Sanofi, perusahaan farmasi multinasional berpusat di Paris, Perancis, kini sedang mengembangkan dua vaksin Covid-19. Jika sudah disetujui, vaksin itu akan dipasarkan untuk menjangkau seluruh dunia secara serempak.
Oleh
Kris Mada/Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
REUTERS/CHARLES PLATIAU
Logo perusahaan farmasi multinasional seperti terlihat di kantor pusatnya di Paris, Perancis, 24 April 2020.
PARIS, JUMAT — Sanofi, perusahaan farmasi multinasional berpusat di Paris, Perancis, menegaskan, jika sudah disetujui, vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkannya akan dipasarkan untuk menjangkau seluruh dunia secara serempak. Tidak ada satu negara pun di dunia yang akan menjadi prioritas.
Demikian pernyataan Chairman Sanofi Serge Weinberg kepada televisi France 2, seperti dilaporkan kantor berita Perancis, AFP, Jumat (15/5/2020). Weinberg meluruskan pernyataan CEO Sanofi Paul Hudson, yang sebelumnya mengatakan, pasien Covid-19 negara tertentu, yakni di Amerika Serikat, berpeluang mendapat vaksin pertama kali.
Menurut Hudson, AS diprioritaskan karena negara itu sangat mendukung pengembangan vaksin dan produksinya juga di AS. ”Pemerintah AS berhak atas pesanan pendahuluan paling besar karena berinvestasi dan mengambil risiko,” ujarnya kepada Bloomberg News.
REUTERS/DADO RUVIC/ILUSTRASI
Seorang perempuan memegang botol kecil berlabel stiker Vaksin Covid-19 dan jarum suntik medis dalam foto ilustrasi yang diambil pada 10 April 2020.
Pernyataan Hudson membuat marah Pemerintah Perancis yang menuntut kesetaraan akses pada vaksin Covid-19. Terkait dengan itu pula, Presiden Emmanuel Macron memanggil para pemimpin eksekutif Sanofi untuk bertemu dengannya di Istana Elysee, Selasa (19/5/2020).
Tidak lama setelah Paris menyampaikan keberatannya, Hudson pun meluruskan pernyataannya. Dia menegaskan, jika sudah disetujui untuk diedarkan, vaksin Covid-19 akan menjangkau semua negara di dunia.
Sementara Perdana Menteri Perancis Edouard Philippe menegaskan, kesetaraan akses terhadap vaksin tidak bisa dirundingkan. ”Vaksin Covid-19 harus menjadi barang bebas untuk dunia,” ujarnya.
THOMAS COEX/POOL VIA REUTERS
Perdana Menteri Perancis Edouard Philippe dalam sebuah video konferensi dengan para pelaku sektor pariwisata di Hotel Matignon, Paris, Perancis, 14 Mei 2020.
Sanofi berusaha menjernihkan persoalan selepas kemarahan Paris. Chairman Sanofi Serge Weinberg mengatakan, perusahaannya akan memastikan vaksin tersedia di berbagai penjuru dunia pada saat bersamaan.
”Tidak ada pengiriman lebih dulu kepada negara tertentu. Kami mengorganisasi dengan semua tempat pembuatan (unit manufaktur). Beberapa di antaranya berada di AS, tetapi sebagian besar lagi berada di Eropa dan Perancis,” ujarnya.
Sanofi memiliki 73 pabrik di 32 negara, 18 di antaranya ada di Perancis. Kini, Sanofi mengembangkan dua jenis vaksin. Sanofi menggandeng perusahaan AS Translate Bio untuk salah satu proyek.
Sanofi juga menggandeng perusahaan Inggris, GlaxoSmithKline, dalam proyek lain yang didanai Badan Pengembangan dan Penelitian Biomedis Tingkat Lanjut (BARDA) AS.
Perseteruan atas akses pada vaksin bukan terjadi kali ini saja. Sebelum ini, Jerman marah karena AS berupaya membeli mayoritas CureVac, perusahaan bioteknologi asal Jerman.
Sumber di pemerintahan Jerman mengungkap, Washington menawarkan dana besar agar vaksin Covid-19 yang dikembangkan CureVac hanya diberikan kepada AS. Berlin marah dan menekankan vaksin harus bisa diakses tanpa hak eksklusif pihak tertentu.
SHAWN THEW / POOL / AFP
Rapat Subkomite Energi dan Perdagangan DPR AS terkait kesehatan pada 14 Mei 2019 di Washington DC, AS.
Bukan hanya dengan sekutunya, seperti Jerman dan Perancis, AS juga berseteru dengan China gara-gara vaksin. Washington secara terbuka menuding Beijing berusaha mencuri data penelitian vaksin Covid-19 di AS.
Biro Investigasi Federal AS (FBI) dan Badan Keamanan dan Infrastruktur Sibernatika AS secara terbuka menyatakan peretas China berusaha mengakses komputer perusahaan AS yang tengah mengembangkan vaksin dan obat Covid-19.
”Para pelaku terpantau berusaha mengidentifikasi dan secara tidak sah mengambil kekayaan intelektual berharga dan data kesehatan terkait vaksin, perawatan, pengujian dari (komputer) jaringan dan (komputer) orang-orang yang terkait penelitian Covid-19,” demikian pernyataan kedua lembaga itu.
Di tengah perseteruan itu, 140 tokoh dunia mengeluarkan pernyataan bersama soal akses atas vaksin. Dalam pernyataan itu, mereka meminta vaksin apa pun yang nanti ditemukan untuk penyembuhan Covid-19 tidak boleh dipatenkan dan harus dibagi kepada semua negara.
”Pemerintah dan mitra internasional harus bersatu untuk memastikan jika vaksin yang aman dan mangkus ditemukan, akan diproduksi secara cepat dan tersedia untuk semua orang, gratis,” demikian pernyataan yang disiarkan pada Kamis itu.
Bukan kali ini saja ada pernyataan soal akses vaksin. Dalam berbagai pertemuan beberapa bulan terakhir, isu kesetaraan akses atas vaksin terus-menerus ditekankan negara-negara.
Bahkan, Indonesia menyatakan kesetaraan itu akan membuktikan apakah pernyataan selama ini politis atau benar-benar upaya kerja untuk warga.
Mantan Kepala BARDA Richard Bright mengungkapkan kekhawatiran atas ketersediaan vaksin. ”Tidak ada perusahaan mampu memproduksi vaksin untuk (memenuhi seluruh kebutuhan) negara kita atau seluruh dunia. Hanya ada pasokan terbatas,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat di DPR AS, kemarin.
Bright menambahkan, ”Harus ada ada strategis dan rencana untuk memastikan kita tidak hanya mampu memproduksi dan menyebarkan vaksin, melainkan mengaturkan secara adil dan bisa diterima.”
GREG NASH/POOL VIA REUTERS
Dr Richard Bright
Hudson juga meminta maaf atas komentarnya yang memicu kemarahan Paris, mengatakan bahwa perdebatan seharusnya soal pentingnya bagi Eropa untuk bergerak lebih cepat guna mencari vaksin. Ia juga menekankan bahwa AS menanggung risiko untuk pengembangan vaksin.
Lewat BARDA, Washington mengucurkan miliaran dollar AS untuk pengembangan vaksin. AS juga mengizinkan percepatan pengembangan. Washington telah mengizinkan beberapa uji klinis atau pengujian calon vaksin Covid-19 kepada manusia. Calon vaksin atau calon obat harus melewati beberapa uji klinis sebelum disetujui atau disahkan untuk dipasarkan.
Hudson mengatakan, Eropa tidak punya badan seperti BARDA. ”Berbulan-bulan saya menyampaikan soal kesiapan Eropa menghadapi Covid-19, membangun kapasitas di Eropa, memastikan kita siap, membuat pemerintahan di Uni Eropa bersatu,” ujarnya. (AFP/REUTERS)