WHO dan Negara Berkembang Inginkan Kesetaraan Akses atas Vaksin
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan negara-negara berkembang kembali mendesak adanya kesetaraan akses pada vaksin. Di sisi lain, sejumlah negara kaya melobi industri farmasi untuk memperoleh prioritas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ANP/AFP/KOEN VAN WEEL
Seorang peneliti bekerja di laboratorium UMC Amsterdam, di Amsterdam, Belanda, Kamis (28/5/2020).
GENEVA, SABTU — Pemerintah negara-negara kaya telah memanjar perusahaan-perusahaan farmasi senilai ratusan juta dollar AS agar mereka mendapatkan hak sebagai konsumen pertama calon vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan. Hal itu memicu kekhawatiran ketidaksetaraan akses terhadap vaksin oleh sejumlah negara yang menghadapi permasalahan yang sama dengan negara-negara kaya.
Kondisi itu membuat 37 negara, mayoritas adalah negara berkembang, bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong kesetaraan akses terhadap vaksin yang tengah dikembangkan oleh perusahan farmasi melalui platform Covid-19 Technology Access Pool (C-TAP). Pemerintah Kosta Rika dan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus adalah dua pihak yang menginisiasi program ini.
”Vaksin, tes, diagnostik, perawatan, dan alat penting lainnya yang digunakan untuk merespons pandemi ini harus dimiliki bersama dan tersedia secara universal sebagai barang bagi warga dunia,” ujar Presiden Kosta Rika Carlos Alvarado, Jumat (29/5/2020) waktu setempat atau Sabtu waktu Indonesia. Alvarado mengatakan, platform bersama ini menjamin akses yang setara bagi setiap negara dan memberikan hasil kerja ilmu pengetahuan yang terbaik bagi umat manusia.
Ketimpangan akses terhadap vaksin terlihat ketika beberapa negara besar telah menggelontorkan dana kepada sejumlah perusahaan farmasi untuk mendapatkan nomor antrean pertama apabila perusahaan itu sukses menciptakan vaksin yang dibutuhkan. Pemerintah AS, misalnya, telah menggelontorkan dana senilai 1,2 miliar dollar AS kepada perusahaan farmasi AstraZeneca. Nilai itu setara dengan 300 juta dosis vaksin dari rencana 1 miliar vaksin yang akan diproduksi.
Pemerintah AS juga sudah mendekati perusahaan farmasi Perancis, Sanofi, untuk mendapatkan akses pertama atas calon vaksin yang tengah dikembangkannya. Hal itu membuat Pemerintah Perancis berang.
Pemerintah Inggris juga melakukan hal yang sama. Pemerintahan Boris Johnson sejauh ini sudah menggelontorkan dana sekitar 47 juta pound sterling atau setara dengan Rp 846 miliar dari total rencana 84 miliar pound sterling (setara dengan Rp 1,5 triliun) kepada perusahaan yang sama untuk mendapatkan 100 juta dosis vaksin.
Kondisi seperti itu yang membuat negara-negara berkembang dan miskin khawatir atas kemampuan mereka mendapatkan akses terhadap vaksin Covid-19. Sumber daya ekonomi yang tidak mencukupi membuat negara-negara ini khawatir mereka akan mendapatkan akses yang paling terakhir atas vaksin Covid-19.
UNIVERSITY OF OXFORD VIA AP
Tangkapan layar dari video yang dikeluarkan oleh University of Oxford, Inggris, ini memperlihatkan partisipan uji klinis kandidat vaksin Covid-19 disuntik, 25 April 2020. Ada sekitar 100 kelompok penelitian di seluruh dunia yang sedang mengembangkan kandidat vaksin Covid-19.
Thedros mengatakan, kolaborasi dan solidaritas di tengah pandemi ini menjadi sangat penting agar semua pihak bisa melewati masa pandemi ini. ”Basis ilmu pengetahuan yang kuat dan kerja kolaborasi terbuka, platform ini akan membuat semua pihak mendapatkan akses yang setara kepada sebuah teknologi yang bisa menyelamatkan umat manusia,” kata Thedros.
Dikutip dari laman resmi WHO, kolaborasi yang digagas WHO dan pemerintah negara-negara berkembang dalam bentuk platform C-TAP ini bertujuan untuk mempercepat penemuan vaksin, obat-obatan, serta teknologi lainnya yang terkait Covid-19. Nantinya, dengan kolaborasi terbuka ini, diharapkan pengembangan dan mobilisasi produk menjadi lebih cepat dan merata.
Beberapa hal yang dinilai bisa membantu pengembangan vaksin dan produk lainnya adalah pengungkapan data publik tentang urutan dan data gen; transparansi publikasi semua hasil uji klinis; transparansi klausul perjanjian pendanaan antara pemerintah dan perusahaan farmasi; hingga melisensikan semua potensi perawatan, diagnostik, vaksin, atau teknologi kesehatan lainnya ke Medicine Patent Pool, badan kesehatan publik yang didukung oleh PBB yang bekerja untuk meningkatkan akses ke dan memfasilitasi pengembangan obat-obatan.
AFP/WANG ZHAO
Petugas di Pusat Inovasi Lanjutan Beijing Genomics Universitas Beijing melakukan tes di laboratorium mereka di Beijing, Kamis (14/5/2020).
Namun, inisiatif itu tidak mendapat sambutan yang cukup baik dari industri farmasi. Federasi Produsen dan Asosiasi Farmasi Internasional dalam pernyataannya mengemukakan kekhawatiran soal perlindungan hak paten atau hak atas kekayaan intelektual dari vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan farmasi.
”Inisiatif untuk mempromosikan model satu ukuran yang cocok bagi semua mengabaikan keadaan spesifik dari setiap situasi, setiap produk, dan setiap negara,” kata federasi itu dalam pernyataannya.
Tedros menyebutkan, lembaga yang dipimpinnya mengakui ada persoalan paten dalam inovasi dan pengembangan vaksin ini. ”Namun, kondisi sekarang adalah kondisi di mana orang harus mengambil prioritas,” ujar Tedros.
Anna Marriott, manajer kebijakan kesehatan untuk kelompok anti-kemiskinan Oxfam, mengatakan, perbedaan pandangan soal hak paten di saat pandemi global bisa membawa ke jurang kekalahan. ”Upaya industri farmasi untuk membuang inisiatif WHO menunjukkan mereka lebih peduli pada keuntungan daripada kesehatan manusia,” katanya.
Amerika-WHO
Di tengah upaya kolaborasi antarnegara dengan WHO untuk mempercepat penemuan vaksin dan berbagai teknologi penunjang lainnya, Presiden AS Donald Trump memutuskan hubungan negaranya dengan WHO secara permanen, Jumat, 29 Mei. Trump menyatakan, ketidakberhasilan WHO dalam menangani pandemi global ini serta tidak berhasil meminta penjelasan kepada Pemerintah China soal asal-usul virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, menjadi alasan utama pemutusan hubungan ini.
AP/TED S WARREN, FILE
Pasien menerima suntikan dalam uji klinis studi keselamatan tahap pertama dari vaksin potensial untuk Covid-19 di Kaiser Permanente Washington Health Research Institut di Seattle, AS, Senin (16/3/2020).
”Mereka gagal melakukan reformasi yang diminta dan sangat dibutuhkan. Untuk itu, hari ini, kami mengakhiri hubungan AS dengan Organisasi Kesehatan Dunia,” ucap Trump kepada wartawan.
Trump mengatakan, AS akan mengarahkan dana sumbangan pada WHO ke seluruh dunia yang dinilai layak dan membutuhkan. Sekali lagi dia menekankan soal transparansi kerja WHO, terutama terkait virus SARS-CoV-2 yang berkali-kali dinyatakan Trump berasal dari China.
Beijing telah berkali-kali membantah tuduhan AS itu. Mereka juga membantah bahwa China memandang sebelah mata terhadap penyebaran virus dan menutupinya.
Pandemi Covid-19 telah merenggut hampir 364.000 nyawa secara global dan jumlah kasus mendekati 6 juta. (AFP/REUTERS)