Twitter menilai, cuitan Trump berpotensi menyesatkan. CEO Twitter Jack Dorsey menegaskan, pihaknya tak akan menjadi "wasit kebenaran", tetapi akan terus menunjukkan informasi-informasi yang salah kepada dunia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO & ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Presiden Amerika Serikat Donald Trump tengah berseteru dengan perusahaan media sosial Twitter. Perseteruan mengemuka dan memanas pada pertengahan pekan ini. Bukan sekadar twit war—istilah di kalangan pengguna Twitter untuk menggambarkan perdebatan sengit dan panas di platform medsos itu—perseteruan itu juga berbuntut pada ancaman Trump untuk menutup Twitter. Manajemen Twitter bergeming dengan sikapnya dan bahkan bertekad melanjutkan langkah seperti itu secara global.
”Perang” antara Trump dan Twitter itu meletus setelah pada Selasa (26/5/2020) pengelola Twitter memberikan peringatan cek fakta atas dua cuitan Trump terkait penggunaan hak suara melalui surat dalam pemilu. Dalam cuitannya, Trump menyebut penggunaan hak suara dalam pemilu lewat surat adalah ”curang” dan memprediksi ”surat suara akan dirampok”.
Selama akhir pekan lalu, Trump menulis sejumlah cuitan yang mempertanyakan legalitas pemilihan melalui surat. Trump mengarahkan cuitan-cuitannya soal kecurangan pemilihan dengan surat ke California. Ia dengan keliru mengatakan bahwa semua warga California akan dikirimi surat suara. Padahal, hanya pemilih terdaftar yang akan mendapat surat suara.
Twitter menilai, cuitan Trump itu berpotensi menyesatkan. Mereka pun memberi tanda peringatan cek fakta pada dua cuitan orang nomor satu di AS tersebut, yang diunggah pada 26 Mei 2020.
Twitter menyematkan kalimat ”Get the facts about mail-in ballots” (Temukan fakta-fakta tentang berita surat suara melalui surat) plus tanda seru di sebelahnya pada dua cuitan itu. Kalimat itu diberi tautan yang memandu pengguna ke halaman Twitter dengan cek fakta dan berita tentang Trump yang tidak memiliki dasar. Twitter menyebutkan sumber dari berbagai media, seperti CNN dan Washington Post.
Ini untuk pertama kalinya Twitter memberi tanda peringatan tersebut pada cuitan-cuitan Trump. Badai cuitan kemudian bermunculan mengomentari unggahan di Facebook dan cuitan Trump itu.
Enam kata peringatan dari pengelola Twitter itu rupanya membuat Trump bak kebakaran jenggot. Dalam cuitannya, Rabu (27/5/ 2020) pagi di AS, Trump mengklaim, raksasa teknologi itu telah membungkam suara-suara konservatif. ”Kami akan mengatur dengan keras atau menutup mereka sebelum ini terjadi,” cuit Trump. ”Tindakan besar menyusul.”
Sekretaris Pers Gedung Putih Kayleigh McEnany mengatakan, Trump akan menandatangani perintah eksekutif terkait perusahaan media sosial. McEnany tak menjelaskan detail informasi ini. Direktur Komunikasi Strategis Gedung Putih Alyssa Farah menyebutkan, Trump akan menandatanganinya pada Kamis (28/5/2020) waktu Washington DC.
Twitter menilai, cuitan Trump itu berpotensi menyesatkan.
Trump dan orang-orang dekatnya telah lama menuduh raksasa-raksasa teknologi di Silicon Valley. Dalam pandangan Trump, perusahaan-perusahaan liberal itu menarget kaum konservatif di media sosial dengan memeriksa fakta mereka atau menghapus unggahan-unggahan mereka. Namun, si sisi lain, para pengkritik Trump kerap memaki Twitter karena membiarkan Trump menebar informasi yang salah atau menyesatkan.
Beberapa mitra dekat Trump mempertanyakan, apakah platform seperti Twitter dan Facebook masih perlu terus menikmati perlindungan tanggung jawab sebagai ”platform” di bawah hukum federal. Atau, mereka lebih baik diperlakukan seperti penerbit, yang dapat menghadapi tuntutan hukum atas konten. Mereka mendorong agar perusahaan media sosial lebih diawasi.
”Teknologi besar mendapat kebebasan dari pemerintah federal,” kata Senator Republik Josh Hawley kepada media Fox News Channel. ”Mereka mendapatkan kekebalan khusus ini dari kewajiban yang bernilai miliaran dollar AS setiap tahun. Mengapa mereka mendapatkan subsidi dari wajib pajak federal untuk menyensor konservatif, menyensor orang-orang yang kritis terhadap China?” ujar Hawley.
Twitter tak gentar
Pernyataan Trump itu ditanggapi pihak Twitter pada Rabu malam. CEO Twitter Jack Dorsey mencuit, ”Kami akan terus menunjukkan informasi yang salah atau sengketa tentang pemilihan umum secara global.” Dorsey menambahkan, ”Ini tidak membuat kami menjadi ’wasit kebenaran’. Tujuan kami adalah untuk menghubungkan titik-titik pernyataan yang bertentangan dan menunjukkan informasi dalam perselisihan sehingga orang dapat menilai sendiri.”
Sebagai pengelola media sosial, Twitter telah menetapkan kebijakan melarang para pengguna platform itu berbagi informasi yang salah atau menyesatkan, termasuk yang ditujuan untuk mengintimidasi atau menghalangi orang dari berpartisipasi dalam pemilu atau proses sipil lainnya.
”Trump secara keliru telah mengklaim bahwa pemilihan dengan surat akan mengarah pada ’pemalsuan pemilihan’. Namun, cek fakta menunjukkan, tidak ada bukti bahwa pemilihan dengan surat terkait dengan penipuan pemilih,” demikian pernyataan Twitter.
Konstitusi dengan jelas melarang presiden mengambil tindakan apa pun untuk menghentikan Twitter memberi label pada cuitan Trump soal pemilihan dengan surat yang bohong.
Ketika ditanya mengapa Twitter melabeli cuitan Twitter Trump soal pemungutan suara saat pertemuan tahunan Twitter, Rabu (27/5/2020), Penasihat Umum Twitter Sean Edgett mengatakan, setiap keputusan penanganan informasi yang salah dibuat sebagai keputusan kelompok. ”Kami memiliki kelompok dan komite yang mengurusi hal ini dan mengambil keputusan terkait apa yang banyak dilihat dan menarik banyak orang,” kata Edgett.
Serius atau gertakan?
Benarkah atau mampukah Trump menutup Twitter, ataukah itu hanya gertakan? Kate Ruane dari American Civil Liberties Union menuturkan bahwa Trump tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur Twitter. Konstitusi dengan jelas melarang presiden mengambil tindakan apa pun untuk menghentikan Twitter memberi label pada cuitan Trump soal pemilihan dengan surat yang bohong.
Profesor hukum dari Yale University sekaligus pakar Amandemen Pertama, Jack Balkin, menambahkan, setiap usaha untuk mengatur konten perusahaan media sosial akan memerlukan masukan dan persetujuan dari Kongres. Hal ini hampir pasti akan menghadapi tentangan hukum yang keras.
Sementara itu, Komisi Komunikasi Federal AS tidak memiliki kewenangan mengatur perusahaan internet, seperti Twitter. Yang jelas, ujar Balkin, kewenangan Trump untuk memberlakukan aturannya terbatas. Presiden memang bisa meminta penyelidikan atau mengeluarkan beberapa perintah eksekutif, tetapi presiden tidak bisa mengesampingkan aturan yang dikeluarkan oleh Kongres yang berakar pada konstitusi.
Mantan hakim federal Michael McConnell, yang kini menjadi Direktur Constitutional Law Center di Standford Law School, juga menyebutkan bahwa Trump tidak memiliki kekuatan hukum untuk mendukung ancamannya. ”Ia tidak memiliki kewenangan itu,” katanya dalam surat elektronik.
Asosiasi Internet, yang di dalamnya termasuk Twitter dan Facebook, menyatakan, platform daring tidak memiliki bias politik dan mereka memberikan lebih banyak peluang bagi orang untuk didengar. (AP/AFP)