri Tur Warisan Kulit Hitam Amsterdam, Jennifer Tosch.
Pada zaman kolonial, tahun 1600-an dan 1700-an, Belanda pernah memperdagangkan sedikitnya 500.000 budak. Tosch membandingkan antara apa yang dialami Floyd di zaman modern ini dengan perlakuan terhadap budak berabad-abad lalu.
“Persis sama dulu dan sekarang. Dulu budak juga diinjak begitu untuk dicap badannya dengan besi panas,” ujarnya.
Di Berlin, sedikitnya 2.000 orang unjuk rasa di luar kantor kedutaan besar AS. Pesan yang sama disampaikan Presiden SOS Rasisme Perancis, Dominique Sopo, yang berdemo di depan kantor kedubes AS di Paris, Senin lalu.
“Isu rasisme polisi juga masalah yang penting sekaligus mengkhawatirkan bagi Perancis,” ujarnya.
Polisi di Paris menembakkan gas air mata, Selasa, untuk membubarkan demonstran yang turun ke jalan memprotes kematian anak muda berkulit hitam, Adama Traore, saat ditahan polisi pada tahun 2016.
Peristiwa itu kembali diangkat bersamaan dengan kasus kematian Floyd. Keluarga Traore menuding Adama (24) tewas karena perlakuan berlebihan dari polisi.
Dari laporan patologi ada dua kesimpulan, Adama tewas dua jam kemudian karena sulit bernapas dan sakit lain yang diderita sebelum penahanan.
Aktivis Perancis juga menceritakan gara-gara kebijakan karantina banyak terjadi kasus kebrutalan polisi di pemukiman masyarakat miskin yang mayoritas berasal dari Afrika.
Bentrokan
Bentrokan antara polisi dan demonstran juga terjadi di Istanbul, Turki. Lima orang ditahan setelah bergantian memberikan orasi mengecam kebrutalan polisi dan memprotes larangan demonstrasi pada masa pandemi Covid-19.
Di Nairobi, puluhan demonstran membawa spanduk bertuliskan “Nyawa Kulit Hitam Bernilai” dan “Hentikan Pembunuhan di Luar Hukum”.
Penyelenggara demonstrasi Nafula Wafula mengatakan kekerasan terhadap warga kulit hitam adalah masalah internasional dan hampir semua negara memiliki masalah yang sama. Ia mencontohkan pembunuhan tahanan di Kenya.
”Sistem kelas menyebabkan kebrutalan polisi dibiarkan terjadi di Kenya. Kalau di Amerika, sistem kelas dan ras,” kata Wafula.
Gelombang protes serupa juga akan muncul di Gambia, Inggris, Spanyol, dan Portugal. Di Spanyol, demonstran akan memperingati kematian Floyd dan semua warga kulit hitam yang tewas akibat rasisme.
Namun, tak semua warga Eropa bersuara sama. Partai kanan jauh Spanyol, Vox, dan Partai Kebebasan anti Islam di Belanda, misalnya, menyebut mereka yang turun ke jalan untuk membela Floyd dengan sebutan teroris dan mendukung Presiden AS Donald Trump.
“Kami mendukung Trump dan rakyat AS yang melihat negerinya diserang oleh teroris jalanan yang didukung miliuner progresif,” tulis Vox di twitter.
Di Belanda, Partai Kebebasan menuliskan “Gedung Putih sedang diserang. Ini bukan protes tetapi anarki oleh #AntifaTerrorists” di twitter.
Meski pandangan publik terhadap isu ras itu berbeda, Kepala Institut Nasional untuk Studi Perbudakan Belanda dan Warisannya Linda Nooitmeer tetap memandang protes isu ras di Belanda itu penting.
“Kami tidak punya sejarah gerakan hak sipil di Belanda. Apa yang terjadi kemarin itu sesuatu yang baru. Ini bisa jadi awal dialog yang sebenarnya,” ujarnya. (REUTERS)