Kesenjangan dan Isu Rasial, Bara yang Terus Menyala di Tanah Amerika
Isu rasialisme di AS menjadi bara yang terus menyala di tengah kesenjangan dan praktik-praktik diskriminatif yang dialami warga kulit hitam.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Kasus-kasus pelanggaran rasial oleh aparat kepolisian yang berulang kali terjadi di Amerika Serikat berkelindan dengan kesenjangan di bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di negara itu. Kondisi ini diperparah perlakuan diskriminatif antara warga kulit hitam dan kulit putih. Potret sosial itu menjadi bara yang terus menyala dan mudah menyulut kerusuhan sosial.
Minneapolis, lokasi insiden terbunuhnya George Floyd, warga kulit hitam di kaki polisi kulit putih, sebenarnya adalah kota yang layak berbangga atas keberhasilannya menyemai multikulturalisme. Namun, pada saat yang sama, kota itu harus berjuang mengatasi pemisahan dan kesenjangan rasial di bidang pendidikan dan kesehatan khususnya.
Laporan harian The New York Times, Senin (1/6/2020), menggambarkan sejumlah kesenjangan yang terjadi akibat beberapa faktor. Keluarga-keluarga kulit hitam warga kota itu tinggal di kawasan-kawasan permukiman yang kondisinya relatif kurang baik jika dibandingkan dengan warga berkulit putih secara umum.
Kepolisian kota didominasi warga kulit putih. Mereka dituduh melakukan praktik rasis selama beberapa dekade, jarang mendisiplinkan petugas-petugas dengan catatan bermasalah.
Wali Kota Minneapolis Jacob Frey, yang mulai menjabat pada 2018, berjanji memperbaiki hubungan antara polisi dan masyarakat setelah dua kasus penembakan fatal yang dilakukan oleh polisi terhadap warga. Sehari setelah kematian Floyd, Frey—mantan pengacara hak-hak sipil—segera mengecam para petugas yang terlibat.
”Menjadi (warga kulit) hitam di Amerika seharusnya bukan hukuman mati,” ujarnya. ”Saya percaya, apa yang saya lihat dan apa yang saya lihat di setiap tingkatan adalah hal yang keliru.”
Menjadi (warga kulit) hitam di Amerika seharusnya bukan hukuman mati.
Frey telah menyusun rencana untuk mengatasi kurangnya perumahan yang terjangkau di Minneapolis. Kondisi itu menjadi persoalan tersendiri di tengah pertumbuhan kota itu. Sejak tahun 1990-an, Minnesota telah menarik kehadiran gelombang imigran dari Somalia, Kamboja, Etiopia, Laos, dan Meksiko.
Merujuk data sensus kependudukan, Minneapolis adalah kota yang penduduknya terdiri dari sekitar 60 persen berkulit putih, 20 persen berkulit hitam, 10 persen Latin, dan 6 persen Asia. Namun, warisan kebijakan yang mendiskriminasi orang kulit berwarna dinilai masih ada.
”Rasisme telah ada untuk waktu yang sangat lama,” kata Lawrence R Jacobs, ilmuwan politik di University of Minnesota. ”Anda dapat melihatnya pada pembagian lingkungan (tempat tinggal), sistem pendidikan, sistem transportasi dan, yang jelas, di kepolisian.”
Media BBC menyebut AS tengah mengalami turbulensi rasial dan kerusuhan sipil yang paling luas sejak aksi massa pasca-pembunuhan Martin Luther King pada 1968. Kasus Floyd telah menyalakan kembali kemarahan atas pembunuhan oleh polisi terhadap warga kulit hitam Amerika.
Cermin frustrasi
Bagi banyak orang, kemarahan itu juga mencerminkan frustrasi selama bertahun-tahun atas ketidaksetaraan dan pemisahan sosial-ekonomi, tidak terkecuali di Minneapolis, tempat George Floyd meninggal. Pascainsiden Floyd, kota-kota yang sebelumnya lengang karena menjalankan kebijakan penutupan wilayah guna menekan penyebaran Covid-19 jadi ”meledak” oleh aksi-aksi turun ke jalan untuk menyampaikan protes massa.
”Kami memiliki putra (berkulit) hitam, saudara (berkulit) hitam, teman kulit hitam, kami tidak ingin mereka mati. Kami lelah dengan hal ini, generasi ini tidak memilikinya, kami lelah dengan penindasan,” kata Muna Abdi (31), perempuan pengunjuk rasa di Minneapolis.
Pernyataan senada diungkapkan para aktivis hak-hak kulit hitam terkemuka di AS. Aktivis hak sipil dan anggota Kongres AS, John Lewis, dari Georgia menyerukan pemrotes bersikap konstruktif dan tidak merusak. Ia menyatakan dapat merasakan dan memahami rasa sakit sekaligus penderitaan warga. Pada tahun 1965 silam, ia dipukuli oleh aparat Negara Bagian Alabama selama masa kampanye untuk memperjuangkan hak pilih semua warga.
Isu berbau rasial juga ditemukan dalam masa pandemi Covid-19 saat ini bersamaan dengan naiknya suhu politik menjelang pemilihan presiden pada November mendatang. Beberapa pakar hak-hak sipil, sebagaimana disebut dalam Foreign Policy, menilai bahwa hanya masalah waktu sebelum kemarahan warga meledak. Hal itu tak lain karena meningkatnya ketegangan sosial dan penangkapan terkait isu rasial dalam beberapa pekan terakhir.
Rasisme telah ada untuk waktu yang sangat lama.
Pria kulit hitam yang mengenakan masker wajah ditangkap selama masa pembatasan wilayah. Hal itu, antara lain, menimpa seorang dokter berkulit hitam di Miami. Saat ditangkap, ia secara sukarela tengah mengetes Covid-19 seorang tunawisma.
Faktor kepemimpinan di AS juga memperparah situasi. Presiden Donald Trump, yang pada awalnya menyesali kematian Floyd, dinilai hanya mengobarkan ketegangan melalui cuitan-cuitan di akun Twitter-nya. Sikap dan pandangannya dinilai justru memantik lebih dalam sentimen segregasi kulit putih dengan kulit berwarna.
Ia, misalnya, menyatakan melalui Twitter bahwa ketika aksi-aksi penjarahan dimulai, hal itu akan diikuti dengan penembakan. Secara mengejutkan, Trump juga menolak menyampaikan pidato kenegaraan guna meredam situasi. Ia mengatakan, ”Saya di sini untuk berbicara tentang China,” saat dirinya mengumumkan penarikan AS dari Organisasi Kesehatan Dunia.
Calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, mengatakan Trump sedang ”menyerukan kekerasan terhadap warga negara Amerika”. Biden menyatakan bahwa kematian Floyd memperlihatkan ”luka terbuka” dalam sejarah bangsa yang berasal dari rasisme yang ”masih menodai” AS.
Trump, di sisi lain, tampak bersemangat untuk bermain di basis pendukung konservatifnya yang sebagian besar berkulit putih. Strategi itu sering digunakannya pada saat-saat kondisi krisis. Setelah markas CNN di Atlanta dirusak pada Sabtu pagi pekan lalu, misalnya, Trump mengunggah kembali cuitan seorang pendukung konservatifnya. (AFP/REUTERS)