Kembalinya AS di Kancah Libya dan Skenario Rusia di Afrika Utara
AS membaca, apa yang dilakukan Rusia di Libya saat ini persis seperti yang dilakukan Rusia di Suriah pada 2013-2015. Kembalinya AS ke gelanggang Libya tentu akan menguntungkan posisi Turki yang sedang membantu PM Sarraj.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Isu konflik Libya dalam beberapa hari terakhir ini dengan cepat bergeser dari sekadar isu pertempuran Tripoli ke persaingan Amerika Serikat-Rusia. Pertempuran perebutan ibu kota Tripoli berlangsung sejak 4 April 2019. Namun, isu Libya kini sudah terseret dalam pertarungan geopolitik global antara AS dan Rusia.
AS pun segera masuk lagi ke gelanggang Libya. Hal ini bermula dari informasi rekaman satelit komando AS di Afrika (Africom) yang melacak pergerakan 14 pesawat tempur Rusia MiG-29 dan Sukhoi-24 menuju pangkalan militer Al-Jufra di Libya tengah, sekitar 650 kilometer tenggara Tripoli, yang dikuasai pasukan loyalis Jenderal Khalifa Haftar pekan lalu.
Juru bicara Pentagon, Jonathan Hoffman, mengungkapkan, ke-14 pesawat tempur Rusia yang dikirim ke Libya itu terdiri dari jenis jet tempur multifungsi MiG-29 dan pesawat pengebom Sukhoi-24. AS pun segera membaca, gerakan Rusia mengirim pesawat tempur ke Libya sudah tidak lagi sekadar membantu Haftar, tetapi telah mengancam keamanan Eropa dan pangkalan militer AS di area Laut Tengah.
Dari pangkalan udara Al- Jufra, MiG-29 dan Sukhoi-24 hanya butuh waktu kurang dari dua jam dan tanpa hambatan radar banyak negara untuk mencapai Armada IV AS di Italia, armada AS terbesar di Eropa dan area Laut Tengah. Pangkalan militer AS di Spanyol dan Yunani juga dalam ancaman MiG-29 dan Sukhoi-24. Pangkalan militer AS di Chad, Niger, dan Mali yang bermisi melawan teroris di Afrika Utara dan Afrika Barat merasa terganggu pula dengan keberadaan jet tempur Rusia di Al-Jufra.
AS membaca, apa yang dilakukan Rusia di Libya saat ini persis seperti yang dilakukan Rusia di Suriah pada 2013-2015. Saat itu, Rusia semula mengirim milisi bayaran dari perusahaan keamanan Rusia, Wagner, ke Suriah untuk membantu rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus mulai akhir 2013.
Rusia lalu secara resmi mengirim pasukan ke Suriah mulai September 2015. Akhirnya, pangkalan udara militer Khmeimim di Provinsi Latakia menjadi pangkalan udara militer permanen Rusia, sedangkan pelabuhan laut Tartus menjadi pangkalan laut permanen Rusia di Suriah.
”Khmeimim dan Tartus kedua”
Skenario Suriah tersebut terjadi lagi di Libya saat ini. Rusia semula mengirim milisi bayaran dari perusahaan keamanan Wagner ke Libya untuk membantu pasukan loyalis Haftar dalam pertempuran kota Tripoli. Menurut Pentagon, sedikitnya 2.000-3.000 personel milisi bayaran Wagner berada di Libya. Belakangan, Rusia mengirim pesawat tempur Mig-29 dan Sukhoi-24 langsung ke pangkalan udara Al-Jufra.
Tak tertutup kemungkinan pangkalan udara Al-Jufra akan menjadi pangkalan udara permanen Rusia atau ”Khmeimim kedua” di Libya dan Afrika Utara. Pelabuhan Benghazi atau Tabruk juga akan menjadi pangkalan laut permanen Rusia atau menjadi ”Tartus kedua” di Libya dan Afrika Utara.
Kembalinya AS ke gelanggang Libya tentu akan menguntungkan posisi Turki yang sedang membantu habis-habisan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj di Tripoli. Turki dan Libya menjalin kesepakatan keamanan yang ditandatangani Presiden Recep Tayyip Erdogan dan PM Sarraj di Istanbul pada November 2019.
Turki sudah pasti akan menggunakan sentimen isu keamanan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan bekerja keras menyatukan barisan anggota NATO untuk membendung pengaruh Rusia di Libya. Selama ini, anggota NATO terpecah antara kubu pendukung Sarraj dan pendukung Haftar.
AS tak tinggal diam
Perancis dan Yunani cenderung mendukung Haftar. Italia, Jerman, dan Inggris cenderung mendukung Sarraj. Sikap AS semula abu-abu di Libya. AS memilih mundur dari isu Libya menyusul tewasnya Duta Besar AS untuk Libya J Christopher Steven dalam serangan di Benghazi tahun 2012. Namun, melihat Rusia ingin mengulang skenario Suriah di Libya, AS kini merasa tidak bisa diam lagi.
Di sisi lain, kehadiran AS akan menyulitkan posisi negara-negara di kawasan pendukung Haftar, seperti Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi, yang dikenal dekat dengan AS. Negara-negara tersebut tentu akan berusaha keras pula melobi AS agar lebih bersikap netral dalam isu konflik Libya.
Adapun bagi Rusia, apa yang dilakukan di Libya saat ini merupakan keniscayaan setelah melihat milisi loyalis Sarraj yang dibantu Turki meraih kemenangan signifikan akhir-akhir ini. Titik balik sikap Rusia itu menyusul jatuhnya pangkalan udara militer Al-Watiya—sekitar 140 kilometer barat daya Tripoli—ke tangan milisi loyalis Sarraj pada 17 Mei lalu.
Pangkalan Al-Watiya merupakan pangkalan udara militer terbesar di Libya barat, yang selama ini digunakan sebagai titik lepas landas pesawat tempur loyalis Haftar dalam menyerang loyalis Sarraj di kota Tripoli dan sekitarnya.
Rusia melihat jatuhnya pangkalan udara Al-Watiya ke tangan milisi loyalis PM Sarraj membuat Haftar kehilangan basis pesawat tempurnya yang paling strategis di Libya barat. Rusia juga melihat hilangnya pangkalan udara Al-Watiya dari tangan Haftar merupakan lampu kuning yang sangat membahayakan posisi milisi Haftar di sekitar Tripoli. Haftar akan kehilangan perlindungan udara dari pangkalan udara Al-Watiya.
Sebelumnya, pada pertengahan April lalu, kota Surman dan Sabratha hingga area perbatasan dengan Tunisia juga jatuh ke tangan milisi loyalis PM Sarraj. Milisi loyalis Haftar yang berada di sekitar kota Tripoli juga dipukul mundur beberapa kilometer ke belakang. Bahkan, kota Tarhuna—sekitar 90 kilometer tenggara kota Tripoli yang berada di bawah kontrol milisi loyalis Haftar—kini dalam keadaan terkepung oleh milisi loyalis PM Sarraj. Kota Tarhuna dikenal sebagai jalur pasokan logistik kepada milisi loyalis Haftar yang bertempur di sekitar Tripoli.
Posisi Sarraj menguat
Pergeseran perimbangan kekuatan di Libya barat yang lebih memperkuat posisi loyalis PM Sarraj terjadi berkat bantuan Turki kepada milisi loyalis PM Sarraj. Turki sejak Desember lalu mengirim puluhan pesawat tanpa awak dan penasihat militer ke Libya untuk membantu PM Sarraj. Turki juga disinyalir mengirim 8.000-10.000 personel milisi Suriah loyalis Ankara ke Libya.
Maka, Rusia melihat jatuhnya pangkalan udara Al-Jufra ke tangan milisi loyalis PM Sarraj hanya soal waktu jika melihat perimbangan kekuatan di Libya barat yang membuat posisi milisi loyalis Sarraj berada di atas angin. Karena itu, tidak ada pilihan bagi Rusia kecuali mengirim langsung pesawat tempur MiG-29 dan Sukhoi-24 ke pangkalan udara Al-Jufra untuk mempertahankan pangkalan udara itu dari kemungkinan serangan loyalis PM Sarraj.
Keberadaan pesawat tempur Rusia itu sekaligus memberi perlindungan udara terhadap milisi loyalis Haftar di sejumlah front pertempuran di Libya barat, khususnya sekitar kota Tripoli, setelah lepasnya pangkalan udara Al-Watiya dari tangan Haftar. Bagi Rusia, pertarungan itu sangat krusial.
Dalam impian Rusia, Libya akan dijadikan basis untuk melebarkan pengaruhnya di Afrika Utara dan Timur Tengah, seperti halnya Suriah sebagai basis pengaruh Rusia di Timur Tengah dan area Laut Tengah bagian timur. Mencermati itu semua, situasi di Libya bakal menyuguhkan konflik yang semakin kusut.