Taiwan Tolak ”Satu Negara, Dua Sistem” yang Ditawarkan China
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menolak tegas klaim China atas Taiwan. Dalam pelantikan untuk masa jabatan kedua, Tsai mengajak kedua pihak mencari solusi untuk hidup berdampingan secara damai.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
TAIPE, RABU — Ketegangan antara Taiwan dan China tampaknya akan makin menguat. Saat menyampaikan pidato pelantikan, Rabu (20/5/2020), Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan, China harus menemukan cara untuk hidup damai bersama Taiwan yang demokratis.
Kantor berita Reuters mengatakan, Tsai menolak dengan tegas klaim China atas Taiwan. Dalam pidato itu, Tsai menegaskan, Taiwan tidak mau menjadi bagian dari China meskipun dengan ”iming-iming” model pemerintahan ”satu negara, dua sistem”.
”Kami tidak akan menerima penggunaan ’satu negara, dua sistem’ oleh Beijing untuk merendahkan martabat Taiwan dan merusak status quo lintas-selat,” kata Tsai.
Tsai yang berasal dari Partai Progresif Demokratik dilantik menjadi Presiden Taiwan untuk masa jabatan kedua sekaligus yang terakhir. Januari lalu, Tsai dan partainya memenangi pemilihan presiden dan parlemen di Taiwan.
Tsai, sebagaimana telah disebutkan, menegaskan kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk mencari solusi tentang bagaimana hidup berdampingan secara damai. Sikap itu menunjukkan, Tsai ingin menegaskan bahwa Taiwan bukan bagian dari China yang dikendalikan oleh Beijing.
Sebagai catatan, pola satu negara, dua sistem telah diterapkan Beijing untuk Hong Kong yang diserahkan kembali oleh Inggris kepada China pada tahun 1997. China yang menyebut Taiwan sebagai salah satu provinsinya juga menawarkan sistem yang sama. Namun, semua partai-partai besar di Taiwan menolaknya.
Sikap China
Menyikapi pidato Tsai, Kantor Urusan Taiwan di Beijing mengatakan, China tetap berpegang pada prinsip satu negara, dua sistem yang menjadi prinsip utama kebijakan pemerintahan Presiden Xi Jinping terkait Taiwan.
Juru bicara Kantor Urusan Taiwan, Ma Xiaoguang—sebagaimana dikutip kantor berita Xinhua—mengatakan, China memiliki kemampuan yang memadai untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas wilayahnya. Menurut dia, reunifikasi adalah keniscayaan.
”Beijing tidak akan pernah menoleransi kegiatan separatis atau kekuatan eksternal yang mengganggu politik internal China,” kata Ma.
Lebih lanjut Ma mengatakan, Beijing bersedia ”menciptakan ruang yang luas untuk penyatuan kembali secara damai”. Ia menegaskan, China tidak memberi ruang sedikit pun untuk kemerdekaan Taiwan.
Di sisi lain, Taiwan adalah—salah satu—bara yang potensial memanaskan relasi Amerika Serikat dengan China. Meskipun tidak memiliki relasi diplomatik resmi, relasi AS-Taiwan sangat kuat. Pada hari Selasa lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengirim ucapan selamat untuk Tsai.
Dalam kesempatan itu, Pompeo memuji keberanian dan visi Tsai dalam memimpin demokrasi di Taiwan.
Tentu saja, pernyataan itu memicu kecaman keras dari Kementerian Luar Negeri China. Menanggapi pernyataan Pompeo, Kemlu China mengatakan, Beijing akan mengambil ”langkah-langkah pencegahan yang diperlukan”. China sendiri telah memutus mekanisme pembicaraan formal dengan Taiwan sejak tahun 2016, setelah Tsai pertama kali memenangi pemilihan.
Kepada kantor berita Reuters, Yao Chia-wen, seorang penasihat senior Tsai, mengatakan, peluang untuk berbicara dengan China kecil karena ketegangan yang sedang berlangsung.
”Kami siap untuk berdialog dengan mereka kapan saja, tetapi China tidak mungkin membuat konsesi,” kata Yao. ”Dalam empat tahun ke depan, kecil peluang untuk meningkatkan hubungan lintas selat.” (AFP/REUTERS)